Islam dan Politik
Islam memang tak bisa sepenuhnya dipisahkan
dari politik. Bukti sederhananya yaitu kalau kita cermati secara seksama,
niscaya kita akan mendapatkan literatur-literatur sejarah Islam terlalu banyak
yang lebih menitikberatkan pada perseteruan-perseteruan politis antara umat
Islam dan non-muslim ketika Nabi masih hidup dan perseteruan sesama umat Islam
satu sama lain serta non-muslim paska wafatnya beliau hingga dewasa ini. Kita
ungkap sedikit tentang itu di bawah ini.
Klan-klan politik umat Islam erat kaitannya
dengan tata nilai, adat-istiadat, dan corak kehidupan masyarakat Arab Jahiliah.
Sistem kabilah merupakan satu kesatuan politis yang dibangun oleh masyarakat
Arab pra-Islam yang kemudian disatukan oleh Nabi di bawah panji agama agar
menjadi masyarakat Arab yang bersatu, baik secara etnis, agama, bahasa, dan
sosial serta tunduk pada seorang pemimpin, yaitu Nabi sendiri. Setelah beliau
wafat, muncul tiga klan politik baru yaitu Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim
hingga terbunuhnya Utsman bin Affan dan perang antar para sahabat yang lebih
disebabkan oleh motif politik.
Perkembangan klan-klan politik tersebut
mempunyai dua efek sekaligus: positif dan negatif. Positif karena berdasarkan
persaingan antara mereka yang mana masing-masing pembela suatu klan bisa
mengoptimalkan kemampuan otak dan mengarang karya-karya kebudayaan, agama, dan
filsafat untuk meneguhkan bermacam-macam aliran mereka yang merupakan warisan
kebudayaan dan pemikiran yang tak akan musnah bagi kita dan generasi-generasi
mendatang. Negatif karena bisa melemahkan kekuatan dengan tercerai-berai
menjadi beberapa aliran plus kerugian-kerugian material, kemanusiaan,
dan moral sebagai akibat dari perbedaan nafsu dan pendapat. (Fatimah Jum’ah, al-Ittijâhât
al-Hizbiyah fî al-Islâm: Mundzu ‘Ahd al-Rasûl ila ‘Ashr Banî Umayah,
t.t.)
Kritik Politi (k) sasi Islam
Bila kita lihat perkembangan partai-partai
Islam di Indonesia akhir-akhir ini, efek-efek negatif di atas bukan basa-basi
belaka apalagi pemilu 2009 kian dekat. Efek negatif semacam ini akan semakin
bertambah bila para politisi semakin sering menggunakan isu-isu agama demi
kepentingan politis sesaat. Politisasi Islam memang amunisi ampuh guna meraup
sebanyak-banyaknya perolehan suara, tapi pada kesempatan yang sama selain
sebagai ajang pembodohan masyarakat ia juga salah satu faktor utama perpecahan
umat Islam. Maka tak aneh bila kini partai-partai nasionalis ikut-ikutan meniru
gaya partai-partai Islam dalam menggunakan isu-isu agama.
Kondisi semacam ini baru masuk pada tahap
awal politisasi Islam. Tahap selanjutnya adalah peneguhan opini-opini partai
yang diiringi dengan klaim doktrin agama yang biasanya diupayakan bisa menjadi
sebuah UU yang memiliki kekuatan hukum. Berbeda dengan kalangan awam pada
umumnya yang mana cara-cara semacam ini cepat mendapatkan tempat pada pikiran
mereka, kalangan terpelajar yang cenderung kritis menanggapi persoalan semacam
ini karena mereka sadar akan konsekuensi yang ditimbulkannya; bila opini-opini
partai sudah mendapatkan legitimasi hukum, maka sangat sulit mencabutnya
kembali bahkan anti kritik.
Pada tahap selanjutnya, legitimasi opini-opini tersebut
merupakan awal dari diktatorianisme atas nama agama yang mula-mula ditandai
dengan kekangan perbedaan pendapat. Di sinilah persoalan kebenaran harus
bersinggungan dengan kekuasaan. Sesuatu menjadi benar, yang sebenarnya belum
tentu benar bahkan bukan kebenaran yang sebenarnya, karena ia didukung oleh
kekuasaan. Biasanya, pada kondisi ini, kalangan oposisi seringkali berada pada
pihak yang dirugikan, bahkan bisa dianggap sebagai musuh negara yang
gerak-geriknya mesti dikekang sedemikian rupa. Realita seperti ini seringkali
terjadi pada masa-masa silam, bahkan terung berlangsung hingga sekarang.
Pada akhirnya,
“niat baik” politisasi Islam harus terjerembab pada corak Islam
simbolik-formalistik. Agama acapkali dijadikan alat pengesah ambisi dan kepentingan
kelompok Islam tertentu seraya menafikan kelompok lain. Intinya, bila
kecenderungan politisasi Islam tak segera direduksi, maka malapetaka kian
dekat. Kiranya diktum Cak Nur pada tahun 1972, “Islam Yes, partai Islam No”
masih sangat relevan untuk konteks perpolitikan di tanah air saat ini. Dengan
demikian, harus ada jarak yang tegas serta terang benderang antara Islam dan
kekuasaan. Karena bila tidak maka, salah satunya, tak menutup kemungkinan
beraneka ragam kebudayaan Indonesia
akan bernasib serupa dengan seni tari jaipongan dan badjidoran di Jawa Barat
belum lama ini.
Penetrasi
kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah
pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental
di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali
seperti Pemilu 1955.
Pemilihan umum
pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar
172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan
partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang
dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya
kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan
partai-partai berakar massa
Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU,
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih
lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis
seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI),
atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga
kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.
Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).
Penciutan partai
Tahun 1959
adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang
dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7
Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat
setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan,
partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai
Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti,
dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai
lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.
Dalam Pemilu
1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara
dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12
persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen),
Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara
Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).
Pembubaran
Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan
politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap
memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali
dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan
Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau
Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan
Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai
nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi
basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai
nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat
(NTB). Wilayah ”hijau” yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai
Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ”kuning”
Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen
dikuasai oleh partai ”hijau” pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada
Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.
Pemilu 1971
yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai
Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan
partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi
sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.
Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung
anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde
Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.
Kebebasan kedua
Runtuhnya
kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas
politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa
Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955,
kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama
setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih
dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57
persen.
Partai berbasis
massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah
suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk
partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak
banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam
(PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun,
dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum
berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua
daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta ) dan PKB (Jawa
Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15
daerah pemilihan.
Kembalinya
sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa
pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Jadi Islam pada masa orde lama smpai
reformasi dan sekarang tak lepas yang namana partai. Memang diperlukan
paradigma politik baru untuk menjawab fakta sejarah mengapa umat Islam di
negeri muslim terbesar di dunia ini tak pernah menjadi umat dominan dalam
politik. Sejak pemilu pertama, 1955, umpamanya, perolehan suara gabungan
seluruh partai Islam (lima dari 29 partai politik dan golongan yang ikut
pemilu) tak melampaui 45 persen suara. Dua partai besar yang kala itu
mengibarkan bendera Islam --Masyumi dan Nahdhatul Ulama --disaingi hampir
secara seimbang oleh dua kekuatan nasionalis (PNI) dan komunis (PKI).
Ketika zaman berganti, rezim Orde Baru
muncul menggantikan Orde Lama dan PKI dibubarkan, peta kekuatan partai ikut
berubah. Partai Islam tak ikut berubah; umat tetap menjadi mayoritas tanpa
memegang dominasi politik. Jauh partai dari Islam, atau dalam bahasa Dhurorudin
Mashad disebut “Fragmentasi politik Islam kontemporer (baca pasca-Orde Baru)”
yang bagi generasi 1970-an malah dianggap semacam “keberkahan sejarah”.
Partai-partai Islam pelopor seperti
Syarikat Islam (SI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII), misalnya, terkubur menjadi masa lalu.
Sekarang, sementara kalangan Islam malah
memanfaatkan kecerdasan politiknya untuk tetap berpolitik asal jangan dalam
partai Islam, makin jauh jarak politik dari Islam.
B. Saran
Tingkatkan
pembelajaran secara efisien dan efektif serta memperdalam kajian ke-Islaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abar,
Ahmad Zaini, Beberapa Aspek Dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani,
1990.
Anwar,
M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995.
Kunowijoyo,
Paradigma
Islam, Interprestasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan,1993.
---------------,
Dinamaika
sejarah Ummat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press dan
Pustaka Pelajar, 1994.
Madjid,
Nurcholish, Islam, Kemerdekaan, dan KeIndonesian, Bandung: Mizan, 1993.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar