Ceritanya dalam proses penaklukkan di Jawa, ana sangat terpaksa harus pergi meninggalkannya menuju pulau lain yaitu pulau Sumatra. Untuk fokus menghadapi ujian masuk maka harus melakukan persiapan. Maka di tanah Sumatra ini ada harus fokus belajar. Dalam sebulan kurang, ada rasakan banyak kekurangan, tekanan dan serba berbedahlah dari sebelumnya. Mulai tempatnya yang masih asri, jauh dari sentuahn teknologi sampai aktivitas yang terbatas pula.
Ketika itu hampir tidak ada akses internet yang dapat kupakai. Mulai kurang sinyal, pulsa/kuota, dan hp membuatku tak bisa berkomunikasi ke luar. Sampai di tempat ini sampir semua tak ana kenal. Sendiri. Sepi. Banyak hal yang mungkin sulit di ceritakan. Namun ana hanya bisa mengambil hikmah di dalamnya. Lagi pula di sini bisa fokus belajar bahasa Arab dan murrojaah hapalan.
Salah satu hikmah yang paling besar yang ana dapat di situasi seperti ini adalah bagaimana beratnya bila mengalami keterbatasan hidup yang semula normal kini mendapat banyak tekanan. Memang begitulah hidup.
Dalam perjalan sejarah para tokoh-tokoh besar dahulu juga mengalami banyak tekanan dalam berjuang. Khusunya pada abad ke 20 yang lalu di mana para ulama dan tokoh mendapatkan tekanan dari penguasa sampi di jobloskan dalam penjara. Ketika itu dunia Islam di kuasai oleh pemerintahan yang diktator. Sehingga penjara bagi para pejuang kebenaran adalah hal biasa. Apa lagi mati dalam tiang gantung atau mati oleh timah panas.
Dalam perjalan sejarah para tokoh-tokoh besar dahulu juga mengalami banyak tekanan dalam berjuang. Khusunya pada abad ke 20 yang lalu di mana para ulama dan tokoh mendapatkan tekanan dari penguasa sampi di jobloskan dalam penjara. Ketika itu dunia Islam di kuasai oleh pemerintahan yang diktator. Sehingga penjara bagi para pejuang kebenaran adalah hal biasa. Apa lagi mati dalam tiang gantung atau mati oleh timah panas.
Tapi, di hadapan sejarah mencatat perjuangan mereka melawan tirani. sebuah tradisi akan pasangan sejarah memang harus selalu hadir begitu: ada diktator ada petarung, ada tirani ada perlawanan.
Dalam sejarah tradisi perlawanan, penjara adalah sekolah yang membesarkan para pahlawan. Tapi, tiang gantung adalah karunia Ilahiyah yang mengabadikan mereka. Para pemikir dan ulama besar dunia Islam saat ini, seperti Syekh Muhammad Al-Gazali, Syekh Yusuf Qordhowi, Muh Quthub, Dr. Ali Juraisyah, Hamka dan lainnya memang tumbuh dalam tradisi perlawanan. Tapi mereka menjadi lebih kokoh setelah tamat dari sekolah penjara.
Tradisi perlawanan selalu lahir dalam kesunyian. Ketika kekuasaan berubah menjadi momok yang menyeramkan: tirani. Sementara semua mulut terbungkam ketakutan, sejarah menjadi milik para penguasa. Kamu hanya sedikit disini. Bahkan, mungkin sendiri. Kamu mungkin disebut penghianat bangsa. Tak ada gemuru tepuk tangan yang menyebutmu pahlawan. Sunyi. Sepi. Tapi, kamu harus menyerahkan jiwa ragamu.
Mungkin suatu saat perlawananmu jadi arus. Arus besar yang menumbangkan tirani. Tapi saat itu, mungkin kamu sudah tidak ada. Waktu kamu melakukannya pertama kali, kamu hanya sendiri. Sendiri. Melawan dalam sepi itulah susahnya. Memang apa yang kamu lawan? Kekuasaan. Kekuasaan yang memiliki semua. Semua orang. Semua uang. Semua simpati. Sementara kamu, kamu tidak punya apa-apa. Kamu hanya mewakili dirimu sendiri. Tekadmu sendiri.
Situasi seperti itu yang banyak tekanan sebenarnya tidak ada orang yang menyukainya. Semua kita akan selalu berusaha menghindari segala bentuk tekanan hidup. Tekanan mencabut kenyamanan hidup kita, dan dalam banyak hal, membatasi ruang gerak kita, dan menyulitkan proses kreativitas kita.
Namun, sejarah justru membuktikan bahwa karya-karya kepahlawanan sebagian besarnya malah lahir di tengah tekanan-tekanan hidup yang berat dan kompleks. Sejarah menunjukkan bahwa tekan-tekan hidup, secara psikologis, sebenrarnya justru berguna untuk merangsang munculnya potensi-potensi yang terpendam dalam diri seseorang dan meransang terjadinya proses kreativitas yang intensif. Hidup dalam situasi yang normal biasanya malahmembuat orang jadi malas, kurang kreatif, dan kurang produktif. Bukan situasi normal itu yang jadi masalah. Akan tetapi, manusia memang pada dasarnya membutuhkan stimulan yang kuat untuk bergerak. Dan tekanan hidup merupakan salah satu stimulan itu.
Jadi seperti itulah hikmah yang ana ambil dalam kondisi saat itu. Maka tentunya buah dari perjuangan saat ini tentunya akan menempah kita semua utnuk terus berkarya lebih baik lagi. Wallahualam.
Jumat 29/4/2016
Pematang kandis
Desa gunung terang
Kec. Kalianda
Desa gunung terang
Kec. Kalianda
Kab. Lampung selatan
Syukron untuk Pondok Pesantren Nurussalam GUNTER telah memberikan tempat untuk belajar. Barakallah...
No comments:
Post a Comment
silakan komentar