pengantar: udah lama ngak posing makalah (mungkin ini yg terakhir)
KURANG MENDAPAT
PERHATIAN DARI ORANG TUA
MAKALAH TUGAS FAINAL
MATA KULIAH BIMBINGAN
KONSELING
Oleh:
MUH.
ABID FAUZAN
20100107075
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah Swt. Karena atas rahmat dan hidayah-nyalah sehingga
penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Salawat dan salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. para sahabat dan keluarganya.
Dalam penyususnan tugas
makalah fainal ini yang berjudul “KURANG
MENDAPAT PERHATIAN DARI ORANG TUA” , penulis senantiasa menerima bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berkewajiban untuk menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya.
Akhirnya kepada pihak dan teman yang tidak sempat penulis
sebutkan, atas bantuan dan semua partisifasi yang dapat membantu dalam berbagai
bentuk sehubungan dari data-data yang berkumpulnya judul penulis ini diucapkan
banyak terima kasih. Semoga makalah ini dapat lebih menambah wawasan
pengetahuan yang bersifat konstruktif. Wasalamu alaikum Wr. Wb.
Penulis
Muh.
Abid Fauzan
20100107075
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan perilaku
biasanya berkembang di masa kecil atau remaja. Sementara beberapa masalah
perilaku mungkin normal pada anak-anak, mereka yang memiliki gangguan perilaku
mengembangkan pola kronis agresi, gangguan pembangkangan, dan permusuhan.
Perilaku mereka menyebabkan masalah di rumah, sekolah atau kantor, dan dapat
mengganggu hubungan. Anak-anak dengan gangguan perilaku dapat mengembangkan
gangguan kepribadian, depresi , atau gangguan bipolar sebagai orang dewasa.
Anak-anak dengan
gangguan perilaku dapat membuat ulah sering dan diperpanjang, melukai diri
sendiri atau orang lain, terlibat dalam kegiatan kriminal, berbohong, merokok,
menggunakan alkohol atau obat-obatan, secara terbuka menantang, atau terlibat
dalam aktivitas seksual dini. Mereka dapat mengabaikan atau gagal sekolah.
Mereka juga memiliki risiko yang lebih tinggi dari rata-rata bunuh diri.
Meskipun penyebab
gangguan perilaku tidak diketahui, faktor risiko telah diidentifikasi, seperti
riwayat keluarga penyakit mental atau penyalahgunaan zat , paparan tembakau atau obat-obatan terlarang selama
perkembangan janin, penyalahgunaan, stres, kurangnya pengawasan, dan disiplin
tidak konsisten tapi keras. Anak-anak dengan gangguan perilaku mungkin memiliki
gangguan mental, emosional atau perilaku lainnya, seperti perhatian-deficit
hyperactivity disorder ( ADHD ).
Gangguan perilaku
berat atau lama bisa sulit untuk mengobati, namun pengenalan dini dan
intervensi dapat cukup membantu. Pengobatan sering berfokus pada pengembangan
keterampilan untuk anak dan orang tua. Keterlibatan seorang ahli kesehatan
sering diperlukan. Program pendidikan, masyarakat dan sosial juga mungkin
tersedia.
Masalah yang selalu
dikeluhkan orang tua tentang anak mereka seakan-akan tidak pernah berakhir.
Taraf pertumbuhan dan perkembangan telah menjadikan perubahan pada diri anak.
Perubahan perilaku tidak akan menjadi masalah bagi orang tua apabila anak tidak
menunjukkan tanda penyimpangan. Akan tetapi, apabila anak telah menunjukkan
tanda yang mengarah ke hal negatif akan membuat cemas bagi sebagian orang tua.
Menurut Prayitno
(2004), “sumber-sumber permasalahan pada diri siswa banyak terletak di luar
sekolah.” Hal ini disebabkan oleh anak lebih lama berada di rumah daripada di
sekolah. Karena anak lebih lama berada di rumah, orang tualah yang selalu
mendidik dan mengasuh anak tersebut.
Dalam mengasuh anak
orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan
saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak (Riyanto, 2002).
Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan
bertumpu pada peserta didik. Artinya anak perlu mendapat perhatian dalam
membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang
kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang
sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam
mencapai keberhasilan belajarnya.
Menurut Clemes (2001)
bahwa terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan
antara anak dengan orang tua. Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua
tidak pernah sama dalam segala hal. Ketergantungan anak kepada orang tua ini
dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan
asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang
menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem
sosial di lingkungan tempat tinggalnya. (Dengan kata lain perilaku anak
merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya).
Penanganan terhadap
perilaku anak yang menyimpang merupakan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan
khusus tentang ilmu jiwa dan pendidikan. Orang tua dapat saja menerapkan
berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga. Apabila
pola-pola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya
perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak.
Sehingga penulis ingin
membahas bagaimana peran orang tua dalam mengasuh anak yang terkadang
terlupakan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pola asuh anak dan hal yang
kurang di perhatian orang tua?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pola Asuh Orang Tua
Anak tumbuh dan
berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi
dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup
yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar
pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Bentuk-bentuk pola
asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia
menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang
individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa
seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak
juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan,
disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya
(Koentjaraningrat, 1997). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh
yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak
sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.
Di dalam mengasuh anak
terkandung pula pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung
jawab dan sebagainya. Di sini peranan orang tua sangat penting, karena secara
langsung ataupun tidak orang tua melalui tindakannya akan membentuk watak anak
dan menentukan sikap anak serta tindakannya di kemudian hari.
Masing-masing orang
tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak.
Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata
pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya.
Dengan kata lain, pola asuh orang tua petani tidak sama dengan pedagang.
Demikian pula pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh
orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras
atau kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola
lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang
apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola
otoriter). Bermacam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat
bergantung pada bentuk-bentuk penyimpangan perilaku anak.
Orang tua dapat
memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah
menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak.
Tentu saja penerapan orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang
bijaksana atau menerapkan pola asuh yang setidak-tidaknya tidak membawa
kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak.
B.
Pengertian Teori Behaviorisme
Adalah teori belajar
yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai
makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.Behaviorisme muncul sebagai kritik
lebih lanjut dari strukturalisme Wundt. Meskipun didasari pandangan dan studi
ilmiah dari Rusia, aliran ini berkembang di AS, merupakan lanjutan dari
fungsionalisme.
Behaviorisme secara
keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagaiobyek studi dari
psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata.Dengan
demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen
seperti yang dipercayai oleh strukturalisme. Berarti juga behaviorisme sudah
melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan
masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Meskipun pandangan
Behaviorisme sekilas tampak radikal dan mengubah pemahaman tentang psikologi
secara drastis, Brennan (1991) memandang munculnya Behaviorisme lebih sebagai
perubahan evolusioner daripada revolusioner. Dasar-dasar pemikiran
Behaviorisme sudah ditemui berabad-abad sebelumnya.
Adapun para
tokoh-tokoh aliran behavioristik adalah:
1. Edward Lee
Thorndike (1874 - 1949) Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau
tindakan. Teori Thorndike ini sering disebut teori koneksionisme. Prinsip
pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi
(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak.
Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit,
maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa
puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan. Dengan
adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di
dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor
dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk belajar yang paling khas baik
pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and error learning atau
selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum
tertentu. Menurut Thorndike terdapat tiga hukum belajar yang utama yaitu :
a. The Law of Effect
(Hukum Akibat) Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya
tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi
sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan
cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu
perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak
akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah”
hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia
mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum.
Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya
b. The Law of
Exercise (Hukum Latihan) Hukum latihan yaitu semakin sering
tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin
kuat. Dalam hal ini, hukum latihan mengandung dua hal:
• The Law of Use :
hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada
latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu.
• The Law of Disue :
hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau
terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan
hubungan tersebut.
c. The Law of
Readiness (Hukum Kesiapan) Hukum kesiapan yaitu semakin siap
suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan
tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar
merupakan suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca
indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau
tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya.
Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan
menghasilkan prestasi memuaskan.
2. John Watson (1878 -
1958) Watson adalah seorang behavioris murni, kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur. Menurut Watson, belajar merupakan proses interaksi
antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon tersebut harus dapat
diamati dan diukur. Jadi perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama
proses belajar, tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Pandangan utama Watson:
a. Psikologi
mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud dgn stimulus
adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh.
Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai
dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar.
Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned
b. Tidak mempercayai
unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah
hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting (lihat pandangannya yang
sangat ekstrim menggambarkan hal ini pada Lundin, 1991 p. 173). Dengan demikian
pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh
faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
c. Dalam
kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind
mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan
melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara
total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari
consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak
dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang
berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak
jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind.
Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun
dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer.
d. Sejalan dengan
fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan metode
empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation, conditioning,
testing, dan verbal reports.
e. Secara bertahap
Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai refleks yang
unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya
ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan
lain-lain.
f. Sebaliknya, konsep
learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh
behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar
yang ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung
conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka
habits adalah proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan
phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya
banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
g. Pandangannya
tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut
Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu
digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauh smana sesuatu dijadikan habits.
Faktor yang menentukan adalah kebutuhan.
h. Proses thinking and
speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir
didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara
yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti
gerak bibir atau gesture lainnya.
i. Sumbangan utama
Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada
hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan meramalkan
perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada
situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga
membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan
bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol.
3. Clark L. Hull (1884
- 1952) Clark Hull juga menggunakan variable hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Menurut Clark Hull, semua fungsi
tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan
hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Prinsip-prinsip utama teorinya :
• Reinforcement adalah
faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun fungsi reinforcement bagi
Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied factor.
• Dalam mempelajari
hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari intervening variable (atau
yang juga dikenal sebagai unsure O (organisma)). Faktor O adalah kondisi
internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada
faktor R yang berupa output. Karena pandangan ini Hull dikritik karena bukan
behaviorisme sejati.
• Proses belajar baru
terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi. Di sini tampak pengaruh teori
Darwin yang mementingkan adaptasi biologis organism.
4. Edwin
Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu
gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan. Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, sehingga
dalam kegiatan belajar peserta didik perlu diberi stimulus dengan sering agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.
5. Burrhus Frederic
Skinner (1904 - 1990) Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang
belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner
hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya,
yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya
perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah karena perlu penjelasan lagi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil
study kajian teori maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa anak nakal
dan cenderung berbuat kriminal akibat tidak mendapatkan perhatian orang tua
disebabkan orang tua kesibukan dan pola asuh keliru sehingga anak menjadi
individu yang mempunyai prilaku yang negative yaitu selalu mencari perhatian di
kelas ketika pemblajaran mulai. Karena klien kurang perhatian khusus dari orag
tua shingga klien menjadi yang selalu over acting.
Orang tua dapat
memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah
menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak.
Tentu saja penerapan orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang
bijaksana atau menerapkan pola asuh yang setidak-tidaknya tidak membawa
kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak
C. Saran
Harapan dari penulis agar
perhatian orang tua harus di berikan kepada anak lebih maksimal lagi sehingga
anak tidak berbuat kebnakalan.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar