Pages

Friday 1 June 2018

RESENSI BUKU " The Naked Traveler Antology " : INSPIRASI DI BALIK KISAH ASAM GARAM PARA TRAVELER


INSPIRASI DI BALIK KISAH ASAM GARAM PARA TRAVELER
Peresensi: Khairul Amin
Judul                      : The Naked Traveler Antology
Penulis                   : Trinity, dkk.
Penerbit                  : B first
Tahun Cetakan       : Cetakan 3, September 2014
Jumlah halaman     : x + 226 halaman
ISBN                     : 978-602-1246-05-4

Menjadi traveler sejatinya tidak hanya mendapatkan kenikmatan secara visual dengan keindahan alam destinasi tempat tujuan, namun lebih dari itu, pelajaran hidup banyak didapat saat mengunjungi tempat-tempat baru dimana memiliki kultur, budaya, dan adat-istiadat yang berbeda dengan daerah atau Negara asal.
Tak jarang perbedaan bahasa menjadi kendala dalam proses komunikasi, namun Kendala ini menjadi keasikan dan sensasi tersendiri bagi para traveler.
Walau secara umum ending traveling bagi para traveler berakhir menyenangkan, tapi dalam proses perjalanannya selalu penuh dimensi keunikan tersendiri, khususnya kejadian incidental di luar rencana yang telah diagendakan. Tak jarang tragedi ini banyak menguras tenaga dan pikirannya. Kesan inilah yang ingin disampaikan dalam buku The Naked Traveler Antology oleh para penulisnya. Seperti kisah Susan “Jadi Guru di Thailand”. Dengan maksud ingin mengeksplorasi suatu negara secara mendalam dan mengambil spesifikasi mengajar Bahasa Inggris, akhirnya dia mendapatkan kesempatan magang di satu sekolah swasta di daerah Sriracha, dimana merupakan kawasan industry antara Bangkok dan Pattaya, Thailand.
Hari pertama mengajar, Susan diminta mengajar di kelas TK, kesulitan terjadi, karena yang diajar belum bisa berbahasa Inggris, dan diapun belum bisa Bahasa Thailand. Alhasil, proses belajar mengajar harus menggunakan bahasa tubuh. Parahnya lagi, guru lokal yang ditugaskan untuk memabantu juga kurang lancer berbahasa Inggris. Budaya unik sekolah tersebut adalah murid tiap pagi menyambut guru di depan gerbang sekolah, baru setelahnya dilakukan upacara di lapangan, ini rutin digelar setiap hari, kegiatan ini dilakukan sebagai penghormatan untuk raja.
Dalam upacara ada sesi sharing dari beberapa murid, hal ini dilakukan untuk melatih kemampuan murid berbahasa Inggri dan keberanian berbicara di depan umum. Di dalam kelas, murid dilarang memakai sepatu hanya diperkenankan memakai kaos kaki, sepatu diletakkan di depan kelas. Pada saat jam istirahat, setiap guru dan murid mendapat satu jatah makan dan minum yang sama. Selepas istirahat, sebelum memulai pelajaran selanjutnya berkumpul di lapangan untuk sesi sharing dari guru untuk tindakan indisipliner murid sekaligus memberikan hukuman bagi para murid tersebut, suatu budaya yang unik (hal. 118).
Kisah lain dating dari Hairun Fahrudin “Serunya Pasar Loak di Dubai”. Awalnya Hairun tidak tertarik dengan yang namanya loak, namun setelah dia tinggal di Dubai, kesan dia tentang loak berubah, bahkan sangat menggandrunginya. Dubai sebagai kota terbesar di Uni Emirat Arab identik dengan kemewahan, banyak mal raksasa berdiri, bahkan ada mal yang luasnya 50 kali luas lapangan sepak bola. Namun, uniknya disini pasar loak menjadi primadona dan digandrungi oleh banyak masyarakat.
Pasar loak di sini jauh dari kesan dekil dan jorok, pasar loak berada di Dubai Flea Market (DFM), digelar tiap tiga minggu sekali setiap hari sabtu. Saking hobinya dengan pasar loak, pasar loak juga digelar di Mirdiff Flea Market (MFM), khusus barang-barang Seni dan Jumeirah Flea Market (JFM), menjual baju-baju bekas keluaran desainer kelas dunia. MFM dan JFM merupakan kawasan hunian ekslusif. Bila musim panas pasar loak di gelar di ballroom Hotel Ritz Carlton kawasan prestisius Shikh Zayed Road, hotel bintang lima, sungguh jauh dari kesan negative. DFM menjual hamper semua pernak-pernik sangat lengkap, barang yang dijualpun tak jarang barang asli dan bukan merek sembarangan, selain itu terkadang masih berlebel (hal. 108).
Kisah juga dating dari Maria Wardhari “Air Oh Air!” liburannya ke Los Angeles menjadikan dia mempersiapkan segalanya, termasuk masalah makanan, dia sengaja membawa makanan seperti abon dan mie instan, karena khawatir seleranya tidak cocok dengan makanan Amerika Serikat. Saat berada di kamar hotel dia kebingungan mencari air hangat, lantas ia complain ke bagian resepsionis, namun juga belum mendapat hasil,  dia baru menyadari bahwa di Amerika keran kamar mandi sama dengan air minum.
Ketidakbiasaan ia minum dari keran kamar mandi membawa dia mencari air ke pusat perbelanjaan, diapun membelinya, sesampai di hotel saat setelah memasak mie instan dan menyantapnya, ternyata ada rasa yang aneh, belakangan diketahui bahwa air yang dia beli adalah air soda. Sungguh negara dengan ketersediaan air mineral yang langka. Kondisi ini menjadikan diasangat tersiksa selama berada di sana, karena dia sangat tidak bisa minum dari air keran kamar mandi.
Masalah dengan air juga dia alami saat berwisata ke Gili Trawangan, NTB. Saat berkeliling mencari penginapan ada satu hal yang ditekankan petugas hotel, yaitu air tawar, dan itu menjadi nilai tawar setiap hotel di sana, karena tidak semua hotel mempunyai fasilitas air tawar, hanya ada pada hotel kelas ekslusif, belakangan dia baru tahu kalau air di Gili Trawangan asin, air tawar harus diimpor dari Lombok (hal. 170).
Buku ini memuat lima belas kisah para traveler yang penuh dengan intrik pengalaman menarik yang menggelitik. Kisah-kisah di dalamnya tidak hanya mampu menghipnotis pembaca seraya berkeliling dunia, tips-tips menarik dari par traveler menjadi bekal berarti bagi pembaca yang mempunyai rencana mengunjungi destinasi yang ada, tak salah jika buku ini sudah mengalami cetak ulang sebanyak tiga kali. Selamat membaca!
* Peresensi saat ini aktif sebagai penggiat Booklicious, mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian-Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang

No comments:

Post a Comment

silakan komentar