Gambar hanya contoh |
UNIVERSITAS KEILMUAN ISLAM UNTUK
KEMANUSIAAN
Oleh: Hasanul Rizqa (hasanulrizqa@mail.ugm.ac.id)
Sumber : koran REPUBLIKA
Salah satu kebaikan dari ekspansi Islam
adalah Universitas Ilmu. Mengutip pandangan cendekiawan Nurcholis Madjid,
peradaban Islam merupakan yang pertama mengangkat ilmu pengetahuan menjadi isu
kemanusiaan global sehingga melampaui sekat-sekat kebangsaan atau agama. Inilah
semangat cosmopolitan yang sesungguhnya mendahului abad modern sekaligus pasca
modern sekarang.
Penerapannya bermacam-macam. Misalnya, sistem
bilangan decimal yang dirintis peradaban India diadopsi para sarjana muslim,
utamanya al-Khawarizmi, sejak di Bait al-Hikmah, Baghdad. Teknik pembuatan
kertas dan pemanfaatan mesin dari Cina juga diadopsi kaum muslim untuk
mengembangkan sistem pertahanan intelektual (baca: buku) dan militer (senjata
api). Tradisi berpikir rasional-deduktif dari para filsuf Yunani klasik
diadopsi melalui kritik-kritik yang tajam sehingga memunculkan filsafat Islam.
Masih banyak lagi cara-cara Islam
mengelaborasi pengetahuan-pengetahuan yang lahir dari negeri-negeri luar Arab
dan menghubungkannya dengan teks wahyu. Mengutip CA. Qudir (1998), Husain
Heriyanto menyebutkan bahwa seperdelapan isi al-Qur’an atau tepatnya 750 ayat
yang mengimbau kaum beriman untuk merenungi alam semesta dengan akal mereka.
Ajakan proaktif ini hanya mungkin disambut dengan orang-orang yang berpikir
terbuka, mereka yang terbiasa menjumpai kebudayaan-kebudayaan luar dan
menyambutnya dengan rasa ingin tahu, alih-alih sikap fobia dan ekslusif. Dua hal
ini, sikap terbuka terhadap perbedaan dan keteguhan iman pada al-Qur’an,
merupakan ciri khas yang tidak bias dilepaskan dari peradaban Islam. Dengan dua
pondasi tersebut, peradaban Islam kian berkembang, menerangi kaum cerdik pandai
dunia, dari kota ke kota lain, serta melintasi beragam bahasa dan budaya.
Salah satu warisan Islam yang sampai hari
ini masih terasa manfaatnya adalah sistem pendidikan tinggi. Filsuf Francis,
Roger Garaudy (1981), menjelaskan keunggulan sistem universitas Islam dalam
sejarah. Dalam ajaran Islam, Allah adalah satu-satunya sumber kebenaran
tertinggi. Maka firman Allah merupakan dasar dalam mengkaji dan menemukan hukum
dan hikmah di balik alam semesta. Tidak mengherankan bila pusat-pusat keilmuan
awalnya terbina dari masjid, rumah ibadah yang di dalamnya al-Qur’an selalu
dibaca.
Majelis-majelis llmu di dalam masjid
kemudian meluas menjadi institusi madrasah (sekolah). Cikal bakal pertama
universitas modern adalah Masjid al-Qur’aniyyin yang berlokasi di Fez, Maroko,
yaitu pada tahun 859 M. konsepnya kemudian diadopsi Masjid Zaitun di Tunisia,
Masjid al-Azhar di Kairo (Mesir), serta sejumlah masjid di Samarkand dan
Kordoba. Semua itu dengan dukungan penguasa muslim di masing-masing wilayah.
Semua institusi pendidikan tinggi di Benua Eropa merupakan peniruan atas sistem
Islam tersebut, dua atau tiga abad kemudian. Misalnya, Universitas Paris atau
Universitas Oxford. Semuanya didirikan menurut model Islam, tulis Graudy.
Karena itu, tidak aneh pula bila kemudian
presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama, dalam pidatonya di Kairo pada
tahun 2009 yang lalu menyerukan: Sebagai mahasiswa sejarah, saya tahu bahwa
peradaban (modern) berutang budi pada Islam. Sebuah utang budi bukanlah
transaksional, melainkan lebih sebagai upaya membangun jembatan kemanusiaan
yang terus-menerus. Tidak ada monopoli agama, suku, atau budaya tertentu dalam
penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Konsep algoritma yang dicetuskan oleh
al-Khawarizmi berabad-abad silam merupakan dasar sistem internet hari ini.
Apakah itu berarti bahwa Islam mesti merebut kembali untuk kemudian
‘memonopoli’ internet? Sekalipun, umpamanya, sang ilmuan al-Khawarizmi hidup
kembali pada abad ini, saya ragu mengiyakan atas pertanyaan tersebut.
Di sinilah barangkali pentingnya watak
urban-kosmopolitan umat Islam terus terjaga. Sikap terbuka yang menerima
kebenaran ilmiyah, dari manapun datangnya. Karakteristik rahmatan lil alamin agama ini dapat berasal dari keterbukaan
demikian.
Ambil contoh Bait al-Hikmah di Baghdad
pada abad kesembilan. Itu adalah salah satu pusat peradaban yang paling
cemerlan dari duniaIslam. Dalam lembaga ini, kegiatan-kegiatan ilmiyah
berlangsung pesat, mulai dari penerjemahan teks-teks asing hingga penelitian.
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, Sultan Harun al-Rasyid mengesampingkan rasa
kebangsaan.
Buktinya, ia mengangkat
I’yan Syu’ubi, seorang Persia yang anti Arab, sebagai kepala perpustakaan
(Lihat Cakrawala Budaya Islam, Prof. Abdul hadi WM, 2016). Di Bait al-Hikmah
pula, tidak sedikit orang-orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah
teks-teks Yunani kuno ke Bahasa Ibrani untuk kemudian ke Bahasa Arab. Demikian
pula sarjana-sarjana dari India, Baghdad, yang kini sisa porak-poranda akibat
aksi militer, benar-benar menjadi pusat ilmu pengetahuan. Cahanya bersinar bukan
hanya lantaran umat Islam, melainkan juga kontribusi umat-umat agama lain.
Semuanya demi menguak potensi kemanusiaan dalam mengeksplorasi alam semesta.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar