Pages

Wednesday, 19 August 2015

#MASIH JAMAN, DEMO!? (Artikel terakhir dari 2 tulisan)


Pengantar :
alhamdulillah, hari ini bisa posting setelah sekian lama. tapi tetap semangat dakwah di dunia maya. oh iya terimakasih para pembaca blog telah berkunjung. wasalam


Ini foto daeng naba, 71 tahun, yang berlindung di balik eskavator, ketika ribuan mahasiswa UMI makassar berhadapan dengan polisi beserta tamengnya dalam satu aksi demo, betapa takutnya rakyat jika kalian berdemo lalu berakhir anarkis


“Ketika itu mahasiswa dengan berbagai elemen melakukan demo menuntut pemerintah yang tak becus memperbaiki nasib rakyat. Dalam aksinya awalnya berjalan dengan tertib hanya berorasi namun setelah beberapa lama masa makin banyak ada yang mulai brutal membakar ban, berteriak, dan menutup jalan. Aparat pun membubarkan demo tersebut. Namun mahasiswa tidak terima lalu melakukan perlawanan.

Karena demo di dekat kampus kampus pun menjadi sasaran kemarahan mahasiswa. Mahasiswa pun membakar sekelilingnya. Gedung kampus jadi sasaran. Ada sepeda motor dan mobil entah itu milik mahasiswa atau dosen juga ikut terbakar.

Kejadian memilukan iut terus saja berlanjut. Pihak birokrasi kampus tak dapat menerima demo mahasiswa yang anarkis yng merusak fasilitas kampus. Birokrasi kampus mengeluarkan surat edaran pelarangan mengikuti acara dan pengkaderan lembaga kemahasiswaan dan anacaman skorsing bila terbukti. 

Mahasiswa pun tidak terima larangan tersebut mereka kembali berdemo. Namun kali ini mereka mendemo pimpinan kampus. Bukannya mendengar aspirasi mahasiswa, pihak kampus justru petugas keamanan kampus yang menjawab. Petugas keamanan kampus yang cukup banyak membubarkan demo dengan melakukan penganiyaan dan ancaman akan droup out (DO) dari pihak kampus.

Mendengar kisah pilu para mahasiswa tersebut sedih mendengarkannya. Mahasiwa yang jadi serba salah. Mau menyampaikan aspirasi rakyat namun karena terlalu berlebihan seperti anarkis sehingga stigma negatif dari rakyat dan birokrasi kampus. Apa kisah ini akan terus berlanjut?”

Mahasiswa dan demo seperti tak dapat di pisahkan. Demo menjadi jalan bagi sebahagian besar mashasiswa untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Gerakan mahaiswa yang berdemo mengingatkan kita pada masa silam tentang orde baru yang kelam. Di mana mahasiswa mendapat tekanan dalam menyuarakan aspirasi serta pelarangan akan dialog dan diskusi di masyarakat khusunya kampus. Namun dalam perjuangannya mahasiswa berhasil menumbangan orde baru. 

Kini masa reformasi telah berjalan berpuluh tahun. Kini tekanan dan pelarangan dari pemerintah dan birokrasi kampus tidak sehebat yang lalu. Namun realitasnya, kilasan sejarah itu tentang gerakan mahasiswa yang di balas intimidasi hingga sikap represif dari aparat negara seakan tetap hidup. Masihkah layak untuk terulang lagi sikap pembungkaman dan pelumpuhan terhadap lembaga dan gerakan mahasiswa?

Mencermati fenomena serba larang dan sikap barbar yang terjadi di kampus, penulis menilai terdapat bahaya laten yang kelak akan menciptakan lingkaran kekerasan. Konsekuensinya, tidak ada jalan keluar bagi persoalan selain aksi dan reaksi kekerasan yang silih berganti menyikapi aspirasi. Kualitas nalar dan argumentasi tidak dibutuhkan lagi pada kondisi ini. Padahal, esensi lembaga pendidikan adalah karakter idealitas dan pertimbangan rasionalitas yang dimilikinya. 

Maka karena hal itu, penulis bukan saling menyalahkan satu sama lain. Namun mencoba mencari solusi dari permasalahan ini. Marilah kita saling mengevaluasi oleh masing-masing pihak baik mahasiswa, birokrasi kampus dan pemerintah. 

Sebenranya pihak kampus tidak perlu melakukan sikap memaksakan dengan brutal pihak keamanan kampus dan ancaman kebijakan skorsing serta DO. Bila birokrasi kampus tidak dapat melihat alternatif solusi lain, maka akan menambah subur kekerasan di lembaga pendidikan.

Bila kita membiarkan tumbuh suburnya sifat anarkis dan kesemena-menaan ini baik di tubuh mahasiswa maupun para pemimpin kampus maka akan berdmpak buruk. Apa lagi kita di lembaga pendidikan pencetak pemimpin masa depan. Maka akan merusak citra kampus itu sendiri yang berakibat buruk bagi birokrasi kampus di mata rakyat.

Mahasiswa sendiri akan terganggu proses pembentukan karakter pemimpin dalam tubuh mahasiswa yang mendemo anarkis. Apa yang dapat di harapkan dari calon pemimpin yang hanya mengedepankan hawa nafsu berupa anarkis?

 Selain itu juga tindakan menghambat gerakan lembaga kemahasiswaan justru berdampak buruk bagi pengembangan potensi kepemimpinan dan pembentukan karakter mahasiswa sebagai pelopor perubahan bangsa. Sebab, kemerdekaan untuk berorganisasi dan mengembangkan potensi intelektualnya terpojok dalam ancaman. Aturan yang menghambat itu bisa jadi upaya pihak kampus untuk melakukan pemutusan mata rantai perkaderan dan pembungkaman kesadaran kritis yang dinilai sangat subversif terhadap status quo. 

Maka solusi yang di tawarkan penulis adalah bukalah ruang dialog antara kedua belah pihak. Salurkanlah aspirasi mahasiswa dengan ide yang rasional dan dapat di pertanggung jawabkan. Birokrasi kampus termasuk pemerintah juga membuka telinga lebar-lebar aspirasi mahaiswa melalui sebuah dialog bersama. 

Putuskanlah solusi bersama dalam dialog tersebut agar masing-masing dapat mempertanggung jawabkan kedepan. Serta jangan putus komunikasi sehingga pebaikan kampus dan bangsa dapat terwujud. In sha Allah..!!

tulisan ini telah terbit dari buku "menjadi mahasiswa peradaban"
ayo pesan..!!

No comments:

Post a Comment

silakan komentar