Pages

Thursday, 2 June 2016

SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA PASCA UTSMAN HINGGA SEKARANG (1)

Pengantar : makalah di blog ini di posting dengan otomatis yang terjadwal tiap bulan jadi bagi yang ingin melihat sambungannya tunggu beberapa hari



SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA
                                 PASCA UTSMAN HINGGA SEKARANG


Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Qur’an dan Sunnah dalam Perspektif Sejarah dan Hukum


Oleh:

 Muhammad Ikhsan
7105090722

Dosen: 
DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA




UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
                                       KEKHUSUSAN KAJIAN ISLAM
JAKARTA
 2006


SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA
PASCA UTSMAN HINGGA SEKARANG
Oleh: Muhammad Ikhsan


PENDAHULUAN

Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah:[1]
1.      Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.[2]
2.      Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan,
“Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.”[3]

Setelah melakukan dua langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,
“Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.’”[4] 
            Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.[5] 
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan ¬al-Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.[6] Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.[7]  
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur’an –yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf  belaka.[8] 
 Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf ‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali tidak berarti merubah hakikat al-Qur’an sebagai Kalamullah. Perkembangan-perkembangan itulah yang akan dikaji secara singkat dalam makalah ini. Dan semoga bermanfaat!

PERKEMBANGAN BARU PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN

Pemberian  Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut.[9]  Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri. 
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat. 
Dalam beberapa referensi[10]  disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly[11]: 
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
QWÜKV… JðW/@… còv÷X£WTŠ WÝYQÚ *WÜkYÒX£pT-SÙ<Ö@…  I&SãRÖéSªW¤Wè
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.[12] 
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya.[13] Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf. [14] Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.[15] Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti –seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. ‘Izzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi –mengutip al-A’zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:
Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.[16] 

Yakub (Yacob?) Raha sendiri –menurut B.Davidson[17]- menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad al-Du’aly –penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du’aly. 
Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam pada siapa?[18]

            Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf  ب(ba),ت )ta(,  )ثtsa(. Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim[19] dan Yahya bin Ya’mar[20]. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at. [21]
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam.[22] Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a.       untuk membedakan  antara  دdal dan  ذdzal,  رra’ dan  زzay,  صshad dan  ضdhad,   طtha’ dan  ظzha’, serta  ع‘ain dan غ  ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b.      untuk pasangan  سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf  ب ba’, ت ta, ث tsa, ن  nun, dan   يya’. 
c.       untuk rangkaian huruf   جjim,   حha’, dan  خkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d.       sedangkan pasangan  فfa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf. [23] 
Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya.[24] Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.[25]
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.[26] 
Al-Daly mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama.” [27] 

Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik. Yaitu bahwa tanda titik (nuqath al-i’jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi Bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada masa awal Islam sebelum mushaf  ‘Utsmani ditulis. Ada beberapa penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain[28]:
1.      Batu nisan Raqusy (di Mada’in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang tertua. Diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra’ dan syin. 
      Menyikapi batu nisan Raqusy ini, para peneliti Barat dapat dikatakan berbeda pandangan. Cantineau dan Gruendler menganggapnya sebagai teks Nabatean (al-Nabth), tapi mengakuinya sebagai teks yang sangat bernilai untuk para peneliti Arab. O’Conner menyebutnya sebagai gabungan acak antara Nabatean dan Arab. Sedangkan Healy dan Smith (1989) dengan yakin menyebutnya sebagai dokumentasi Arab tertua.[29] Tetapi pertanyaannya adalah siapakah Nabatean itu sesungguhnya?
Kita mengetahui bahwa Ismail a.s. –putra tertua Nabi Ibrahim a.s.- tumbuh dan besar di kota Mekkah. Tepatnya di tengah komunitas suku Jurhum. Suku ini sendiri berbahasa Arab. Ismail sendiri dikaruniai 12 putra, diantaranya adalah Nabat (Nebajoth). Mereka semua dilahirkan dan dididik di sekitar Jazirah Arab yang logisnya menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Ketika Nabat kemudian berhijrah ke utara Jazirah Arab (wilayah Syam), semestinya ia membawa serta alphabet dan Bahasa Arab bersamanya. Keturunannya-lah yang kemudian mendirikan Dinasti Nabatean sekitar 600 SM hingga 50 M.[30] Gruendler sendiri mengakui bahwa para penulis teks Nabatean berbahasa Arab.[31]
Jadi sebenarnya Nabatean adalah bagian dari bangsa dan tradisi Arab itu sendiri. Sehingga apabila fakta bahwa mereka berasal dari keturunan bangsa Arab (Ismail) dan mereka pun berbahasa Arab, maka membedakan antara Bahasa Arab dan Nabatean adalah sebuah kesalahan yang dipaksakan. Dalam hal ini, al-A’zhamy mengomentarinya dengan mengatakan,
“Jika orang Nabatean berbicara dalam Bahasa Arab, lantas siapakah yang memberinya nama Bahasa Nabatean? Apakah ada bukti bahwa mereka menyebut bahasa mereka sebagai Bahasa Nabatean? Atau mungkin ini diambil dari kecenderungan yang sama dalam memberi label kepada umat Islam sebagai ‘Muhammadan’ (pengikut Muhammad), Islam sebagai ‘Muhammadanism’ (ajaran Muhammad), dan al-Qur’an sebagai ‘Turkish Bible’ (Bible orang Turki)?”[32] 

2.      Dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Austria). Dokumentasi ini menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay. 
Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H. Terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta.[33] Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar adalah sebuah upaya menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan. Wallahu a’lam.

Antara Rasm ‘Utsmani dan Rasm Imla’i
Sebagaimana yang diketahui, bahwa cara penulisan (rasm) yang terdapat dalam mushaf ‘Utsmany berbeda dan tidak sama dengan cara penulisan yang umum digunakan dalam aturan-aturan imla’ Bahasa Arab. Karena itu para ulama membagi metode penulisan huruf Arab menjadi 2 jenis: rasm ‘Utsmany dan rasm imla’i. Jenis yang pertama khusus digunakan untuk penulisan ayat al-Qur’an sesuai dengan mushaf ‘Utsmany. Sedangkan yang kedua adalah aturan baku yang umum digunakan untuk penulisan kata-kata Arab sebagaimana ia diucapkan.[34]
Untuk keperluan ini, para ulama al-Qur’an kemudian menyusun sebuah ilmu yang dikenal dengan nama ilmu Rasm al-Qur’an. Diantara karya yang mengulas ilmu ini adalah al-Muqni’ karya Abu ‘Amr al-Dany dan al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman bin Najah. Berikut ini beberapa sisi penting perbedaan rasm ‘Utsmany dengan rasm imla’i[35]:

1.      Penghapusan alif, waw, atau ya’. Seperti yang terdapat pada ayat:   fûkYÙVÕHTWÅ<Ö@… (Al-Fatihah:1), ÜISè†WçÅ<Ö@…Wè (Asy-Syu’ara’:94), dan  W WÝGTTQY~Y‰PVÞÖ@…@ (Al-Baqarah: 61). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah:  العالمين, الغاوون, النبيين
2.      Penambahan alif, waw, dan ya’. Seperti yang terdapat pada ayat: ƒòv÷N†Y–Wè (Az-Zumar:69),  yRÑÿX¤OèKR†Wª (al-A’raf:145), dan   xŸO~T`TÿVK†YŠ (al-Dzariyat: 47). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah: وجيء, سأريكم, بأيد
3.      Pemisahan dan penyambungan. Artinya ada kata seharusnya secara imla’ disambung, namun dipisahkan dalam rasm ‘Utsmany. Begitu pula sebaliknya, ada yang seharusnya dipisah namun disambungkan dalam rasm ‘Utsmany. Seperti yang terdapat dalam ayat:   †QWÙWÆ (al-Baqarah: 74) dan كل ما.(al-Nisa’:91).   Kedua kata ini jika ditulis dalam rasm imla’i adalah: عن ما, كلما 
Penulisan al-Qur’an berdasarkan rasm ‘Utsmany memiliki banyak hikmah –sebagaimana disebutkan oleh para ulama qira’at-.[36] Tapi salah satu yang terpenting adalah dengan metode ini ragam qira’at yang berbeda dapat terwakili dalam mushaf ‘Utsmany. Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. 
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada upaya untuk mengganti sistem rasm ‘Utsmany dengan sistem imla’ yang umum berlaku. Dengan alasan bahwa itu akan lebih memudahkan pembacaan.[37] Meskipun ini kemudian terbantahkan dengan dasar bahwa metode inilah yang digunakan oleh para sahabat menuliskan al-Qur’an di hadapan Rasulullah saw. Karena itu ia kemudian bersifat tauqifiyah.[38] Adapun jika alasannya adalah untuk memudahkan pembacaan, maka itu terbantahkan dengan kenyataan bahwa sejauh ini –sejak 1400 tahun lamanya-, hampir tidak ada masalah berarti di tengah kaum muslimin dalam membaca al-Qur’an, kecuali yang memang tidak punya keinginan untuk mempelajari bacaannya. Lagi pula –kata al-A’zhamy-, “Apakah mereka percaya bahwa setelah beberapa abad nanti, orang-orang lain tidak akan melontarkan kecaman bahwa karya mereka (penulisan al-Qur’an tanpa ‘rasm ‘Utsmany’ –pen) juga adalah usaha yang dilakukan oleh orang-orang jahil buta huruf?”[39]

            

             Perbedaan Qira’at  dalam Membaca al-Qur’an
“Apakah ragam qira’at muncul akibat karakteristik rasm ‘utsmany atau ia telah ada jauh sebelum itu?” Ini adalah sebuah pertanyaan lain yang juga mengusik kalangan peneliti al-Qur’an, terutama sebagian kalangan orientalis. Salah satunya adalah Goldziher dalam bukunya Madzahib al-Tafsir al-Islamy. Salah satu teori yang ia kemukakan adalah bahwa perbedaan qira’at itu muncul karena karakteristik rasm ‘Utsmany yang memang ‘bermasalah’ –tanpa titik dan harakat-, sehingga membuka peluang untuk hal itu. Teori ini kemudian dijawab oleh beberapa ahli al-Qur’an muslim, salah satunya adalah Syekh Abd al-Fattah Abd al-Ghany al-Qadhy[40] yang menyusun buku kecil berjudul Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin. Berikut ini adalah ikhtisar jawaban Syekh Abd al-Fattah terhadap teori Goldziher:
Goldziher –menurut al-Qadhy- nampaknya bermasalah dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya variasi qira’at dalam al-Qur’an. Goldziher –misalnya- menganggap adanya variasi qira’at itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya teks wahyu yang dipenuhi dengan ketidakjelasan (idhthirab) dan ketidakkonsistenan (‘adam ats-tsabat).[41] 
Kesimpulan ini tentu saja dibantah oleh al-Qadhy. Ia menyatakan bahwa ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan itu bermakna bahwa teks-teks al-Qur’an dengan segala varian qira’atnya saling bertentangan, tidak dapat dipahami maknanya dengan jelas, dan tidak dapat dibuktikan mana yang valid (tsabit) dan yang tidak. Padahal perbedaan qira’at dalam al-Qur’an, bila diteliti dari yang mutawatir, masyhur dan shahihnya, tidak akan lepas dari 2 kategori berikut:
a.       Qira’at itu berbeda lafazh, namun bermakna sama. Seperti:
¼ †WTßYŸ`å@… ð•.W£Jg±Ö@… WØ~YÍWTó©SÙ<Ö@… (6) » [الفاتحة:6]
“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.”
Dalam qira’at yang lain, kata yang digarisbawahi dibaca dengan huruf sin, namun dengan makna yang tidak berbeda.
b.      Qira’at itu berbeda baik dari segi lafazh dan makna, namun kedua makna itu tidak saling bertentangan. Sebagai contoh adalah:
¼VK ó£TñÀ¹ß@…Wè øVÖXM… Yz†VÀ¹YÅ<Ö@… ðÈ`T~W{ †WåS¥Y¬ÞSTß QWØR’ †WåéS©<ÑWTß &†_TÙ`™VÖ  » [البقرة:259]
“Dan lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Kami menyatukannya, lalu menutupinya dengan daging.”
Dalam qira’at yang lain, huruf zay pada kata yang digarisbawahi diganti dengan syin (ننشرها) dengan harakat yang sama, yang berarti “Kami membangkitkannya (setelah mati)”. Bila diperhatikan, meskipun kedua qira’at ini berbeda, namun sama sekali tidak ada pertentangan. Sebab bila Allah berkehendak untuk membangkitkan makhluq, maka Ia akan menyatukan tulang-belulangnya, lalu menghidupkannya kembali. [42]
Dengan demikian, perbedaan qira’at yang terdapat dalam al-Qur’an dapat dikategorikan dalam apa yang disebut oleh para ulama dengan ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) dan bukan ikhtilaf tadharub.[43]  Atau dengan kata lain perbedaan yang terjadi dapat dijelaskan dan diarahkan kepada pengertian yang tepat. 
           Hal lain yang diangkat oleh Goldziher dan dikritisi oleh al-Qadhy adalah kesimpulannya yang menyebutkan salah satu penyebab utama terjadinya perbedaan qira’at al-Qur’an kembali pada karakter asal huruf Arab yang digunakan dalam penulisan Mushaf ‘Utsmany. Karakter asal itu adalah ketiadaan titik dan tanda baca (harakat)  yang dapat membedakan satu huruf dengan huruf yang lain, baik dari segi pembacaan maupun kedudukannya dalam kalimat (i‘rab). Hal ini yang kemudian –menurut Goldziher- menyebabkan lahirnya berbagai kemungkinan variasi dalam qira’at. Sehingga variasi qira’at itu tidak lebih dari sekedar ijtihad dan pilihan para qurra’, dan tidak didasarkan pada periwayatan dari Rasulullah saw. Dan untuk membuktikan kesimpulannya itu, ia mencontohkannya dengan beberapa ayat al-Qur’an.[44]
Al-Qadhy kemudian memberikan catatan kritisnya terhadap masalah ini. Menurutnya, kesimpulan ini sama sekali tidak benar berdasarkan hal-hal berikut:
Pertama, Sejarah Islam telah mencatat dan membuktikan, bahwa al-Qur’an –dengan semua riwayat dan varian qira’atnya- telah “terpelihara” di tangan para sahabat Nabi jauh sebelum al-Qur’an itu kemudian dibukukan di masa kekhalifaan Umar r.a. Itu artinya sebelum al-Qur’an tertuang dan tertulis dengan rasm ‘utsmany, perbedaan qira’at itu sudah ada. Rasm ‘utsmany kemudian hanya berupaya menampung semua perbedaan qira’at yang telah ada sebelumnya. Tidak hanya itu, riwayat dan varian qira’at itu sendiri telah tersebar dan “digunakan” di berbagai wilayah Islam sejak masa Rasulullah saw.[45]
Kedua, Ketika Mushaf ‘Utsmany selesai ditulis, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a tidak cukup hanya mengirim beberapa eksemplar mushaf tersebut ke berbagai wilayah Islam. Namun bersama dengan itu, beliau mengirim pula para ahli al-Qur’an untuk mengajarkan cara membacanya sebagaimana yang mereka terima dari Rasulullah saw. Tujuan utamanya untuk mencegah kemungkinan ada orang yang membacanya tidak sebagaimana yang diajarkan Rasulullah, hanya karena menganggap bacaannya itu sesuai atau mungkin dibaca berdasarkan rasm ‘utsmany. Ini menunjukkan bahwa varian qira’at sepenuhnya didasarkan pada riwayat dan talaqqi.[46]
Ketiga, Jika karakter asal huruf Arab itulah yang menjadi satu-satunya sebab munculnya varian qira’at, maka tentu qira’at apapun yang shahih dan memungkinkan untuk dibaca berdasarkan rasm ‘utsmany adalah qira’at yang legal secara syar’i. Namun kenyataannya tidak demikian. Lagi-lagi riwayat adalah tulang punggung utama dalam menentukan keabsahan sebuah qira’at. Sebagai contoh misalnya, Firman Allah Ta’ala:
¼ gÐYÕHTWÚ YzóéWTÿ XÛTÿJgŸÖ@… (4) » [الفاتحة:4]
¼ XÔSTÎ JðySäPVÕÖ@… ðÐYÕHTWÚ gÐ<ÕSÙ<Ö@… » [آل عمران:26]
¼ YÐYÕWÚ X§†PVÞÖ@… (2) » [الناس:2]
Kata ملك  dalam ketiga ayat ini memiliki bentuk tulisan yang sama, yaitu huruf mim tanpa alif sesudahnya. Akan tetapi para qurra’ ternyata hanya berbeda saat membaca ayat pertama (al-Fatihah: 4). Ada yang membaca dengan pendek (tanpa alif setelah mim), dan ada pula yang membaca panjang (dengan alif setelah mim). Sementara untuk ayat kedua (Ali Imran: 26), mereka sepakat untuk membacanya panjang (dengan alif setelah mim). Dan untuk ayat ketiga (al-Nas: 2), mereka sepakat untuk membacanya pendek (tanpa alif setelah mim). Mengapa “kasus ayat pertama” tidak terulang pada kedua ayat ini? Bukankah baik bacaan panjang maupun pendek pada mim di kedua ayat terakhir ini sangat memungkinkan bila ditinjau dari sudut rasm ‘utsmany? Ini menunjukkan bahwa baik kesepakatan mereka untuk berbeda pada ayat pertama dan sepakat pada kedua ayat selanjutnya sepenuhnya berdasarkan riwayat dari Rasulullah saw. [47]
Keempat, Dalam deretan para qurra’ yang sepuluh (al-Qurra’ al-‘Asyarah), terdapat para ulama ahli bahasa Arab yang telah mencapai puncak keahlian di dalamnya. Tidak hanya itu, mereka bahkan memiliki madzhab tersendiri dalam ilmu Nahwu dan menjadi tujuan utama para pengkaji ilmu tersebut. Namun ternyata, dalam hal qira’at al-Qur’an, mereka tidak berani melampaui dan berkreasi melebihi apa yang telah diriwayatkan kepada mereka. 
Di antara mereka adalah Imam Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ al-Bashry (w. 154H). al-Ashma’iy (w. 828M) mengatakan, “Abu ‘Amr mengatakan padaku, ‘Seandainya aku tidak harus membaca (al-Qur’an) sebagaimana ia dibaca, maka niscaya aku akan membaca seperti ini pada huruf yang ini dan yang ini…’”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa Abu ‘Amr “rela” menyelisihi madzhabnya sendiri dalam ilmu Nahwu demi mengikuti atsar dan riwayat.[48]
Demikian beberapa jawaban al-Qadhy terhadap kesimpulan Goldziher terkait dengan sebab kemunculan varian qira’at Al-Qur’an. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa ketika mengangkat hal ini, Goldziher juga menyertakan contoh ayat-ayat yang dianggapnya sebagai bukti kebenaran kesimpulannya itu. Diantaranya surat al-A’raf, ayat 48:
¼ vuüW †WTßWè ñˆHTW™p²KV… gÇ…W£`ÆKKV‚ô@… ‚_†W–X¤ ØSäWTßéSTÊX£`ÅWÿ `ØSäHùWÙ~Y©YŠ N…éSTÖ†WTÎ :†TWÚ uøWÞpTçÆKV… `ØRÑÞWÆ `yRÑSÅ`ÙW– †WÚWè `ØSÞRÒ WÜèS¤Yi<ÑWT`©WTŽ (48) » [الأعراف:48]
Menurut Goldziher, sebagian ahli qira’at membaca dengan mengganti huruf ba’ pada kata yang digarisbawahi dengan huruf tsa’, sehingga menjadi تستكثرون  . Namun pernyataan ini dibantah oleh al-Qadhy. Ia mengatakan, 
Tidak ada satupun yang membaca dengan menggunakan huruf tsa’ sebagai ganti huruf ba’; baik itu dari kalangan al-Qurra’ al-‘Asyarah, juga tidak ada seorang pun dari empat qurra’ tambahan lainnya. Sehingga (qira’at yang disebutkan Goldziher ini –pen) tidak termasuk dalam kategori qira’ah yang mutawatir, masyhurah, shahihah atau syadz. Ia tidak lebih dari sebuah qira’at yang tertolak. Tidak ada seorang pun ulama qira’at yang memperdulikan dan bersandar padanya…
Cukuplah sebagai bukti kemunkarannya bahwa ia tidak disandarkan kepada qari’ (baca: ahli qira’at) tertentu. Tidak pula pada perawi tertentu. Ini adalah bukti paling jelas yang menunjukkan bahwa yang menjadi pijakan dalam qira’at adalah naqli dan sanad, bukan rasm dan khat.[49]

Dari 5 contoh yang diangkat oleh Goldziher –terkait dengan kesimpulannya ini-, menurut al-Qadhy dua di antaranya memang benar sebagai varian qira’at yang tsabit (seperti yang terdapat dalam surah al-Nisa’: 94), namun –sekali lagi- munculnya varian itu tidak bertitik tolak pada rasm Al-Qur’an, tetapi semata-mata karena berasal dari jalur periwayatan yang shahih. 
Kesimpulan Goldziher lainya yang dibantah oleh al-Qadhy adalah yang menyatakan bahwa pemahaman seorang penafsir klasik terhadap sebuah ayat juga turut berperan dalam lahirnya sebuah varian qira’at. Sebagai contoh –menurut Goldziher- adalah apa yang dilakukan oleh Qatadah al-Bashry (w. 117H) ketika membaca ayat 54 dalam surah al-Baqarah:
¼ <¢MX…Wè WÓ†WTÎ uøWªéSÚ -YãYYYÚóéTWTÍYÖ YzóéTWÍHTWTÿ óØRÑPVßMX… óØS`ÙVÕðÀº ØS|W©SÉßKV… SØRÒY¢†WPYTŽ@†YŠ WÔ`•YÅ<Ö@… vN…éTSTŠéSTWTÊ uøVÖXM… óØRÑMXúg¤†WŠ vN…éTRÕST<Î@†WTÊ óØRÑW©SÉßKV…  » [البقرة:54]
Qatadah memandang bahwa hukuman “bunuh diri” dalam ayat ini terlalu ekstrim dan tidak sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan oleh Bani Israil. Maka ia pun –menurut Goldziher- memindahkan 2 titik yang terdapat pada huruf ta’ dari atas ke bawah, sehingga berubah menjadi huruf ya’. Lahirlah varian qira’at baru yang berbunyi فأقيلوا أنفسكم , yang berarti “maka bertaubatlah sungguh-sungguh dengan menyesali kesalahan yang telah dilakukan.”
Al-Qadhy membantah hal ini dengan –sekali lagi- menegaskan bahwa dasar pemunculan varian qira’at sama sekali tidak berangkat dari “terbukanya” rasm ‘utsmany untuk kemungkinan bacaan tertentu. Di samping itu –menurut al-Qadhy-, qira’at Qatadah ini tidak pernah dinukil oleh para qurra’ yang diakui, tidak memiliki sanad yang dapat diandalkan, dan Qatadah al-Bashry sendiri tidak diletakkan dalam barisan para qurra’ serta tidak ada satupun qira’at yang dinisbatkan kepadanya, kecuali apa yang disebutkan Goldziher ini. 
Penjelasan ini semakin dikuatkan oleh Al-Qadhy dengan menyatakan,
Dari Qatadah sendiri telah dinukilkan bahwa ia menafsirkan ayat ini dengan tafsir yang justru menyelisihi qira’atnya itu. Syeikh al-Mufassirin Imam Ibn Jarir al-Thabary menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa Qatadah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan: ‘Mereka berdiri dalam dua barisan shaf, lalu saling membunuh satu sama lain, hingga dikatakan pada mereka untuk berhenti. Maka (pembunuhan) itu menjadi kesyahidan bagi yang terbunuh, dan taubat bagi yang masih hidup.’
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya: ‘Qatadah mengatakan: ‘(Allah) memerintahkan kaum itu (Bani Israil) dengan perintah yang sangat berat. Maka mereka pun berdiri saling membunuh senjata tajam, hingga Allah menuntaskan hukumannya pada mereka. Lalu berjatuhanlah senjata itu dari tangan mereka, Allah pun menghentikan pembunuhan itu dari mereka. Maka (pembunuhan) itu menjadi taubat bagi yang hidup, dan kesyahidan bagi yang mati.[50]  

Ini menunjukkan bahwa Qatadah sendiri memahami bahwa “perintah bunuh diri” dalam ayat ini adalah “saling membunuh” yang sesungguhnya, dan bukan ‘sekedar’ sebuah penyesalan. al-Qadhy bahkan hampir memastikan bahwa qira’at ini adalah sesuatu yang ‘disusupkan’ kepada Qatadah.[51] 
Kesimpulan dari ini semua adalah bahwa perbedaan qira’at sepenuhnya bertumpu pada riwayat (baca: wahyu), dan bukan merupakan hasil penyesuain terhadap karakter rasm ‘ustmany. Rasm ‘utsmany justru disusun dengan karakternya yang khas untuk mengakomodir ragam qira’at tersebut.

            Apakah Al-Hajjaj bin Yusuf (w. 95 H) Melakukan Perubahan Terhadap Al-Qur’an?
Ini adalah tuduhan klasik yang ditujukan kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Ia dituduh telah melakukan perubahan dan membuang beberapa huruf mushaf ‘Utsmany, bahwa ia menulis 6 mushaf yang kemudian dikirim ke berbagai wilayah, lalu mengumpulkan semua mushaf tua kemudian melenyapkannya, dan bahwa semua itu ia lakukan demi mencari muka dengan cara meneguhkan Khilafah Umawiyah.[52] Salah satu yang menjadi pegangan tuduhan ini adalah riwayat ‘Auf bin Abi Jamilah yang menyebutkan bahwa al-Hajjaj telah mengubah 11 huruf dalam mushaf ‘Utsmany, diantaranya : $`ãTPVÞW©WWTÿ  ØVÖ (al-Baqarah: 259) dan &†_TT–†Wä`ÞTYÚWè àWÆó£Y® (al-Ma’idah:48).
Tuduhan ini sebenarnya sangat tidak berdasar. Dan para ulama telah memberikan jawabannya sebagai berikut:
1.      Riwayat-riwayat yang dijadikan landasan tuduhan ini sangat lemah. Atsar yang diriwayatkan oleh ‘Auf bin Abi Jamilah ini misalnya dha’if jiddan (lemah sekali). Salah satu perawinya adalah ‘Abbad bin Shuhaib. Ia seorang yang matruk, haditsnya lemah dan salah seorang da’i qadariyah. Ditambah lagi ‘Auf bin Abi Jamilah –meskipun ia seorang yang tsiqah-, namun ia tertuduh qadariyah dan tasyayyu’. Dan seperti yang kita lihat, riwayat ini terkesan menyudutkan Khilafah Umawiyah, dan justru menguatkan tuduhan kaum Syi’ah bahwa al-Qur’an telah mengalami penyimpangan.
2.      Al-Hajjaj hanyalah seorang gubernur di sebuah kota Islam. Sangat tidak logis jika ia mampu melakukan sebuah “revolusi” sedahsyat ini tanpa mendapatkan penentangan, baik dari atasannya maupun para ulama Islam.
3.      Seandainya pun al-Hajjaj mampu melakukan itu dengan kekuasaannya, tapi sangat mustahil ia dapat menundukkan hati ribuan penghafal al-Qur’an dan mengapus hafalan yang telah terukir di hati mereka. 
4.      Dalam perubahan yang dituduhkan pada al-Hajjaj itu, tidak ada satupun yang menunjukkan dukungan terhadap Bani Umayyah dan pembatalan terhadap Khilafah Abbasiyah.[53]
Satu hal yang juga patut dicatat, bahwa al-Hajjaj dengan segala kezhalimannya tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang pemimpin yang sangat keras perhatiannya terhadap mushaf ‘Utsmany. Ia bahkan menyuruh ‘Ashim al-Jahdary, Najiyah bin Rumh, dan ‘Ali bin Ashma’ untuk meneliti mushaf yang tersebar di tengah masyarakat. Jika mereka menemukan mushaf yang menyelisihi mushaf ‘Utsmany, maka mereka mengambilnya dan menggantinya dengan 60 dirham untuk pemiliknya.[54]


BERSAMBUNG....

No comments:

Post a Comment

silakan komentar