Pages

Saturday, 1 September 2018

UNIVERSITAS KEILMUAN ISLAM UNTUK KEMANUSIAAN


Gambar hanya contoh


UNIVERSITAS KEILMUAN ISLAM UNTUK KEMANUSIAAN
Oleh: Hasanul Rizqa (hasanulrizqa@mail.ugm.ac.id)
Sumber : koran REPUBLIKA
Salah satu kebaikan dari ekspansi Islam adalah Universitas Ilmu. Mengutip pandangan cendekiawan Nurcholis Madjid, peradaban Islam merupakan yang pertama mengangkat ilmu pengetahuan menjadi isu kemanusiaan global sehingga melampaui sekat-sekat kebangsaan atau agama. Inilah semangat cosmopolitan yang sesungguhnya mendahului abad modern sekaligus pasca modern sekarang.

Penerapannya bermacam-macam. Misalnya, sistem bilangan decimal yang dirintis peradaban India diadopsi para sarjana muslim, utamanya al-Khawarizmi, sejak di Bait al-Hikmah, Baghdad. Teknik pembuatan kertas dan pemanfaatan mesin dari Cina juga diadopsi kaum muslim untuk mengembangkan sistem pertahanan intelektual (baca: buku) dan militer (senjata api). Tradisi berpikir rasional-deduktif dari para filsuf Yunani klasik diadopsi melalui kritik-kritik yang tajam sehingga memunculkan filsafat Islam.

Masih banyak lagi cara-cara Islam mengelaborasi pengetahuan-pengetahuan yang lahir dari negeri-negeri luar Arab dan menghubungkannya dengan teks wahyu. Mengutip CA. Qudir (1998), Husain Heriyanto menyebutkan bahwa seperdelapan isi al-Qur’an atau tepatnya 750 ayat yang mengimbau kaum beriman untuk merenungi alam semesta dengan akal mereka. Ajakan proaktif ini hanya mungkin disambut dengan orang-orang yang berpikir terbuka, mereka yang terbiasa menjumpai kebudayaan-kebudayaan luar dan menyambutnya dengan rasa ingin tahu, alih-alih sikap fobia dan ekslusif. Dua hal ini, sikap terbuka terhadap perbedaan dan keteguhan iman pada al-Qur’an, merupakan ciri khas yang tidak bias dilepaskan dari peradaban Islam. Dengan dua pondasi tersebut, peradaban Islam kian berkembang, menerangi kaum cerdik pandai dunia, dari kota ke kota lain, serta melintasi beragam bahasa dan budaya.

Salah satu warisan Islam yang sampai hari ini masih terasa manfaatnya adalah sistem pendidikan tinggi. Filsuf Francis, Roger Garaudy (1981), menjelaskan keunggulan sistem universitas Islam dalam sejarah. Dalam ajaran Islam, Allah adalah satu-satunya sumber kebenaran tertinggi. Maka firman Allah merupakan dasar dalam mengkaji dan menemukan hukum dan hikmah di balik alam semesta. Tidak mengherankan bila pusat-pusat keilmuan awalnya terbina dari masjid, rumah ibadah yang di dalamnya al-Qur’an selalu dibaca.

Majelis-majelis llmu di dalam masjid kemudian meluas menjadi institusi madrasah (sekolah). Cikal bakal pertama universitas modern adalah Masjid al-Qur’aniyyin yang berlokasi di Fez, Maroko, yaitu pada tahun 859 M. konsepnya kemudian diadopsi Masjid Zaitun di Tunisia, Masjid al-Azhar di Kairo (Mesir), serta sejumlah masjid di Samarkand dan Kordoba. Semua itu dengan dukungan penguasa muslim di masing-masing wilayah. Semua institusi pendidikan tinggi di Benua Eropa merupakan peniruan atas sistem Islam tersebut, dua atau tiga abad kemudian. Misalnya, Universitas Paris atau Universitas Oxford. Semuanya didirikan menurut model Islam, tulis Graudy.

Karena itu, tidak aneh pula bila kemudian presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama, dalam pidatonya di Kairo pada tahun 2009 yang lalu menyerukan: Sebagai mahasiswa sejarah, saya tahu bahwa peradaban (modern) berutang budi pada Islam. Sebuah utang budi bukanlah transaksional, melainkan lebih sebagai upaya membangun jembatan kemanusiaan yang terus-menerus. Tidak ada monopoli agama, suku, atau budaya tertentu dalam penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Konsep algoritma yang dicetuskan oleh al-Khawarizmi berabad-abad silam merupakan dasar sistem internet hari ini. Apakah itu berarti bahwa Islam mesti merebut kembali untuk kemudian ‘memonopoli’ internet? Sekalipun, umpamanya, sang ilmuan al-Khawarizmi hidup kembali pada abad ini, saya ragu mengiyakan atas pertanyaan tersebut.

Di sinilah barangkali pentingnya watak urban-kosmopolitan umat Islam terus terjaga. Sikap terbuka yang menerima kebenaran ilmiyah, dari manapun datangnya. Karakteristik rahmatan lil alamin agama ini dapat berasal dari keterbukaan demikian.

Ambil contoh Bait al-Hikmah di Baghdad pada abad kesembilan. Itu adalah salah satu pusat peradaban yang paling cemerlan dari duniaIslam. Dalam lembaga ini, kegiatan-kegiatan ilmiyah berlangsung pesat, mulai dari penerjemahan teks-teks asing hingga penelitian. Demi perkembangan ilmu pengetahuan, Sultan Harun al-Rasyid mengesampingkan rasa kebangsaan.

Buktinya, ia mengangkat I’yan Syu’ubi, seorang Persia yang anti Arab, sebagai kepala perpustakaan (Lihat Cakrawala Budaya Islam, Prof. Abdul hadi WM, 2016). Di Bait al-Hikmah pula, tidak sedikit orang-orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani kuno ke Bahasa Ibrani untuk kemudian ke Bahasa Arab. Demikian pula sarjana-sarjana dari India, Baghdad, yang kini sisa porak-poranda akibat aksi militer, benar-benar menjadi pusat ilmu pengetahuan. Cahanya bersinar bukan hanya lantaran umat Islam, melainkan juga kontribusi umat-umat agama lain. Semuanya demi menguak potensi kemanusiaan dalam mengeksplorasi alam semesta.

No comments:

Post a Comment

silakan komentar