Pages

Friday, 4 May 2012

ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1955-SEKARANG (2-selesai)





Islam dan Politik
Islam memang tak bisa sepenuhnya dipisahkan dari politik. Bukti sederhananya yaitu kalau kita cermati secara seksama, niscaya kita akan mendapatkan literatur-literatur sejarah Islam terlalu banyak yang lebih menitikberatkan pada perseteruan-perseteruan politis antara umat Islam dan non-muslim ketika Nabi masih hidup dan perseteruan sesama umat Islam satu sama lain serta non-muslim paska wafatnya beliau hingga dewasa ini. Kita ungkap sedikit tentang itu di bawah ini.

Klan-klan politik umat Islam erat kaitannya dengan tata nilai, adat-istiadat, dan corak kehidupan masyarakat Arab Jahiliah. Sistem kabilah merupakan satu kesatuan politis yang dibangun oleh masyarakat Arab pra-Islam yang kemudian disatukan oleh Nabi di bawah panji agama agar menjadi masyarakat Arab yang bersatu, baik secara etnis, agama, bahasa, dan sosial serta tunduk pada seorang pemimpin, yaitu Nabi sendiri. Setelah beliau wafat, muncul tiga klan politik baru yaitu Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim hingga terbunuhnya Utsman bin Affan dan perang antar para sahabat yang lebih disebabkan oleh motif politik.
Perkembangan klan-klan politik tersebut mempunyai dua efek sekaligus: positif dan negatif. Positif karena berdasarkan persaingan antara mereka yang mana masing-masing pembela suatu klan bisa mengoptimalkan kemampuan otak dan mengarang karya-karya kebudayaan, agama, dan filsafat untuk meneguhkan bermacam-macam aliran mereka yang merupakan warisan kebudayaan dan pemikiran yang tak akan musnah bagi kita dan generasi-generasi mendatang. Negatif karena bisa melemahkan kekuatan dengan tercerai-berai menjadi beberapa aliran plus kerugian-kerugian material, kemanusiaan, dan moral sebagai akibat dari perbedaan nafsu dan pendapat. (Fatimah Jum’ah, al-Ittijâhât al-Hizbiyah fî al-Islâm: Mundzu ‘Ahd al-Rasûl ila ‘Ashr Banî Umayah, t.t.)
Kritik Politi (k) sasi Islam
Bila kita lihat perkembangan partai-partai Islam di Indonesia akhir-akhir ini, efek-efek negatif di atas bukan basa-basi belaka apalagi pemilu 2009 kian dekat. Efek negatif semacam ini akan semakin bertambah bila para politisi semakin sering menggunakan isu-isu agama demi kepentingan politis sesaat. Politisasi Islam memang amunisi ampuh guna meraup sebanyak-banyaknya perolehan suara, tapi pada kesempatan yang sama selain sebagai ajang pembodohan masyarakat ia juga salah satu faktor utama perpecahan umat Islam. Maka tak aneh bila kini partai-partai nasionalis ikut-ikutan meniru gaya partai-partai Islam dalam menggunakan isu-isu agama.
Kondisi semacam ini baru masuk pada tahap awal politisasi Islam. Tahap selanjutnya adalah peneguhan opini-opini partai yang diiringi dengan klaim doktrin agama yang biasanya diupayakan bisa menjadi sebuah UU yang memiliki kekuatan hukum. Berbeda dengan kalangan awam pada umumnya yang mana cara-cara semacam ini cepat mendapatkan tempat pada pikiran mereka, kalangan terpelajar yang cenderung kritis menanggapi persoalan semacam ini karena mereka sadar akan konsekuensi yang ditimbulkannya; bila opini-opini partai sudah mendapatkan legitimasi hukum, maka sangat sulit mencabutnya kembali bahkan anti kritik.
Pada tahap selanjutnya, legitimasi opini-opini tersebut merupakan awal dari diktatorianisme atas nama agama yang mula-mula ditandai dengan kekangan perbedaan pendapat. Di sinilah persoalan kebenaran harus bersinggungan dengan kekuasaan. Sesuatu menjadi benar, yang sebenarnya belum tentu benar bahkan bukan kebenaran yang sebenarnya, karena ia didukung oleh kekuasaan. Biasanya, pada kondisi ini, kalangan oposisi seringkali berada pada pihak yang dirugikan, bahkan bisa dianggap sebagai musuh negara yang gerak-geriknya mesti dikekang sedemikian rupa. Realita seperti ini seringkali terjadi pada masa-masa silam, bahkan terung berlangsung hingga sekarang.
Pada akhirnya, “niat baik” politisasi Islam harus terjerembab pada corak Islam simbolik-formalistik. Agama acapkali dijadikan alat pengesah ambisi dan kepentingan kelompok Islam tertentu seraya menafikan kelompok lain. Intinya, bila kecenderungan politisasi Islam tak segera direduksi, maka malapetaka kian dekat. Kiranya diktum Cak Nur pada tahun 1972, “Islam Yes, partai Islam No” masih sangat relevan untuk konteks perpolitikan di tanah air saat ini. Dengan demikian, harus ada jarak yang tegas serta terang benderang antara Islam dan kekuasaan. Karena bila tidak maka, salah satunya, tak menutup kemungkinan beraneka ragam kebudayaan Indonesia akan bernasib serupa dengan seni tari jaipongan dan badjidoran di Jawa Barat belum lama ini.



A.    ISLAM MASA ORDE BARU-REFORMASI
Penetrasi kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali seperti Pemilu 1955.
Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar 172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan partai-partai berakar massa Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.

            Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).
Penciutan partai
Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.
Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).
Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ”hijau” yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ”kuning” Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ”hijau” pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.
Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.
Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.
Kebebasan kedua
Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955, kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57 persen.
Partai berbasis massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun, dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15 daerah pemilihan.
Kembalinya sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan.





BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


A.    Kesimpulan
Jadi Islam pada masa orde lama smpai reformasi dan sekarang tak lepas yang namana partai. Memang diperlukan paradigma politik baru untuk menjawab fakta sejarah mengapa umat Islam di negeri muslim terbesar di dunia ini tak pernah menjadi umat dominan dalam politik. Sejak pemilu pertama, 1955, umpamanya, perolehan suara gabungan seluruh partai Islam (lima dari 29 partai politik dan golongan yang ikut pemilu) tak melampaui 45 persen suara. Dua partai besar yang kala itu mengibarkan bendera Islam --Masyumi dan Nahdhatul Ulama --disaingi hampir secara seimbang oleh dua kekuatan nasionalis (PNI) dan komunis (PKI).
Ketika zaman berganti, rezim Orde Baru muncul menggantikan Orde Lama dan PKI dibubarkan, peta kekuatan partai ikut berubah. Partai Islam tak ikut berubah; umat tetap menjadi mayoritas tanpa memegang dominasi politik. Jauh partai dari Islam, atau dalam bahasa Dhurorudin Mashad disebut “Fragmentasi politik Islam kontemporer (baca pasca-Orde Baru)” yang bagi generasi 1970-an malah dianggap semacam “keberkahan sejarah”.
Partai-partai Islam pelopor seperti Syarikat Islam (SI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), misalnya, terkubur menjadi masa lalu.
Sekarang, sementara kalangan Islam malah memanfaatkan kecerdasan politiknya untuk tetap berpolitik asal jangan dalam partai Islam, makin jauh jarak politik dari Islam.
B.     Saran
Tingkatkan pembelajaran secara efisien dan efektif serta memperdalam kajian ke-Islaman.


DAFTAR PUSTAKA

Abar, Ahmad Zaini, Beberapa Aspek Dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 1990.
Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Kunowijoyo, Paradigma Islam, Interprestasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan,1993.
---------------, Dinamaika sejarah Ummat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994.
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemerdekaan, dan KeIndonesian, Bandung: Mizan, 1993.



No comments:

Post a Comment

silakan komentar