Tugas METODOLOGI PENGAJARAN
METODE PENGAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
Disusun oleh:
MUH. ABID FAUZAN
MUTHMAINNAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAM ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan
kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan nikmat dari-Nya sehingga makalah
kami yang berjudul “Metode Pengajaran Sejarah Kebudayaan Islam” dapat diselesaikan,
shalawat serta taslim tak lupa kami kirimkan atas junjungan kita Nabi Muhammad
shallallahu ‘alahi wa sallam yang telah membawa ummat ini dari alam gelap
gulita menuju alam terang benderang.
Dalam
rangka penyelesaian Makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak
yang ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan arahan dan
bimbingan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Walaupun dengan usaha maksimal
telah kami lakukan, tapi sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari
kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami dari penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini, dan kiranya
makalah ini dapat memberikan masukan dan informasi kepada semua pihak yang
berkaitan dengan hal ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan
hati, penulis mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala
bantuan pengorbanan yang telah diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari
Allah Subhanahu Wataala. Amin….
Wassalam
Artinya:
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.”
(Q.S.
Al-Qashshash [28] :88)
Makassar, Desember
2009
Penulis
BAB
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
secara umum
Memprihatinan
akibat konflik itulah yang menjadi dasar penciptaan Lasenas. Mengapa melalui
sejarah? Bukankah sejarah yang kita warisi lebih banyak tentang konflik dan
kekerasan. Celakanya lagi, materi sejarah yang diberikan di sekolah banyak
tentang perang antarkerajaan dan konflik di kalangan masyarakat Indonesia
sendiri. Maka boleh jadi ingatan kolektif bangsa ini didominasi oleh konflik
dan perseteruan saja.
Sebenarnya
banyak bukti yang menunjukkan sebaliknya. Banyak bukti peristiwa sejarah
sebagai faktor integrasi bangsa. Oleh karena itulah, dengan Lasenas, fakta
sejarah seperti itu dapat dirajut sebagai simpul- simpul perekat keindonesiaan.
Dalam perspektif historis, integrasi bangsa—menurut Taufik Abdullah—adalah
salah satu konsep yang ditemukan dalam sejarah Indonesia . Kehidupan dalam masa
kolonial Belanda bagi penduduk di kepulauan Indonesia —meskipun dengan
intensitas tidak merata—adalah nasib yang dirasakan secara bersama (common
destiny).
Selain dari
aspek politik, pendekatan budaya dalam mempelajari sejarah perlu dilakukan.
Proses keindonesiaan adalah juga karena faktor sosio-budaya. Pelayaran dan
perdagangan menjadi sarana perkembangan ekonomi dan persebaran sukubangsa dari
masyarakat yang beragam. Perkembangan itu sudah berlangsung jauh sebelum orang
Eropa menginjakkan kakinya di kepulauan ini. Gejala itu juga merupakan
simpul-simpul perekat keindonesiaan.
Dengan tindakan
pemerintah kolonial Belanda membuang atau mengasingkan para pejuang yang
melawan, melalui pemikiran atau angkat senjata, praktik kolonialisme justru
semakin mempererat simpul-simpul keindonesiaan. Di tempat-tempat pengasingan
yang tersebar di Tanah Air, para pejuang bangsa berinteraksi dengan sesama
mereka dan asyarakat sekitar. Maka, makin tersebar dan kuatlah semangat
persatuan untuk membebaskan diri dari colonial Belanda.
B. Pengajaran dan Peran Masjid dalam Peradaban
Islam
"Di era kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai
tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat kegiatan intelektualitas,"
ungkap J Pedersen dalam bukunya berjudul Arabic Book. Sejak awal
perkembangannya, masjid terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam
perkembangan pendidikan di dunia Islam. Sejarawan asal Palestina, AL Tibawi,
menyatakan bahwa sepanjang sejarahnya, masjid dan pendidikan Islam adalah dua
hal yang tak dapat dipisahkan. Di dunia Islam, sekolah dan masjid menjadi satu
kesatuan. "Sejak pertama kali berdiri, masjid telah menjadi pusat kegiatan
keislaman, tempat menunaikan shalat, berdakwah, mendiskusikan politik, dan
sekolah," cetus Jacques Wardenburg.
Di manapun ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid
menjulang. Peran masjid kemudian berkembang sebagai tempat menimba ilmu.
Sekolah-masjid di era kejayaan Islam mampu menampung murid dalam jumlah ratusan
hingga ribuan siswa. Sebagai pusat intelektualitas, masjid-masjid di era
kekhalifahan telah dilengkapi dengan perpustakaan. Koleksi bukunya begitu
melimpah, karena banyak ilmuwan dan ulama yang mewakafkan bukunya di
perpustakaan masjid.
Sejarah peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa
sekolah pertama kali hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah. Pada era
kekuasaan Dinasti Umayyah, sekolah di Masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M. Sejak tahun 900
M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk mendidik
anak-anak Muslim yang tersebar di dunia Islam.
Pada zaman keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk
menimba ilmu sejak menginjak usia lima tahun. Pada tahap awal, mereka diajarkan
cara untuk menulis 99 nama Allah yang indah atau asmaul husna. Selain itu,
anak-anak Muslim di masa kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan
ayat-ayat Alquran yang sederhana.
Setelah mahir membaca dan lincah menulis, anak-anak yang
belajar di masjid dijarkan Alquran ditambah pelajaran berhitung atau
aritmatika. Para siswa juga bisa mempelajari
ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid
besar, biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lebih luas lagi. Di
masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman kekhalifahan pun bisa
mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi,
sejarah, hukum, dan teologi.
Pada
perkembangannya, para pelajar juga tak hanya menimba ilmu di masjid saja. Untuk
mempraktikan kemampuannya dalam bidang kedokteran, para siswa juga belajar di
rumah sakit. Yang tertarik astronomi juga belajar langsung di observatorium.
Tempat belajar juga bisa dilakukan di madrasah - umumnya tempatnya berdampingan
dengan masjid. Selain itu bisa juga di rumah-rumah para guru.
Di wilayah Spanyol Muslim, aktivitas pendidikan pada umumnya
bertempat di masjid. Masjid
menjadi pusat aktivitas belajar-mengajar di mulai di daerah kekuasaan Dinasti
Umayyah itu sejak berdirnya Masjid Cordoba
pada abad ke-8 M. Kegiatan belajar-mengajar di masjid memang terbilang unik dan
sangat khas.
Format dasar pendidikan di masjid adalah belajar dengan
melingkar. Format seperti ini dikenal sebagai Halaqat al-ilm atau halaqah.
Dalam ensiklopedia Islam, Halaqah berari "kumpulan orang-orang yang duduk
melingkar" atau "kumpulan para pelajar di sekitar seorang guru".
Kerap kali, masjid-masjid yang menyelenggarakan halaqah kedatangan ilmuwan
tamu.
Secara khusus, ilmuwan atau ulama tamu itu akan dipersilakan
duduk di samping guru sebagai bentuk penghormatan. Terkadang, ulama atau
ilmuwan tamu itu juga diberikan waktu untuk mengajar. Penjelajah Muslim
terkemuka dari Maroko, Ibnu Batutta, dalah catatan perjalannya mengambarkan
lebih dari 500 pelajar menghadiri halaqah di Masjid Agung Umayyah, Damaskus.
Geografer dan penjelajah Muslim lainnya, Al-Muqaddasi, juga
menceritakan di Masjid Amr dekat
Kairo, Mesir terdapat lebih dari 50 halaqah pada satu tempat. Sedangkan di
masjid utama Kairo, tak kurang terdapat 120 halaqah. Menurut Ruth Stellhorn
Mackensen dalam bukunya Background of The History of Moslem Libarries, mengajar
dan belajar di masjid-masjid besar di era kekhalifahan menjadi profesi yang
benar-benar membanggakan.
Aktivitas keilmuan di masjid bahkan bisa melahirkan sebuah
pendidikan tinggi atau universitas. Sejarah mencatat, hingga kini terdapat
universitas terkemuka di dunia Islam yang lahir dan berasal dari aktivitas
intelektual di masjid antara lain; Universitas Al-Qayrawwan dan Al-Zaituna di
Tunisia, Al-Azhar di Mesir, Al-Qarawiyyin di kota Fez Maroko, dan Sankore di
Timbuktu.
Masjid-masjid besar yang menyelenggarakan aktivitas pendidikan mampu
menarik perhatian para ilmuwan dan pelajar dari berbagai belahan di dunia
Islam. Pada abad ke-12 M, misalnya, aktivitas keilmuwan yang digelar di Masjid Sankore Timbuktu, Mali Afrika Barat mampu mendatangkan 25 ribu
siswa dari berbagai negara. Pendidikan yang diselenggarakan di masjid pada masa
kejayaan Islam mampu melahirkan sederet tokoh Muslim terkemuka.
Pendidikan Masjid
Cordoba Spanyol mampu melahirkan seorang ilmuwa besar bernama Ibnu Rushdi dan
Ibnu Bajja. Sebuah masjid di Basrah, Irak juga mampu melahirkan seorang ahli
tata bahasa Arab terkemuka sepanjang masa bernama Sibawaih. Ia merupakan murid
Al-Khalil Ibnu Ahmad yang mengajarnya di masjid.
Sekolah yang digelar di Masjid Al-Qarawiyyin Fez, Maroko pun mampu melahirkan ulama dan
ilmuwan hebat seperti; Ibnu Khaldun, Ibnu Al-Khatib, Al-Bitruji, Ibnu Harazim,
Ibnu Maimoun, serta Ibnu Wazzan (Leo Africanus). Bahkan di Masjid Al-Qarawiyyin pula Paus Sylvester II menimba ilmu matematika
dan lalu menyebarkannya di gereja-gereja Eropa. Pamor Masjid Al-Azhar, Mesir pun mampu menarik perhatian ilmuwan seperti
Ibnu Al-Haitham, Ibnu Khaldun, dan Al-Baghdadi.
Pendidikan yang digelar di masjid pada zaman kejayaan Islam
ternyata mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan di Eropa. Menurut George
Makdisi, guru besar Studi Islam di Universitas Pennsylvania, pendidikan masjid
yang diselenggarakan di era kekhalifahan telah memberi pengaruh kepada
peradaban Eropa melalui sistem pendidikan, universalitas, metode pengajaran, dan
gelar kesarjanaan yang diberikan.
"Islam juga memberi pengaruh kepada Barat dalam
penyelenggaraan pendidikan universitas yakni dalam kebebasan akademik profesor
dan mahasiswa, dalam tesis dokteral serta yang lainnya," cetus Makdisi.
Begitulah peran masjid dalam mengembangkan pendidikan di dunia Islam pada era
keemasan Islam. Lalu bagaimanakah peran masjid saat ini? n
Rakhmawati,
dewi. 2007. Islam dan Kreativitas Guru dalam Metode Pembelajaran (Bab II). Makalah
tidak diterbitkan. Malang :
Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim
Sekolah Islam memang menggeliat belakangan ini. Lembaga
pendidikan ini tidak lagi dipandang sebelah mata, sebagai lembaga yang kolot
dan ‘puritan’. Maraknya para orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah
Islam belakangan ini, menurut pakar pendidikan yang juga mantan Sekretaris
Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Prof DR Hidayat Syarif merupakan
fenomena yang sangat positif. ”Ini fenomena yang bagus. Dulu, sekolah sekolah
ini tidak mampu bersaing,” jelas Hidayat. Menurut mantan Deputi Sumber Daya Manusia
(SDM) Bappenas ini, sekolah-sekolah Islam selain mengutamakan mata pelajaran
umum yang sesuai dengan kurikulum Diknas, juga ditambah dengan mata pelajaran
agama. Lebih khusus lagi, kata Hidayat, adalah pada penanaman moral, pendidikan
akhlak.
Alasan serupa dikemukakan psikolog dan
pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi. Menurut Kak Seto, belakangan ini
banyak lembaga pendidikan Islam yang telah meningkatkan kualitasnya dengan
mengadopsi beberapa model atau kurikulum dari luar negara-negara maju seperti Australia ,
Jepang, Amerika Serikat dan lainnya. ”Semua baik, tapi yang penting harus
dilakukan dengan prinsip for the best interest of the child (demi
kepentingan terbaik bagi anak), bukan bagi orang tua, guru, yayasan, dan
sebagainya,” jelasnya. Penulis setuju dengan pendapat Kak Seto, sumber
informasi terpenting adalah dari sisi anak. Sekolah yang baik adalah baik
menurut anak bukan baik menurut iklan. Pertanyaan mendasar adalah coba anak
boleh melihat, mencoba, pada saat pendaftaran itu ada suasana untuk percobaan
dan sebagainya lalu tanyakan kepada anak. Menurut dia bagaimana, enak nggak
di sekolah itu? Kalau dia suka silahkan didaftarkan. Orangtua jangan memilih
sekolah hanya karena prestise.
Sekolah Islam sebaiknya tidak mengajarkan
ajaran-ajaran Islam dalam hanya sekadar dari sudut pandang orang tua. Misalnya
orang tua nanti kalau berbuat ini dosa, kalau mengerjakan ini nanti masuk
sorga. Jadi, akhirnya anak jadi objek untuk ambisi orang tua. Sejak dini anak
memang harus dibekali dengan pendidikan agama, namun harus melihat metode yang
dipakai. ”Pengajarannya bagaimana? Jangan lembaga Islam metode pembelajarannya
dengan kekerasan sehingga membuat anak malah takut dengan agama. Mereka bisa
anti produktif, tapi kalau Islam diajarkan dengan bernyanyi, dongeng, boneka,
kegiatan bermain di taman yang menyenangkan, gurunya ramah, itu Islam akan
sangat muncul dengan efektif pada diri anak.
Metode pembelajaran merupakan kunci utama
berhasilnya sebuah pendidikan. ”Ada
sekolah Islam yang metodenya menyenangkan tapi tidak sedikit sekolah Islam yang
metodenya kurang menyenangkan. Ini yang sangat disayangkan, akan memberikan
gambaran yang keliru terhadap Islam.” Anak pra sekolah, misalnya, belum saatnya
dia ditakut-takuti kalau bolos, atau malas nanti masuk neraka. Anak-anak usia
begini seharusnya dikenalkan bahwa Islam itu indah, sabar, kasih sayang, dan
diberikan contoh konkret,” ujarnya. Yang tak kalah pentingnya, papar Kak Seto
lebih lanjut, peran orang tua dalam membimbing anak. Apalagi, seorang anak justru
akan lebih lama bersama orang tuanya ketimbang guru. ”Orang tua harus menyadari
bahwa pendidik yang paling utama adalah orang tuanya sendiri. Jadi, orang tua
harus memainkan peranan penting terhadap pendidikan anak. Dimulai dengan
keteladanan atau contoh, jangan menyuruh anak shalat tapi anak tidak shalat.
Jangan menyuruh kepada anak kalau dari orang tuanya tidak ada keteladanan yang
konkrit dari orang tuanya.” Yang penting, kata Kak Seto, penekanannya bukan
sekadar hablumminallah tapi hablum minannaas. ”Kita memberikan
kepada mereka bahwa ajaran Islam itu baik hati,” ujarnya. Di rumah, hal itu
bisa ditunjukkan oleh orang tua kepada anak. Ketika setelah shalat, misalnya,
orang tua mendongeng bagi anak, bukan mengomel. ”Dari situ ada asosiasi antara
perilaku shalat dan kasih sayang ataupun suasana kehangatan emosional ibunya
yang dirasakan sekali terhadap anak,” ujarnya.
Islam sebagai rahmatan
lil alamin sudah sewajarnya menerapkan apa yang dilakukan oleh Nabi di
atas. Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak,
bahkan sejak masih dalam kandungan. Jika anak sejak dini telah
mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orangtua. Kekerasan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, Islam mengajarkan kasih sayang, kepada yang di luar Islam harus saling menyayangi, apalagi kepada sesama muslim, sampai-sampai dikatakan bahwa sesama muslim laksana satu tubuh, jika ada bagian yang sakit maka sakitnya akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain.
mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orangtua. Kekerasan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, Islam mengajarkan kasih sayang, kepada yang di luar Islam harus saling menyayangi, apalagi kepada sesama muslim, sampai-sampai dikatakan bahwa sesama muslim laksana satu tubuh, jika ada bagian yang sakit maka sakitnya akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain.
Usia pra sekolah yang berlangsung pada usia
3-6 tahun menurut Erik H. Erickson, seorang tokoh psikoanalisis, memiliki
dorongan yang kuat untuk menguasai lingkungan. Krisis yang dialami adalah autonomy
vs shame/doubt. Jika dia berhasil dalam tahap berkembangan ini maka akan
menjadi anak yang mandiri, namun jika gagal maka akan merasa malu dan
ragu-ragu.
Tugas guru pra sekolah adalah senantiasa
secara kreatif menggunakan metode pembelajaran yang sesuai untuk membuat
anak-anak menjadi otonom. Apapun itu metodenya, mendongeng, bernyanyi, yang penting dilakukan dengan menyenangkan. Bagaimana kita bisa membangun
kontrol diri sebagai wujud kemandirian. Seperti metode yang digunakan oleh Erik
H. Erikson dalam mendidik anak-anak yaitu metode Montessori adalah metode yang
menekankan perkembangan inisiatif anak melalui permainan dan pekerjaan.
Nice posting! sangat bermanfaat. Ditunggu kunjungan baliknya ya!
ReplyDelete