Pages

Friday, 4 May 2012

ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1955-SEKARANG (1)




Tugas SEJARAH PERADABAN ISLAM

ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1955-SEKARANG

 







Disusun oleh:
MUH. ABID FAUZAN
MA’RUFIN
MUH. ALI FIKRI IQBAL



JURUSAN PENDIDIKAN AGAM ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR 2009



KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan nikmat dari-Nya sehingga makalah kami yang berjudul ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1955-SEKARANG dapat diselesaikan, shalawat serta taslim tak lupa kami kirimkan atas junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang telah membawa ummat ini dari alam gelap gulita menuju alam terang benderang.
            Dalam rangka penyelesaian Makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak yang ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan arahan dan bimbingan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Walaupun dengan usaha maksimal telah kami lakukan, tapi sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami dari penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini, dan kiranya makalah ini dapat memberikan masukan dan informasi kepada semua pihak yang berkaitan dengan hal ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu Wataala. Amin….
Wassalam


Artinya:

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.”
(Q.S. Al-Qashshash [28] :88)

Makassar,  Desember 2009


Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Umat Islam sangat meyakini bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin --rahmat bagi seluruh alam. Itu memang firman Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim. Umat Islam juga sangat meyakini bahwa segala yang penuh kasih dan penuh sayang datang hanya dari Tuhan. Lawannya adalah watak setan, yang amat lihai membujuk manusia hanya berbuat buruk.
Baik dan buruk, haq dan batil --seperti disuratkan dalam beberapa ayat suci --tak bisa disatukan, atau, dalam bahasa politik, dikompromikan. Celakanya, dalam konteks politik (sejauh yang dipahami banyak orang selama ini), yang terjadi bukan cuma koor menerima rahmat dari langit. Dinamika politik justru terjadi karena di dalamnya ada tawar-menawar, tarik-menarik, bahkan proses tindas-menindas berbagai kepentingan yang tidak terbatas pada baik atau buruk, suci atau najis, mutlak atau relatif.
Sering terjadi dalam kancah partai politik, keduanya “dipaksakan” berjalin-bekelindan. Orang-orang yang asyik berpolitik tidak lagi merasa terperangkap dalam stigmatisasi bahwa politik itu kotor. Mereka malah sudah meyakini tak ada laku politik yang tidak kotor. Padahal Islam menghendaki kemuliaan berdasar akhlakul karimah --akhlak mulia.
Arti kemerdekaan, pertama adalah bersyukur kepada Allah yang pada waktu singkat (5 tahun) memberikan karunia yang besar berupa kemerdekaan (implikasi dari ajaran Islam: berterima kasih atas sebuah rahmat adalah kewajiban). Ekspresi rasa syukur adalah dengan membuat kemajuan, meningkatkan yang belum baik, menguatkan apa-apa yang belum kuat, menyempurnakan apa yang belum sempurna. Selain alam yang bersahabat tentulah kebudayaan yang tinggi serta karakter yang bagus dan watak yang tasamuh (pengikut-sertaan, kesabaran), dasar toleransi dimana perselisihan dan kekerasan bukan ciri khas kita. Tanah air kita masih segar dan memiliki kualitas geografis yang memadai untuk membuat jalan sendiri di masa depan.
Sebagai masyarakat Muslim, seperti yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad saw., meskipun peperangan yang baru selesai itu menyebabkan pertumpahan darah dan sama sekali destruktif. Meskipun demikian, Nabi menganggapnya sebagai peperangan berskala kecil, jihad ashghar. Lalu ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa masyarakat akan memasuki fase perkembangan revolusi yang disebut jihad akbar, yang lebih besar, dimana tidak ada pedang, tembakan, saling membunuh. Tetapi lebih sulit dari jihad sebelumnya, yakni perjuangan untuk mengembangkan kepribadian jihad al-nafs. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Ini merupakan kepemimpinan yang revolusioner, yang menghapuskan setiap bentuk eksploitasi manusia oleh manusia dan menghapuskan kemiskinan dan kesengsaraan.
 Itulah sebabnya penulis menulis membahas bagaimana Islam dan secara umum umat Islam mengisi Pasca kemerdekaan Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Islam di Indonesia Tahun 1955- sekarang?




BAB II
PEMBAHASAN


A.    ISLAM MASA ORDE LAMA-BARU
Perjuangan melawan kekuatan politik yang terjadi sejak 1905 terus-menerus berlangsung melawan persenjataan kolonial, kekuatan non-materialnya adalah pendirian pada perintah Allah yaitu melawan segala bentuk eksploitasi manusia oleh manusia. Karakter bangsa yang lembut ber-metamorfosis dan berubah secara radikal menjadi berani luar biasa seakan menyimpan sekian rasa kekecewaan yang siap meledak. Seruan “Allah-u Akbar” membuka kunci di hati banyak orang, menggerakkan, membangkitkan kekuatan bagi segenap lapisan masyarakat yang ada pada saat itu. Potensi ini dapat dimanfaatkan oleh pemimpin yang menyadarinya atau sebaliknya dapat meledak dan menjadi pembakaran, untuk itu dicarilah jalan dengan 2 pertanyaan yang harus dijawab demi generasi berikutnya: Arti apa yang akan kita berikan kepada negara kita? Bagaimana kita memberi arti pada kemerdekaan?
Secara praktis, menghapuskan kemiskinan adalah setiap individu harus menggunakan kekuatan atau tenaga untuk meningkatkan dan melipatgandakan produksi, meningkatkan penghasilan, sehingga mampu mengangkat kualitas hidup dan membagikan kekayaan serta kebutuhan pokok secara baik. Ajaran Islam menentang penimbunan yang tidak produktif, dan mendukung peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan umum, modal harus diproduktifkan dan tidak dimotivasi secara eksklusif oleh dorongan mengejar keuntungan melainkan memberi perhatian besar pada pengembangan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Tentang HAM, Manusia diajarkan untuk memperjuangkan haknya. Ia harus berusaha keras memperoleh haknya. Orang-orang yang menguasai hak-hak tersebut tidak akan begitu saja mau menyerahkan secara sukarela kepada orang yang pantas memiliki hak tersebut: ia akan mempertahankan apa yang ia yakini sebagai miliknya. Sebagai konsekuensi dari kesadaran hak ini dan kesadaran lainnya yang tidak berhak, akan muncul pertentangan antara para pemegang hak tersebut dengan orang yang berhak. Pendekatan Islam yang diletakkan oleh Nabi Muhammad saw.: “tidak sempurna iman seseorang bila ia tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Maka kelompok majikan dan kelompok pekerja bukan dua kelas sosial melainkan factor-faktor industri yang mempunyai fungsi, tanggung jawab dan bagian sendiri. Tiap individu mempunyai dua jenis kewajiban: fardlu ‘ain – kewajiban individu kepada Tuhan dan tidak bisa diwakilkan dan ditransaksikan.(ibadah salat, puasa, haji), fardlu kifayah – dilakukan untuk masyarakat, atas nama masyarakat sebagai aspek sosial, ekonomi dan politik. Keduanya tak terpisahkan. Dan berikut dengan bagaimana menjaga diri agar tidak masuk dalam fanatisme, fasisme (rasa patriotisme yang sempit dan berlebih-lebihan), totalitarianisme dan rasisme.
Pada pemilu pertama tahun 1955, dengan meraup 20, 29 % suara, Masyumi menjadi partai Islam terkuat melebihi perolehan suara partai-partai Islam lainnya seperti NU, Perti, PSII, dan beberapa partai kecil lainnya dari 172 partai peserta pemilu yang ada. Tapi tak lama setelah itu pada tahun 1960, setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Pnps No 7 tahun 1959, Masyumi bubar. Pembubaran Masyumi ini merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam di Indonesia kala itu.
Pada pemilu 1971, pemilu pertama setelah orde baru, meski NU dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) berhasil menempati posisi lima besar, tapi perolehan suara partai-partai Islam menurun drastis dibanding pemilu 1955. Kejadian, yang salah satunya disebabkan oleh terkonsilidasinya otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, seperti ini terus berlanjut pada pemilu-pemilu pada masa orde baru selanjutnya yang kian melumpuhkan kekuatan politik Islam di tanah air.
Setelah runtuhnya rezim orde baru, tepatnya pada pemilu 1999, partai-partai berbasis Islam bisa meraih simpati masyarakat kembali dengan perolehan 37, 54 % suara. Keaadan seperti ini terulang kembali pada pemilu 2004 dengan kian melonjaknya perolehan suara tujuh partai Islam, yaitu perolehan 38, 33 % suara dari. Tapi bila dibanding pemilu 1955, perolehan suara partai-partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 menurun. Dengan kata lain, telah terjadi perubahan kekuatan partai-partai nasionalis dan Islam dalam pergolakan perpolitikan Indonesia .
Persamaan antara pemilu 1955, 1999, dan 2004 yang mana perolehan suara partai-partai Islam cukup siginfikan adalah selalu diiringi oleh ketidakstabilan negara pada masing-masing pemilu. Pada pemilu 1955, misalnya, keamanan negara kurang kondusif karena DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya yang berada di bawah pimpinan Kartosuwiryo menebarkan kekacauan di beberapa daerah di tanah air. Sementara itu, pada pemilu 1999 Indonesia tengah mengalami proses reformasi di berbagai lini kehidupan yang tak menentu dan sebagian efeknya terus berlanjut hingga pemilu 2004.



Corak Partai Islam Indonesia
Partai-partai Islam di Indonesia tidaklah sama, baik dari segi asas maupun agenda. Dua hal ini, asas dan agenda, sangat menentukan tipologi massa masing-masing partai. Kesamaan di antara partai-partai itu hanya satu, yaitu sama-sama mempunyai kepentingan politis yang sangat berpotensi memecah-belah umat Islam. Dari segi asas, misalnya, di antaranya berasas “murni” Islam dan Islam “semi nasionalis”. Perbedaan semacam ini bisa kita lihat dari masing-masing agenda politis yang mereka perjuangkan.
PPP, PBB, dan PKS bisa dikategorikan pada asas pertama yang getol memperjuangkan corak Islam simbolis seperti penerapan syariah Islam, bahkan salah satu partai dari tiga tersebut sering disinyalir mempunyai agenda terselubung mengganti ideologi Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana sebelumnya tokoh-tokoh Masyumi dulu dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sementara itu, PKB, PAN, PMB, PKNU, dan PBR bisa dikategorikan pada asas kedua karena selain tak terobsesi pada corak Islam simbolik dan lebih menekankan corak Islam substantif, keduanya juga menegaskan bahwa ideologi Pancasila adalah dasar negara dan NKRI adalah bentuk final bagi negeri ini.
Meski di antara dua kategori partai Islam di atas sama-sama berpeluang mempolitisasi Islam, tapi partai-partai pada kategori kedua terasa lebih memproteksi dan meneguhkan eksistensi Pancasila daripada partai-partai pada kategori pertama. Poin yang harus digarisbawahi di sini adalah meski mengklaim sebagai partai Islam, tapi pada kenyataannya umat Islam tak menunggal pada satu suara, tak berpangku pada satu sikap, malah karena partai-partai itu mereka lebih dekat dengan perselisihan dan semakin menjauh dari kesatuan. 




No comments:

Post a Comment

silakan komentar