IRONI PENDIDIKAN DI BUMI PERTIWI
Tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan
Nasional atau yang biasa disingkat Hardiknas. Tanggal 2 Mei dipilih sebagai
Hardiknas sebab pada tanggal tersebut merupakan tanggal lahirnya salah satu
tokoh pendidikan di Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara, tepatnya pada tanggal
2 Mei 1889 diYogyakarta.
Ki Hadjar Dewantara merupakan pahlawan
nasional yang telah mendedikasikan hidupnya untuk dunia pendidikan di tanah
air. Pada masa kolonialisme Belanda, ia berani menentang kebijakan pemerintah
Hindia Belanda yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang
kaya yang bisa mengeyam bangku pendidikan. Kritikan Ki Hadjar Dewantara kepada
pemerintahan kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Negeri Kincir Angin.
Pada bulan September 1919, ia kembali
dipulangkan ke Indonesia dan kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan
bernama Taman Siswa (Nationaal Onderwijs
Instituut) pada Juli 1922. Taman Siwa memberikan kesempatan bagi para
pribumi untuk bisa memeroleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun
orang-orang Belanda.
Ki Hadjar Dewantara terkenal dengan
semboyan pendidikan dalam bahasa Jawa, “Ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani.” Dalam
bahasa Indonesia, semboyan tersebut diterjemahkan, "Di depan memberi
contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.” Selain
menjadi tokoh pendidikan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri
Pengajaran Indonesia yang pertama. Ia meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal
26 April 1959.
Ki Hadjar Dewantara boleh saja sudah tidak
membersamai kita lagi. Namun, semangat dan pengorbanannya untuk kemajuan
pendidikan di Indonesia tidak boleh padam. Sebab, pendidikan adalah gerbang
yang akan menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang
berwibawa, dan bangsa yang memberikan kebermanfaatan yang luas untuk dunia. Hal
tersebut juga semakin dikuatkan dengan janji kemerdekaan yang diucapkan
langsung oleh Bapak Bangsa, Presiden Sukarno, yang tertuang dalam pembukaan UUD
1945, “… mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Namun, apakah cita-cita yang dikobarkan
sejak 70 tahun yang lalu sudah kita dapatkan? Masalah pendidikan seakan menjadi
pekerjaan rumah yang amat berat bagi bangsa ini. Betapa tidak, sejak
kemerdekaan hingga saat ini masih banyak persoalan-persoalan pendidikan yang
belum mampu untuk ditangani dengan baik.
Mari sejenak kita merenungkan data yang
disampaikan oleh Sosiolog Pendidikan dan Kemasyarakat Universitas Indonesia,
Hanief Saha Ghafur, yang menyebutkan angka buta huruf di Indonesia masih relative
cukup tinggi. Jumlah penduduk buta aksara di Indonesia usia di atas 15 tahun
sebanyak 6,7 juta atau sekitar 4,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia.
Selain itu, berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada
tahun 2010, tercatat 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus
sekolah. Tingginya angka putus sekolah disebabkan salah salah satunya karena
mahalnya biaya pendidikan.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud), Anies Baswedan, seperti yang dilansir pada laman Okezone,
mengatakan pihaknya menginginkan dukungan terhadap para pelajar yang berpotensi
putus sekolah lebih diintensifkan. Lebih lanjut, Anies menilai bahwa
konsekuensi dari putus sekolah berimplikasi dalam aspek kesejahteraan dan
permasalahan sosial lainnya.
Selain masalah buta aksara, masalah lain
dari dunia pendidikan di Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional (Sidkinas)
yang dianggap belum berhasil menemukan formula tepat. Bahkan, media Aljazeera
seperti yang dilansir Okezone menyebutkan sistem pendidikan di Indonesia sama
dengan sistem pendidikan di zaman batu yang masih mengedepankan budaya
menghafal, bukan berpikir kreatif.
Kualitas pendidikan di Indonesia semakin
dipertanyakan. Kondisi demikian membuat Indonesia semakin tertinggal jauh
dibandingkan negara-negara seperti Jepang dan Finlandia. Berbagai persoalan
pendidikan yang mendera Indonesia di antaranya yaitu rendahnya kualitas sarana
fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya
prestasi siswa, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan. Lantas jika begitu,
siapa yang harus disalahkan? Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah semata.
Kendati hal tersebut memang tugas utama pemerintah. Namun sebagai civil society, kita juga dapat berperan
aktif guna memajukan pendidikan di bumi pertiwi.
Sumber tulisan : copy raigh dari majalah PKPU
No comments:
Post a Comment
silakan komentar