INSPIRASI DI BALIK KISAH
ASAM GARAM PARA TRAVELER
Peresensi: Khairul Amin
Judul : The Naked Traveler
Antology
Penulis : Trinity, dkk.
Penerbit : B first
Tahun Cetakan : Cetakan 3, September 2014
Jumlah halaman : x + 226 halaman
ISBN : 978-602-1246-05-4
Menjadi traveler sejatinya tidak hanya
mendapatkan kenikmatan secara visual dengan keindahan alam destinasi tempat
tujuan, namun lebih dari itu, pelajaran hidup banyak didapat saat mengunjungi
tempat-tempat baru dimana memiliki kultur, budaya, dan adat-istiadat yang
berbeda dengan daerah atau Negara asal.
Tak jarang perbedaan bahasa menjadi
kendala dalam proses komunikasi, namun Kendala ini menjadi keasikan dan sensasi
tersendiri bagi para traveler.
Walau secara
umum ending traveling bagi para traveler berakhir menyenangkan, tapi
dalam proses perjalanannya selalu penuh dimensi keunikan tersendiri, khususnya
kejadian incidental di luar rencana yang telah diagendakan. Tak jarang tragedi
ini banyak menguras tenaga dan pikirannya. Kesan inilah yang ingin disampaikan
dalam buku The Naked Traveler Antology oleh
para penulisnya. Seperti kisah Susan “Jadi Guru di Thailand”. Dengan maksud
ingin mengeksplorasi suatu negara secara mendalam dan mengambil spesifikasi
mengajar Bahasa Inggris, akhirnya dia mendapatkan kesempatan magang di satu
sekolah swasta di daerah Sriracha, dimana merupakan kawasan industry antara
Bangkok dan Pattaya, Thailand.
Hari pertama
mengajar, Susan diminta mengajar di kelas TK, kesulitan terjadi, karena yang
diajar belum bisa berbahasa Inggris, dan diapun belum bisa Bahasa Thailand.
Alhasil, proses belajar mengajar harus menggunakan bahasa tubuh. Parahnya lagi,
guru lokal yang ditugaskan untuk memabantu juga kurang lancer berbahasa
Inggris. Budaya unik sekolah tersebut adalah murid tiap pagi menyambut guru di
depan gerbang sekolah, baru setelahnya dilakukan upacara di lapangan, ini rutin
digelar setiap hari, kegiatan ini dilakukan sebagai penghormatan untuk raja.
Dalam upacara
ada sesi sharing dari beberapa murid,
hal ini dilakukan untuk melatih kemampuan murid berbahasa Inggri dan keberanian
berbicara di depan umum. Di dalam kelas, murid dilarang memakai sepatu hanya diperkenankan
memakai kaos kaki, sepatu diletakkan di depan kelas. Pada saat jam istirahat,
setiap guru dan murid mendapat satu jatah makan dan minum yang sama. Selepas
istirahat, sebelum memulai pelajaran selanjutnya berkumpul di lapangan untuk
sesi sharing dari guru untuk tindakan
indisipliner murid sekaligus memberikan hukuman bagi para murid tersebut, suatu
budaya yang unik (hal. 118).
Kisah lain
dating dari Hairun Fahrudin “Serunya Pasar Loak di Dubai”. Awalnya Hairun tidak
tertarik dengan yang namanya loak, namun setelah dia tinggal di Dubai, kesan
dia tentang loak berubah, bahkan sangat menggandrunginya. Dubai sebagai kota
terbesar di Uni Emirat Arab identik dengan kemewahan, banyak mal raksasa
berdiri, bahkan ada mal yang luasnya 50 kali luas lapangan sepak bola. Namun,
uniknya disini pasar loak menjadi primadona dan digandrungi oleh banyak
masyarakat.
Pasar loak di
sini jauh dari kesan dekil dan jorok, pasar loak berada di Dubai Flea Market
(DFM), digelar tiap tiga minggu sekali setiap hari sabtu. Saking hobinya dengan
pasar loak, pasar loak juga digelar di Mirdiff Flea Market (MFM), khusus
barang-barang Seni dan Jumeirah Flea Market (JFM), menjual baju-baju bekas
keluaran desainer kelas dunia. MFM dan JFM merupakan kawasan hunian ekslusif.
Bila musim panas pasar loak di gelar di ballroom
Hotel Ritz Carlton kawasan prestisius Shikh Zayed Road, hotel bintang lima,
sungguh jauh dari kesan negative. DFM menjual hamper semua pernak-pernik sangat
lengkap, barang yang dijualpun tak jarang barang asli dan bukan merek
sembarangan, selain itu terkadang masih berlebel (hal. 108).
Kisah juga
dating dari Maria Wardhari “Air Oh Air!” liburannya ke Los Angeles menjadikan
dia mempersiapkan segalanya, termasuk masalah makanan, dia sengaja membawa
makanan seperti abon dan mie instan, karena khawatir seleranya tidak cocok
dengan makanan Amerika Serikat. Saat berada di kamar hotel dia kebingungan
mencari air hangat, lantas ia complain ke bagian resepsionis, namun juga belum
mendapat hasil, dia baru menyadari bahwa
di Amerika keran kamar mandi sama dengan air minum.
Ketidakbiasaan
ia minum dari keran kamar mandi membawa dia mencari air ke pusat perbelanjaan, diapun
membelinya, sesampai di hotel saat setelah memasak mie instan dan menyantapnya,
ternyata ada rasa yang aneh, belakangan diketahui bahwa air yang dia beli
adalah air soda. Sungguh negara dengan ketersediaan air mineral yang langka.
Kondisi ini menjadikan diasangat tersiksa selama berada di sana, karena dia
sangat tidak bisa minum dari air keran kamar mandi.
Masalah dengan
air juga dia alami saat berwisata ke Gili Trawangan, NTB. Saat berkeliling
mencari penginapan ada satu hal yang ditekankan petugas hotel, yaitu air tawar,
dan itu menjadi nilai tawar setiap hotel di sana, karena tidak semua hotel
mempunyai fasilitas air tawar, hanya ada pada hotel kelas ekslusif, belakangan
dia baru tahu kalau air di Gili Trawangan asin, air tawar harus diimpor dari
Lombok (hal. 170).
Buku ini memuat
lima belas kisah para traveler yang
penuh dengan intrik pengalaman menarik yang menggelitik. Kisah-kisah di
dalamnya tidak hanya mampu menghipnotis pembaca seraya berkeliling dunia,
tips-tips menarik dari par traveler
menjadi bekal berarti bagi pembaca yang mempunyai rencana mengunjungi destinasi
yang ada, tak salah jika buku ini sudah mengalami cetak ulang sebanyak tiga
kali. Selamat membaca!
* Peresensi saat ini aktif sebagai penggiat
Booklicious, mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian-Peternakan,
Universitas Muhammadiyah Malang
No comments:
Post a Comment
silakan komentar