Pages

Sunday, 1 April 2018

MAKALAH ISLAM DAN GLOBALISASI; PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KRISIS IDENTITAS MUSLIM

GAMBAR hanya ilustrasi


ISLAM DAN GLOBALISASI;
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP

                                              KRISIS IDENTITAS MUSLIM


Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Wacana Islam dan Isu Kontemporer



Oleh:
 Muh. Ikhsan
7105090722

Dosen:
DR. Bahtiar Effendy, MA




UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM

                                KEKHUSUSAN KAJIAN ISLAM

JAKARTA
 2006



ISLAM DAN GLOBALISASI;
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
KRISIS IDENTITAS MUSLIM
Muh. Ikhsan

Sebagai umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1) Kita adalah pemilik risalah ‘alamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita berbahasa Arab, Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab). Tetapi ini bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi. Agama masehi sendiri tumbuh di dunia Timur, lalu tersebar di penjuru dunia. (2) Jalan untuk menuju saling pengertian dan berdekatan cukup banyak. (Salah satunya adalah ta’aruf). Jadi ta’aruf –bukan saling bermusuhan- merupakan kewajiban semua penduduk bumi. Kita tidak sependapat dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan, ‘Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin bertemu.’ Keduanya justru bisa bertemu, dan bahkan wajib untuk bertemu bila niatnya benar. (3) Dunia yang semakin dekat ini mengharuskan penganut agama-agama samawi dan pemilik tiap peradaban untuk bertemu, berdialog dan saling memahami. Dan tentu saja dialog semacam itu lebih baik daripada pemusuhan.

Yusuf al-Qaradhawi[1]


Globalisasi sebagai sebuah fenomena mulai menampakkan dirinya pada sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Dan pemunculan itu setidaknya sangat berkiatan erat dengan 3 peristiwa besar yang masing-masing mewakili ranah politik, teknologi dan ekonomi. Ketiga peristiwa itu adalah:
1.      Ranah politik: berupa berakhirnya perang dingin antara Timur –yang dalam hal ini diwakili oleh Uni Soviet- dan Barat –yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika-. Tentu saja dengan “kekalahan” di pihak Uni Soviet yang belakangan harus rela membiarkan wilayahnya tercabik dan melepaskan diri satu persatu.
2.      Ranah teknologi: yang mewujud dalam revolusi informasi, dimana dunia menyaksikan ledakan yang luar biasa dalam bidang telekomunikasi dan arus perpindahan informasi yang tak terkendali dari satu tempat ke tempat yang lain.
3.      Ranah ekonomi: berupa lahirnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 yang kemudian menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara.[2]
Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa  memiliki kekuasaan penuh (baca: menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun Romawi pernah menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu kemudian tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.
Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa menggalakkan ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah tidak pernah mencatat adanya fenomena baru yang disebut globalisasi ini, meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil menanamkan kekuatan dan kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman kiwari ini, di saat kita –setidaknya secara kasat mata- tidak lagi melihat bentuk-bentuk imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan perkembangan telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap detik, justru menjelma menjadi fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita nampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain turut serta menjadi “pemain” dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang menentukan: apakah kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia mengalir, atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan cita-cita keislaman kita.
Tulisan ini pada intinya ingin menyampaikan gagasan seputar bagaimana seharusnya seorang muslim dapat tetap berdiri kukuh menggenggam identitasnya, sembari terus memanfaatkan kekuatan arus globalisasi tersebut untuk kepentingan Islam yang ia yakini. Karena itu, uraian kajian ini akan mengulas poin-poin berikut ini:
1.      Apa itu globalisasi?
2.      Kegelisahan bangsa-bangsa dunia akan krisis identitas mereka akibat globalisasi. (Dampak negatif globalisasi terhadap identitas bangsa-bangsa dunia)
3.      Bagaimana menyelesaikan dampak negatif globalisasi terhadap identitas muslim.
4.      Bagaimana memanfaatkan globalisasi sebagai jalan untuk memperteguh identitas muslim.

Apa Itu Globalisasi?
Meskipun globalisasi telah menjadi fenomena yang diakui keberwujudannya oleh semua kalangan, namun tetap saja terjadi perbedaan pandangan saat kita akan menjelaskan batasannya yang sebenarnya. Para cendekiawan yang mengurai masalah ini setidaknya terbagi menjadi beberapa “madzhab” ketika memberikan definisi terhadap globalisasi, antara lain:
Pertama, adalah yang menitikberatkan fenomena globalisasi pada bidang ekonomi. DR. Sa’ad al-Bazi’i misalnya menyebutkan:
 Globalisasi adalah penjajahan dalam pakaiannya yang baru. Sebuah pakaian yang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan membawa nilai-nilai yang mendukung tersebar dan mengakarnya kepentingan-kepentingan itu. Ia adalah penjajahan tanpa dominasi politik secara langsung atau iring-iringan militer yang kasat mata. Secara sederhana, ia adalah upaya yang didorong oleh hasrat berkuasa manusia atas ekonomi dan pasar  lokal, lalu mengikatnya dengan sistem yang lebih besar untuk kemudian mendapatkan sebanyak mungkin konsumen. Dan jika upaya pencarian pasar dan usaha untuk memasarkan (produk) adalah merupakan tuntutan manusiawi yang telah ada sejak dulu hingga sekarang, bahkan disyariatkan, akan tetapi apa yang terjadi di sini (dalam globalisasi –pen) tidak sama dengan itu. Sebab (globalisasi) adalah upaya untuk melakukan persaingan yang tidak berimbang –bahkan boleh jadi tidak terhormat- dari satu sisi, dan dari sisi lain ia adalah upaya untuk melemahkan apapun yang menghalangi jalannya; baik itu berupa nilai ataupun upaya ekonomi dan pemikiran.[3]

Penjelasan ini dengan sangat jelas memandang bahwa inti dari globalisasi sepenuhnya berputar pada satu titik utama, yaitu kepentingan ekonomi pihak yang menggerakkan globalisasi itu. Tindakan apapun yang lahir kemudian, meskipun tidak memiliki aroma ekonomi yang kental, sesungguhnya adalah alat untuk menyukseskan kepentingan utama tersebut. Meskipun sebenarnya pengaitan globalisasi dengan ekonomi bisa melahirkan dua paradigma yang kontradiktif: paradigma optimistik dan pesimistik. Dengan paradigma optimistik kita bisa saja mengatakan bahwa globalisasi akan membuka sekat-sekat yang selama ini menghalangi banyak negara untuk memasarkan produknya atau mendapatkan produk-produk penunjang kemajuannya. Sementara dengan paradigma pesimistik, kita juga bisa mengatakan bahwa globalisasi hanya akan menambah jumlah kemiskinan dan menguntungkan korporasi-korporasi besar, yang mengakibatkan matinya usaha-usaha kecil.[4]

Kedua, yang mengaitkan globalisasi dengan sisi pemikiran dan ideologis. Suatu model yang disebut sebagai teologi global oleh John Hick, atau teologi dunia (world theology) oleh W.C. Smith.[5] DR. Muhammad ‘Abid al-Jabiry mengatakan:
Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses pemberangusan’ pemikiran (lain)...Ia juga berarti dominasi dan pengharusan menerapkan satu model konsumsi dan perilaku yang sama.[6]
Hal yang sama juga kemudian digambarkan secara lebih jelas oleh Muhammad Samir al-Munir yang menyatakan:
Barat ingin mewajibkan model, pemikiran, perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya terhadap (bangsa) lain. Sedangkan orang-orang Prancis memandang bahwa globalisasi adalah wujud halus dari Amerikaisasi yang mewujud dalam tiga simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide rendah namun fasilitas yang fantastik, dan (3) minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya...[7]
Atau dalam bahasa ide yang sama, menurut Malcom Walter, bahwa globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah memasarkan ideologi Barat, dan bahkan membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya, -masih menurut Walter- gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan sekulerisme.[8]

Ketiga, ada yang memberikan batasan bahwa globalisasi tidak lebih dari sekedar sebuah fenomena “afiliasi yang bersifat internasional”, seperti batasan yang diberikan oleh DR. Shabri ‘Abdullah:
 Bahwa globalisasi adalah fenomena dimana segala hal yang berhubungan dengan ekonomi, pemikiran, sosial dan perilaku bercampur serta berkelindan menjadi satu, hingga kemudian (hasil percampuran itu –pent) diafiliasikan kepada seluruh dunia melampaui batas-batas politis negara-negara.[9]

Sementara yang lain mencoba memberikan batasan yang lebih komperhensif dan integral terhadap globalisasi dengan menetapkan bahwa fenomena ini tidak sekedar mewakili salah satu dari poin-poin yang dititiktekankan oleh ketiga pandangan sebelumnya. Samir al-Tharablusi misalnya menguraikan batasan globalisasi dengan mengaitkannya –setidaknya- pada 3 hal:[10] ekonomi, politik, dan pemikiran. Ia menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah pandangan strategis kekuatan kapitalisme internasional, khususnya Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menata ulang dunia sesuai kepentingan dan ketamakannya. Dan dalam proses menuju itu, pandangan ini menempuh 3 jalan penting: (1) Ekonomi, dan tujuannya adalah menekan dunia untuk masuk dalam satu pasar kapitalisme yang diatur dengan satu sistem, dimana seluruh kekuatan kapitalisme (Tujuh negara industri, IMF, WTO, dan yang lainnya) dikerahkan untuk mengawasi dan membatasi geraknya. (2) Politik, dan tujuannya adalah membangun ulang tata politik negara-negara dunia dalam wujud yang terpecah-pecah dan membangun negara-negara baru yang memiliki kekuatan legitimasi yang rapuh oleh pertikaian internal; semuanya dengan tujuan memberangus hasrat perlawanan negara-negara dunia terhadap kapitalisme –yang memang tidak akan mencapai kestabilannya kecuali dengan keterpecahan itu. (3) Pemikiran, yang bertujuan mencerabut akar bangunan pemikiran dan peradaban bangsa-bangsa dunia, dengan tujuan menyapuratakan dunia dengan pemikiran yang mendukung kepentingan pasar global; seperti menggiring opini negara berkembang bahwa mereka tidak bisa melepaskan ketergantungan pada negara-negara maju.
Batasan terakhir ini mungkin menjadi penjelasan terutuh tentang globalisasi. Namun dari semua penjelasan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa globalisasi adalah: “sebuah kata yang merangkum beberapa fenomena yang intinya adalah menjadikan dunia saling berdekatan melalui kemajuan yang dahsyat dalam sarana komunikasi, transportasi, satelit dan internet, keterbukaan arus informasi, yang (semuanya itu) disertai dengan kekuasaan satu kutub (dalam hal ini Amerika dengan pengaruh Zionisme) yang berusaha untuk menyatukan semua kekuatan ekonomi, politik (termasuk didalamnya militer) dan pemikiran untuk memenuhi kepentingannya.”
Dalam kajian ini, sebenarnya yang paling penting untuk digarisbawahi adalah pengaruh globalisasi terhadap pemikiran bangsa-bangsa dunia. Sebab inilah yang paling bersinggungan langsung dengan identitas mereka masing-masing. Ini pulalah yang kemudian memberikan pengaruh paling signifikan terhadap gegar identitas itu.

Kegelisahan Bangsa-bangsa Dunia Terhadap Krisis Identitas Akibat Globalisasi
Identitas adalah inti dan hakikat sesuatu. Bila ia dikaitkan dengan sebuah bangsa atau komunitas, maka ia adalah “karakter yang membedakannya dengan bangsa atau komunitas lain, yang sekaligus mengungkapkan kepribadian peradabannya.”[11] Dan sebuah identitas selalu mengumpulkan 3 hal: (1) Keyakinan ideologis, (2) bahasa untuk mengungkapkannya, dan (3) warisan budaya dan peradaban untuk jangka waktu yang panjang.[12] Dari ketiga unsur ini, keyakinan ideologis-lah unsur terpenting sebuah identitas. Dalam berbagai konflik antar manusia, ketika unsur-unsur identitas yang  lain mulai memudar, maka biasanya unsur ideologis-lah yang kemudian menjadi “pelindung” akhir sebuah identitas.
Identitas sebuah bangsa atau komunitas tentu saja sangat penting. Berbagai kepentingan manusia sesungguhnya bertitik tolak dari hal ini. Akibatnya, mempertahankan dan menjaga identitas menjadi sebuah misi penting setiap bangsa atau komunitas. Mengapa negara-negara Uni Eropa menolak Turki untuk bergabung bersama mereka? Karena perbedaan identitas antara mereka dengan Turki. Eropa dengan sangat jelas menegaskan bahwa mereka tidak menghendakinya ada satupun negara muslim (baca: Turki) dalam persatuan Uni Eropa.[13] Dengan demikian, sebenarnya kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas telah menjadi milik semua bangsa di dunia; suatu hal yang kemudian mendorong beberapa bangsa itu justru melakukan “agresi identitas” terhadap bangsa lain. Dan itu dilakukan dengan menunggangi globalisasi sebagai alat.
Maka tidak mengherankan jika sebelumnya ada yang menyebut globalisasi sebagai Amerikaisasi. Dan sangat disayangkan bahwa Amerika –kenyataannya- memang tidak sekedar bermaksud menanamkan nilai-nilainya saja, namun bertitik-tolak dari kepentingan-kepentingannya seringkali menerapkan standar-standar ganda dalam banyak kasus. Dan dengan cara seperti itu, ia telah menjelma menjadi sosok ancaman besar bagi bangsa lain, terutama Islam. Dan berikut ini hanyalah beberapa bukti akan hal itu:
Chechnya dilarang untuk memisahkan diri dari Rusia, sementara Timor-Timur justru dipaksa untuk memisahkan diri dari Indonesia dengan campur tangan Australia serta dukungan dari negara Barat. Begitu pula dengan negara-negara Baltik dan Georgia; mereka boleh saja berpisah dan merdeka dari Rusia, namun tidak untuk negara-negara bekas Uni Soviet yang muslim.
Globalisasi adalah ketika Anda boleh menyerang negara berdaulat manapun -meskipun tidak ada izin dari PBB- hanya karena dugaan adanya senjata pemusnah massal, sementara ada negara yang tidak jauh dari negara itu yang jelas-jelas memiliki senjata pemusnah massal dan menduduki tanah yang bukan miliknya dengan melanggar semua keputusan PBB. Sudah terlalu jelas, Amerika adalah pendukung Israel. Ia akan selalu menggunakan hak vetonya dari waktu ke waktu untuk mendukung pendudukannya di tanah Palestina. Amerika jugalah yang menyerang Irak dengan alasan-alasan kosong “senjata pemusnah massal” meski tanpa izin Dewan Keamanan PBB. Ia jugalah yang memindahkan tawanan-tawanan Afghanistan ke Guantanamo tanpa pengadilan yang transparan dan adil. Ia jugalah yang menakut-nakuti lembaga-lembaga donor Islam sebagai pendana gerakan terorisme, dan ia –Amerika- boleh saja membekukan rekening lembaga atau person manapun yang inginkan. Meski tanpa bukti yang jelas.
Gerakan-gerakan perlawanan Palestina adalah sekumpulan teroris, sementara “sang penjajah” tidak lebih dari orang-orang yang melakukan pembelaan diri. Gerakan-gerakan perlawanan Afghanistan terhadap invasi Amerika adalah teroris. Namun ketika gerakan yang sama melakukan perlawanan terhadap invasi Uni Soviet, ia menjadi gerakan yang legal bahkan mendapatkan dukungan kuat. Ini semua tidak lain menunjukkan adanya tolok ukur yang kacau di pihak Amerika.
Fenomena Huntington dengan Clash Civilication-nya juga patut dicermati. Teori yang diangkatnya tidak lebih dari sebuah ajakan untuk mengembalikan fanatisme terhadap peradaban Barat untuk kemudian memerangi yang lain, terutama Islam. Dalam bukunya, ia dari waktu ke waktu melontarkan provokasi untuk mewaspadai Islam, dan itu cukup berhasil menumbuhkan kekhawatiran yang tak terlukiskan di kalangan Barat, terutama Amerika. Isu “perang terhadap terorisme” adalah bukti tak terbantahkan atas keberhasilan itu.
Fakta lain yang harus diangkat adalah bahwa kegelisahan akan pola globalisasi ala Amerika ini tidak hanya milik umat Islam. Friedman misalnya menyatakan: “Kita sedang berada di hadapan berbagai perang politis dan peradaban yang ganas dan keji. Amerika Serikat adalah sebuah kekuatan yang gila, dan kita adalah kekuatan revolusioner yang berbahaya. Sebenarnya mereka-lah yang takut kepada kita.”[14] Pada tahun 2003, dari hasil sebuah jajak pendapat di Eropa disimpulkan bahwa Amerika kemudian Israel adalah ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia.[15]
Beberapa studi juga mengungkapkan keluhan-keluhan negara-negara Timur non-muslim akan hal ini. Jepang dan Korea Selatan misalnya. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh materi siaran televisi bagi kaum muda Korea Selatan menunjukkan bahwa materi itu sangat mempengaruhi nilai-nilai tradisi kekoreaan mereka. Akibatnya banyak pemudi Korea yang lebih memilih bebas dari ikatan keluarga dan moral. Mereka bahkan meyakini bahwa tidak menjadi soal jika melakukan hubungan seks di luar nikah, dan bahwa itu tidak lebih merupakan bagian dari kebebasan individu. Bahkan menjadi biasa saja bagi mereka untuk merendahkan ajaran Kong Hu Chu –yang menjadi sebagian rakyat Korea Selatan.
Di Filipina –yang notabene termasuk negara Asia paling “amerikanis”-, juga menyeruak kegelisahan akibat merasuknya nilai-nilai materialistik sebagai nilai terpenting di kalangan pelajar dan melunturnya apa yang disebut sebagai nilai-nilai budaya Filipina yang asli, seperti kelapangan dada, pengorbanan dan kebijaksanaan.[16]
Bahkan sebagian negara-negara Barat pun merasakan kecemasan yang tidak jauh berbeda dengan kecemasan-kecemasan di atas. Prancis misalnya, meskipun termasuk negara Barat-Kristen, namun diakibatkan perbedaan bahasa, ia kemudian menjadi negara yang paling mengeluhkan globalisasi pemikiran dan dominasi bahasa Inggris. Ini dianggap sebagai ancaman bagi identitas Prancis.
Sebuah studi di Australia –yang bisa disebut negara Kristen Barat paling serupa dengan Amerika dalam hal identitas- tetap saja menunjukkan kecemasan yang sama, terutama pengaruh materi siaran televisi Amerika terhadap anak-anak Australia. Tidak hanya itu, di Kanada bahkan kegelisahan itu diungkapkan oleh Menteri Kebudayaan, Sheila Coops. Ia mengkhawatirkan adanya dominasi budaya Amerika di sana. Ia mengatakan: “Menjadi hak anak-anak di Kanada untuk menikmati hikayat-hikayat nenek moyang mereka. Sangat tidak masuk akal dan tidak bisa diterima jika 60% program televisi Kanada merupakan barang impor, 70% musik kita adalah musik asing, dan 95% etika kita tidak berasal dari Kanada.”[17]
Contoh-contoh yang diangkat dari berbagai studi di dunia tersebut menunjukkan adanya kekhawatiran para pemikir dan budayawan di berbagai negara akan bergesernya identitas budaya dan kepribadian mereka oleh globalisasi Amerika. Pertanyaannya adalah apakah di saat yang sama, umat Islam tidak perlu merasakan kekhawatiran yang sama akan hal itu? Seharusnya kekhawatiran itu memang menjadi milik umat Islam, sebab pelaku-pelaku globalisasi belum pernah menyatakan “perang” sedahsyat pernyataan perang mereka terhadap Islam.
Hal lain yang patut diingat adalah bahwa pelaku-pelaku globalisasi itu terus berusaha membentuk ulang pemahaman-pemahaman dasar kaum muslimin tentang alam, manusia dan kehidupan, untuk kemudian diganti dengan pemahaman yang selama ini umum diyakini di Barat. Alam –dalam pandangan mereka- tidak diciptakan untuk menjadi sarana kemudahan hidup manusia. Alam bukanlah tempat pengujian siapa yang terbaik amalnya. Manusia tidak diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Kebalikan dari pemahaman-pemahaman semacam ini –yang merupakan pemahaman mendasar dalam Islam- bagi mereka tidak lebih dari sekumpulan khurafat yang tidak bisa diterima rasio.[18]
Jika kita beralih dari pemahaman ideologis –yang merupakan pijakan dasar sebuah identitas- kepada bahasa yang merupakan alat pengungkap dan penjelas dari pemahaman itu, maka kita akan melihat dengan nyata dominasi budaya Barat hari ini dapat terlihat dengan jelas dalam wujud bahasa. Survei di internet misalnya menunjukkan bahwa 88 % informasinya disampaikan dengan bahasa Inggris, 9 % dengan bahasa Jerman, 2 % dengan bahasa Prancis, dan 1 % sisanya terbagi ke dalam berbagai bahasa dunia.[19]
Pengaruh globalisasi terhadap perubahan identitas perilaku dan akhlak dapat dikatakan yang paling cepat terjadi dibandingkan dengan yang lainnya. Kampanye seputar seks bebas, kehidupan hedonistik, mode busana terbaru, dan lain sebagainya, telah terbukti sebagai isu yang paling cepat mendapatkan tanggapan, reaksi, dan penggemar.
Dan pertanyaan akhirnya –sekali lagi- adalah: tidak patutkah semua itu menggelisahkan identitas Islam di seluruh dunia?

Jalan Untuk Menghadapi Dampak Negatif Globalisme

Globalisasi sesungguhnya adalah fenomena yang mau tidak mau pasti terjadi. Ia merupakan konsekwensi dan kemestian logis dari kemajuan teknologi hubungan dan interaksi manusia yang tak kenal lelah untuk terus mencipta hal baru. Maka kemustahilan membunuh globalisasi sama saja dengan kemustahilan mematikan hasrat kreatifitas manusia. Tetapi penerimaan terhadap globalisasi tidak berarti kesediaan untuk larut dalam dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama jika itu terkait dengan identitas kemusliman kita –sebagaimana yang menjadi bahasan kajian ini-. Berikut ini beberapa saran teoritis yang mungkin dapat menjadi jalan panjang untuk menghadapi berbagai dampak negatif globalisasi tersebut:
Pertama, melakukan upaya-upaya penguatan identitas muslim dengan unsurnya yang paling kuat: kembali kepada Islam. Segala upaya-upaya yang dapat melahirkan kebanggaan pada Islam seharusnya ditempuh. Sebab krisis identitas paling menemukan jalannya jika sejati identitas itu sendiri tidak mendapatkan tempat di hati di kalangan muslim sendiri.
Kedua, menampilkan sisi-sisi keindahan, keuniversalan, keadilan, dan peradaban Islam yang luhur bagi umat Islam sendiri, sebelum kemudian menyodorkannya kepada umat di luar Islam. Kesilauan pada identitas orang lain dan keraguan pada identitas sendiri selalu bermula dari ketidaktahuan atau ketidaksadaran akan keunggulan diri sendiri. Muhammad Quthb mengatakan:
Sesungguhnya jawaban hakiki terhadap “thaghut” masa kini yang bernama globalisasi ini adalah (dengan) menampilkan model (prototipe) yang benar yang seharusnya dijalankan oleh manusia, agar umat manusia percaya bahwa –di alam nyata- mereka dapat mencapai kemajuan di bidang teknologi, ekonomi, militer dan politik, dengan tetap mampu menjaga kemanusiaan dan kebersihannya, meninggalkan hal-hal rendah dan keji, serta menegakkan keadilan dan kebenaran.[20]
Dan yang tak kalah pentingnya adalah membuktikan kemampuan Islam dalam memberikan jawaban terhadap semua problematika yang dimunculkan oleh globalisasi.
Ketiga, menghadapi dampak positif globalisasi dengan upaya-upaya pendidikan, pencerahan pemikiran, peningkatan kualitas intelektual dan perang terhadap kebodohan.
Ketiga, memberikan jaminan kemerdekaan dan kebebasan pemikiran di tengah kaum muslimin. Sebab kemerdekaan dan kebebasan berpikir adalah upaya terpenting untuk membagi dan menumbuhkembangkan potensi dan kreatifitas individu muslim, yang pada akhirnya menjadi faktor mendasar bagi berkembangnya sumbangsih kaum muslimin untuk peradaban dunia. Hanya saja, kemerdekaan ini tidak bisa dipahami sebagai kebebasan membuka pintu untuk mengekspresikan apapun, dan tidak pula berarti penerimaan terhadap semua ide dan pemikiran. Kemerdekaan yang dimaksud di sini adalah kemerdekaan yang dibingkai dengan aturan-aturan syara’.
Keempat, harus ada upaya untuk memahami lebih jauh tentang globalisasi pemikiran. Upaya ini lebih ditujukan untuk mengetahui lebih jauh titik kekuatan dan kelemahan, sisi positif dan negatifnya melalui pandangan Islam yang terbuka. Di sini harus tercipta sebuah dialog antar peradaban. Dan poin penting lain yang harus dicatat adalah bahwa sikap kritis yang total terhadap peradaban Barat dalam studi ini harus didukung oleh kebebasan jiwa dari dominasi ide-ide Barat. Ide-ide Barat tidak boleh menjelma menjadi sesuatu yang mutlak. Ia harus diletakkan sebagai unsur yang sama dan sederajat dengan unsur-unsur dunia lainnya.  
Kelima, menciptakan komitmen dengan media-media massa dan informasi untuk ikut serta memperkuat identitas keislaman umat. Tidak ada yang meragukan bahwa pergeseran identitas banyak dipengaruhi oleh siaran televisi, radio, media massa, dan –yang mengalami ledakan dahsyat dalam dasawarsa belakangan ini- internet. Upaya ini menuntut kreatifitas dan inovasi yang tinggi dari para pelaku media informasi dan komunikasi muslim untuk melahirkan program-program alternatif yang bermutu.

Penutup

Pada akhirnya, Islam dan umat Islam sesungguhnya dapat memanfaatkan globalisasi sebagai jalan efektif untuk memperteguh identitasnya. Bahkan sudah seharusnya demikian. Artinya pemanfaatan globalisasi dalam rangka meneguhkan –bahkan menyebarkan- identitas Islam dan umat Islam sesungguhnya telah sampai pada taraf kewajiban. Apalagi salah satu doktrin penting yang sering digaungkan oleh umat Islam sendiri adalah bahwa Islam adalah agama ‘alami.[21]
Pemanfaatan globalisasi tentu saja didasarkan pada pandangan objektif bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya mengandung nilai-nilai negatif. Fenomena ini sebenarnya menyimpan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, yang dampak-dampaknya sepenuhnya bergantung pada “siapa dan bagaimana” ia dimanfaatkan. Senjata paling mematikan yang dimiliki oleh globalisasi adalah media informasi dan sarana telekomunikasi dengan segala variannya yang berkembang setiap hari. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, hari ini kita menantikan kolaborasi cantik antara ulama, pemikir, ilmuwan ahli, budayawan, dan pelaku-pelaku globalisasi muslim untuk meracik secara tepat, untuk kemudian menyajikan jawaban positif Islam atas globalisasi.

Cipinang Muara, 17 Juni 2006
















DAFTAR PUSTAKA

1.      ‘Ammar Thalibi. Al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Sulukiyyat wa al-Akhlaq. Majalah al-Ra’id. Edisi 236 Rabi al-Awwal 1423/mei 2002. Al-Dar al-Islamiyyah li al-I’lam. Jerman.
2.      Anwar ‘Isyqi. Al-Syayathin Takhtabi’ fi al-Tafashil ((Silsilah Kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
3.      Bachtiar Effendi. Islam dan Nasionalisme Tidak Mesti Bertentanga. Wawancara dengan situs Islamlib.com tanggal 29-08-2005. http://islamlib.com/idindex.php?page=article&mode=print&id+870.
4.      Hamid Fahmi Zarkasyi. Merespon Globalisasi dengan Plurasime Agama. http://www.insistnet.com/index2.php?option_content&task=view&id=25.
5.      Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim. Al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah. http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=7335.
6.      Mahmud Samir al-Munir. Al-‘Aulamah wa ‘Alam Bila Hawiyyah. Dar al-Kalimah. Mesir. Cetakan pertama. 1422.
7.      Muhammad bin Isa al-Tamimi. Al-‘Aulamah wa Qadhiyah al-Hawiyah al-Tsaqafiyah. Cetakan pertama. 1422.
8.      Muhammad Quthub. Al-Muslimun wa al-‘Aulamah. Dar al-Syuruq. Kairo. Cetakan pertama. 1421 H.
9.      Sa’ad al-Bazi’i. al-Mutsaqqafun wa al-‘Aulamah wa al-Dharurah wa al-Dharar (Silsilah Kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
10.  Samuel Huntington. Shadam al-Hadharat (Clash Civilication). Penerjemah ke dalam bahasa Arab: Thla’at al-Syayib. Cetakan kedua. 1999.
11.  Shabri Abdullah. Al-‘Arab wa Muwajahah al-‘Aulamah (Silsilah kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-‘Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
12.  Yusuf al-Qaradhawi. Al-Muslimun wa al-‘Aulamah. Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr. Kairo. t.t.
13.  Shabri Abdullah. Al-‘Arab wa Muwajahah al-‘Aulamah (Silsilah kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-‘Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
.









[1] Yusuf al-Qaradhawi, al-Muslimun wa al-‘Aulamah, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr: t.t, h. 153-154 dengan sedikit penyesuaian.
[2] Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah, h. 1, http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=7335.
[3] Sa’ad al-Bazi’i, al-Mutsaqqafun wa al-‘Aulamah wa al-Dharurah wa al-Dharar, Silsilah Kitab al-Ma’rifah (7) Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar, 1420 H, h. 73.
[4] Bandingkan dengan Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah, h.1.
[5] Sebagaimana dinukil dari Hamid Fahmy Zarkasyi, Merespon Globalisasi dengan Pluralisme Agama, http://www.insistnet.com/index2.php?option_content&task=view&id=25, h. 1.
[6] Sebagaimana dalam DR. Muhammad al-Tamimi, al-‘Aulamah wa Qadhiyah al-Hawiyah al-Tsaqafiyah, 1422 H, h. 29.
[7] DR. Mahmud Samir al-Munir, al-‘Aulamah wa ‘Alam Bila Hawiyyah, Mesir: Dar al-Kalimah, 1421 H, h. 129.
[8] Sebagaimana dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, Merespon Globalisasi dengan Pluralisme Agama, h. 1.
[9] Sebagaimana dalam DR. Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-‘Aulamah, h. 2.
[10] Lihat makalahnya yang berjudul “al-‘Arab wa Muwajahah al-‘Aulamah”, h.51-52, dalam Silsilah Kitab al-Ma’rifah (7)-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-‘Akhar, 1420 H.
[11] Sebagaimana dalam DR. Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah, h. 3.
[12] Mahmud Samir al-Munir, al-‘Aulamah wa ‘Alam Bila Hawiyyah, h. 146.
[13] Lihat analisa Samuel Huntington dalam masalah ini pada: Shadam al-Hadharat (Clash Civilication), diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Thal’at al-Syayib, 1999, h. 204-205 dan 433.
[14] Sebagaimana dinukil oleh al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala Iqtishad al-Duwal, h. 28, dari surat kabar al-Syarq al-Ausath tanggal 2-3-1997.
[15] Lih. DR. Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasimy, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyah, h. 6.
[16] Kedua penelitian ini disebutkan dalam DR. Ammar Thalibi, “al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Sulukiyyat wa al-Akhlaq”, Majallah al-Ra’id, Jerman: al-Dar al-Islamiyah li al-I’lam, edisi 236/Mei 2002.
[17] Lih. DR. Ammar Thalibi, “al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Sulukiyyat wa al-Akhlaq”, h. 11, dan Anwar ‘Isyqi, “al-Syayathin Takhtabi’ fi al-Tafashil”, Silsilah Kitab al-Ma’rifah (7)-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar, 1999, h. 177.
[18] Muhammad ibn Sa’id al-Tamimi, al-‘Aulamah wa Qadhiyah al-Hawiyyah al-Tsaqafiyah, 2001, h. 274-275.
[19] DR. Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasimy, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah, h. 7.
[20] Muhammad Quthb, al-Muslimun wa al-‘Aulamah, Kairo: Dar al-Syuruq, cetakan pertama 1421 H, h.49.
[21] Bandingkan dengan Islam dan Nasionalisme Tidak Mesti Bertentangan, wawancara situs Islamlib.com dengan DR. Bachtiar Effendi pada tanggal 29-08-2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id+870.


No comments:

Post a Comment

silakan komentar