Akankah Zakat menjadi Instrumen Kebijakan Fiskal?
Oleh: Zulkarnain Matandra, S.M
(Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ekonomi
Syariah UIN Alauddin
Makassar)
Salah satu persoalan terpendam dalam konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme antara zakat dan pajak
yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah mengundang perbedaan, bahkan sampai perdebabatan
yang berlarut-larut hampir sepanjang masa peradaban Islam. Sebagian besar ulama fiqh memandang bahwa zakat dan pajak
adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut mereka,
zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan
pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Olehnya itu, butuh kajian kritis secara
mendalam untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu, sehingga kewajiban seorang
Muslim terhadap agama dan negaranya dapat terealisasi bersama-sama. Tulisan ini
mencoba mendiskusikan kedudukan zakat jika diadopsi sebagai salah satu
instrumen dalam kebijakan fiskal.
Sekilas tentang kebijakan fiskal
Fiskal digunakan untuk
menjelaskan bentuk pendapatan negara yang dikumpulkan berasal dari masyarakat
dan oleh pemerintahan dianggap sebagai pendapatan lalu digunakan sebagai
pengeluaran dengan program-program untuk menghasilkan pencapaian terhadap pendapatan
nasional, produksi dan perekonomian serta digunakan sebagai perangkat
keseimbangan dalam perekonomian.
Sedangkan kebijakan fiskal atau sering disebut sebagai
“politik fiskal” (fiscal policy) bisa
diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran
belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
diungkapkan oleh soediyono dalam bukunya yang berjudul “Ekonomi Makro,
Pengantar Analisis Pendapatan Nasional”. Kebijakan fiskal menjadi salah satu faktor
yang membentuk arah ekonomi negara dengan 3 tujuan utama, yaitu untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, mencapai tingkat pekerjaan yang
tinggi, dan menstabilkan ekonomi dengan mengurangi dampak fluktuasi dalam
perekonomian.
Diantara komponen atau instrumen kebijakan fiskal yang
memiliki pengaruh signifikan adalah pajak. Pajak yang merupakan pembayaran
iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas
jasa yang secara langsung dapat ditunjuk. Misalnya pajak pendapatan, pajak
kekayaan, pajak kendaraan bermotor, pajak penjualan, dan lain sebagainya.
Mengenal Zakat
Sama halnya dengan pajak, zakat juga merupakan pendapatan
dari hasil penghimpunan yang berasal dari orang mampu (muzakki) berdasarkan
syariat dan akan kembali disalurkan kepada golongan yang membutuhkan
(mustahik). Kalau pajak orientasinya bersifat kompleks, selain manusia juga
diperuntukkan untuk infrastruktur. Berbeda dengan zakat yang orientasinya
dibatasi terhadap 8 golongan. Golongan tersebut disebutkan dalam surah
At-Taubat ayat 60, yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya (budak),
orang yang berutang, orang yang berjuang di jalan Allah, dan musafir.
Seorang Muslim mempunyai pilihan dalam mencapai
kepuasannya (utility fuction). Jika ia sudah mendapatkan kepuasaan dengan
berderma kepada peminta-minta, berbagi dengan korban bencana alam, memberi
santunan anak yatim, atau bentuk charity lainnya, maka kurva kepuasannya
menunjukkan pencapaian titik maksimum dengan selalu berbagi atau berinfak secara
pribadi atau melalui komunitas.
Namun, zakat tidak sebatas infaq, sedekah, dan wakaf.
Zakat adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh seluruh manusia yang beragama
Islam dengan syarat terpenuhinya nisab dan haul. Sebagaimana dalam rukun Islam
bahwa zakat berada pada posisi ke-3 setelah mendirikan Shalat, hal ini
menandakan bahwa ada penekanan bagi kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat.
Sampai khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq memerangi meraka yang tidak membayar zakat
di zaman kepemimpinannya. Nisab atau jumlah batasan kepemilikan harta seorang
muslim secara bersih berjumlah/setara 85 gram emas dan memiliki haul (jangka
waktu) 1 tahun. Nisab zakat pertanian sama dengan 5 wasaq (653 kg beras), nisab
zakat emas 20 dinar (85 gr), nisab zakat perak 200 dirham (595 gr), nisab zakat
perdagangan 20 dinar (85 gr emas), dan sebagainya. Jika hartanya sudah mencapai
nisab dan haul maka wajib mengeluarkan zakat.
Zakat dan Korelasi Pengelolaannya oleh Negara
Jumlah penuduk Indonesia berkisar 257.912.349 jiwa dengan
penduduk yang didominasi oleh umat muslim dengan jumlah 85% dari jumlah
keseluruhan (data BPS). Dari data tersebut, dapat ditarik hipotesis bahwa
jumlah kemiskinan pun didominasi oleh umat muslim. Pada tahun 2018, tingkat
kemiskinan di Indonesia tercatat sebanyak 26,58 juta (pendapatan dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan).
Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan
dalam pengelolaan zakat. Pertama, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau
bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib
(imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan
zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Taubat (9) ayat
103. Satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan
seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat pemerintahan,
seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini disepakati, maka zakat akan
menjadi salah satu sumber penerimaan negara.
Kedua, Potensi dana zakat yang mestinya
terkumpulkan ternyata tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan, menurut
penelitian IPB dan BAZNAS bahwa potensi zakat mampu mencapai Rp 217 Triliun (Indonesia Zakat dan Development Report 2012),
(IMZ 2013). Sedangkan yang terhimpun sampai saat ini baru sekitar Rp 6,2
Triliun atau 2% dari potensi yang ada. Dan lagi-lagi, potensi ini akan tercapai jika pemerintah ikut berperan di
dalamnya.
Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu
pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar
sebenarnya sangat berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika
disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional.
Kempat,
memberikan kontrol kepada pengelola negara. Salah satu penyakit yang masih
menggerogoti keuangan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya adalah korupsi
atau penyalahgunaan keuangan negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara
ini mengaku beragama Islam. Penyalahgunaan ini antara lain disebabkan oleh
lemahnya iman menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam
perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang
yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga.
Banyak lagi alasan mengapa
zakat perlu berintegrasi ke dalam sistem fiskal negara. Meskipun demikian, ada
beberapa pertanyaan atau bahkan keberatan terhadap asumsi ini. Hal ini antara
lain dikarenakan sudah terlalu lamanya zakat terpisah dari sistem negara dan
menjadi urusan masing-masing pribadi Muslim. Suatau keniscayaan zakat sebagai
instrumen kebijakan fiskal akan terwujud jika pemerintah betul-betul menyadari
hakikat dan orientasi kewajiban zakat ini.
Mungkin negara ini perlu bercermin dengan sejarah bahwa Islam datang memberikan solusi dalam
mengentaskan kemiskinan dengan zakat. Zakat diera Rasulullah merupakan salah
satu instrument kebijakan fiskal dengan tujuan umat Islam mendapatkan
kehidupan yang sejahterah. Olehnya itu, jika zakat dihubungkan dengan tingkat
kemiskinan di Indonesia, maka dana
zakat sangat mampu mengobati kondisi ekonomi umat Islam dengan catatan, dana
zakat haruslah terhimpun secara merata.
Suatu negeri akan dikatakan sejahterah bila masyarakat yang mendiaminya merasakan kesejahteraan dan kedamaian, sebagaimana diera kepemimpinan Umar bin Abdul Azis dengan menerapkan zakat sebagai instrument kebijakan fiskal. Indonesia sangat berpotensi mengimplikasikan zakat sebagai pendapatan yang akan disalurkan kepada mereka yang terpuruk dengan kemiskinan, apatah lagi Indonesia didiami oleh kebanyakan umat Islam.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar