Pages

Tuesday 1 August 2017

PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK PADA MASA REFORMASI



Pascakeruntuhan rezim otoritarian Soeharto sewindu lalu, Indonesia memasuki masa kritis, antara mengarah pada negara demokrasi atau terjegal menjadi negara pretorian. Lemahnya otoritas lembaga negara pada masa reformasi menjadikannya lahan yang subur bagi tumbuhnya organisasi masyarakat dan gerakan politik massa.

Berkembangnya organisasi masyarakat (ormas) harus dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, sebagai petunjuk tumbuhnya kehidupan demokrasi. Studi di pelbagai negara yang baru saja mengalami kejatuhan rezim otoriter menunjukkan terjadinya perkembangan organisasi masyarakat yang sangat pesat. Sisi kedua, pertanda yang bisa menjadi petunjuk bagi lemahnya lembaga otoritas negara yang memicu munculnya masyarakat pretorian.
Terdapat, paling tidak, dua sudut pandang tentang apa yang dimaksud dengan situasi negara pretorian ini. Keduanya tidak saling bertentangan, tetapi cenderung saling melengkapi. Pertama adalah definisi yang dipakai oleh ilmuwan politik Amos Perlmutter dalam bukunya The Military and Politics in Modern Times (1977), yang menggunakan pretorian dalam pengertian kondisi kepemimpinan suatu negara yang lemah yang memungkinkan masuknya kembali militer memegang tampuk kekuasaan. Apabila pemerintahan sipil tidak efektif dan melembaga, badan eksekutif tidak dapat menguasai atau mengontrol tentara. Maka, keruntuhan kekuasaan eksekutif merupakan suatu prasyarat bagi tampilnya pretorianisme. Dalam situasi seperti ini, tentara, berkat kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuatan, dapat melaksanakan kekuatan politik otonom di dalam masyarakat.
Kedua, apa yang diulas secara mendalam oleh Samuel P Huntington dalam salah satu bukunya yang terkenal, Political Order in Changing Societies, yang mengartikan pretorian secara lebih luas. Bagi Huntington, faktor-faktor penting yang menyebabkan golongan militer melakukan intervensi bukanlah alasan yang bersifat militer, melainkan politis, karena lemahnya struktur kelembagaan dan kesemrawutan politis yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dalam negara pretorian bukan hanya tentara, tetapi semua kekuatan sosial melakukan politisasi. Semua jenis kekuatan sosial dan kelompok terlibat secara langsung di dalam politik umum. Politisasi semua kekuatan sosial tersebut terjadi, menurut Huntington, khususnya disebabkan tidak terdapat lembaga politik yang efektif atau, kalaupun ada, lembaga politik itu terlalu lemah untuk mengartikulasikan kepentingan publik.
Apa yang menyebabkan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat di dalam masyarakat pretorian tampak lebih politis ialah karena tidak adanya lembaga politik yang secara efektif dapat menengahi, menghaluskan, serta memperlunak aksi politik oleh berbagai kelompok. Di dalam sistem pretorian, kekuatan-kekuatan sosial bertentangan satu dengan yang lain secara terbuka dan tidak ada lembaga politik, juga tidak ada korps tokoh politik profesional, yang diakui dan atau diterima sebagai penengah yang sah untuk melunakkan konflik antarkelompok masyarakat.
Di Indonesia pertumbuhan partai politik dan ormas berjalan sangat pesat pascajatuhnya kekuasaan militeristik Orde Baru. Partai tumbuh dari tiga menjadi 181 dalam kurun waktu kurang dari setahun, sementara pertumbuhan ormas tampaknya juga ekuivalen dengan partai. Selama tahun 2000-2005, paling tidak terdapat 118 organisasi profesi, 69 organisasi keagamaan, dan 873 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Namun, karena terjadinya penurunan kepatuhan kepada pemerintah, banyak ormas yang tidak mendaftarkan diri ke Depdagri, lembaga yang pada masa Orde Baru menjadi alat kontrol utama kehidupan keormasan. Seiring melemahnya kekuatan sosial Politik Depdagri pasca-Orde Baru, jumlah ormas yang terdata di Depdagri tidak lagi mendekati realitas yang sesungguhnya karena banyak ormas yang tidak tertarik untuk mendaftarkannya.
Kebebasan berorganisasi menjadi salah satu fenomena yang dramatis yang muncul bersamaan dengan bergulirnya gerakan reformasi 1998. Organisasi juga tak lagi kaku seperti sebelumnya, tetapi lebih bersifat cair dan mudah terbentuk, semudah ia menghilang.
Memasuki masa reformasi, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila tak lagi menjadi momok yang menakutkan. Padahal, pada masa Orde Baru kontrol negara atas ormas menjadi penghambat bagi tumbuhnya organisasi masyarakat secara bebas. Bahkan, negara secara ketat mengontrol ideologi ormas sebagaimana negara mengatur partai politik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan secara eksplisit menunjukkan dominasi yang sangat kuat dari negara atas ormas. Di dalam isi dan penjelasan UU No 8/1985 tersebut bahkan bisa didapati sebanyak 29 kata "Pancasila" untuk menekankan kewajiban ormas menganut paham ideologi negara tersebut. Negara bisa membubarkan ormas jika tidak menganut ideologi Pancasila. Selain itu, demi memudahkan kontrol, negara juga tidak memperbolehkan lebih dari satu organisasi dalam satu jenis profesi.
Setelah kekuasaan Soeharto jatuh, negara tak lagi mengatur kebebasan berorganisasi. Meskipun UU No 8/1985 belum dicabut, hingga kini pemerintah tak memiliki kekuatan untuk kembali melaksanakannya. Tiadanya pengaturan tentang keorganisasian masyarakat menjadikan ormas dapat tumbuh subur dan melakukan aksi-aksinya secara bebas. Kekuatan massa menjadi kekuatan politik, bahkan kini politik identik dengan kekuatan massa.
Tiadanya kekuatan politik dominan menjadikan banyak kepentingan kelompok sosial dan ormas yang berkembang menjadi kelompok penekan dan bermain dalam politik umum. Ketiadaan kekuatan politik dominan sebenarnya telah dibuktikan oleh pemilu multipartai 1999 yang memperlihatkan terfragmentasinya kekuatan politik ke dalam politik aliran dan kelompok kepentingan. PartaiDemokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memenangi pemilu pun hanya memperoleh 33,7 persen suara. Kondisi ini berlanjut hingga ke Pemilu 2004 yang memperlihatkan kian lemahnya kekuatan politik dominan ketika pemenang pemilu (Golkar) hanya mendapatkan sekitar 22 persen suara. Gambaran ini memperlihatkan tiadanya mainstream politik yang cukup kuat untuk menahan kian terfragmentasinya kelompok kepentingan dan ormas ke dalam perjuangan politiknya sendiri.
Setelah pemerintahan yang baru terbentuk, situasi demokratis memang sangat terasa mengisi udara kebebasan. Pembubaran Departemen Penerangan, misalnya, menjadi tonggak bersejarah bagi kebebasan pers di negeri ini. Namun, liberalisasi di semua bidang kehidupan hanya berjalan sebentar karena kemudian mulai banyak kepentingan bermain memperebutkan wacana publik. Peran ormas kemudian menjadi sangat penting di dalam panggung politik nasional. Mereka sering kali menjadi kelompok penekan (pressure group) yang efektif dalam memengaruhi kebijakan.
Lemahnya lembaga negara ditandai dengan ketidakkonsistenan kebijakan dan ketidakkompakan antarlembaga negara membuat negara dipandang sebagai ajang perseteruan politik ketimbang sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Negara, pada kenyataannya, tidak mampu menjalankan fungsi pengarahan, koordinasi maupun fasilitasi terhadap kepentingan publik. Lebih sering, bahkan, sesama elite politik berkonflik daripada menyelesaikan konflik di dalam masyarakat.
Sementara itu, di dalam tubuh lembaga legislatif (DPR) terjadi pembusukan akibat kurangnya integritas moral wakil-wakil rakyat. Korupsi menjadi fenomena umum yang menutupi kinerja mereka. Di mata publik, citra mereka tak juga membaik.
Semua ini diperparah dengan bobroknya lembaga hukum. Sejumlah kasus suap yang terungkap menyiratkan betapa menyedihkan situasi yang dihadapi penegakan hukum di Indonesia.
Kondisi lemahnya lembaga-lembaga negara tersebut dan kurang mampunya partai politik yang ada mengartikulasikan kepentingan publik menjadikan politik nasional demikian terbuka terhadap serangan-serangan aktif kelompok penekan. Dalam situasi ini, ormas beserta kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya menjadi terlihat lebih dominan menguasai wacana publik daripada entitas negara. Sejumlah organisasi massa, mulai dari yang bergerak dalam bidang keagamaan, buruh, kedaerahan, hingga pegawai negeri sipil dan birokrat papan bawah (kepala desa), menggalang kekuatan untuk memengaruhi kebijakan politik nasional.
Di tengah kuatnya konflik antarorganisasi dan kelompok masyarakat, negara nyaris tidak memiliki kekuatan sebagai penengah yang cukup disegani untuk menyelesaikan atau mendamaikan perseteruan. Akibatnya, kekuatan antarkelompok masyarakat saling berhadapan dan unjuk kekuatan massa untuk menunjukkan pengaruh politik mereka. Radikalisasi gerakan massa kemudian menjadi fenomena yang melekat dengan ormas agama. Itu tercermin dalam pembahasan sejumlah undang-undang maupun peraturan daerah.
Di samping sejumlah ormas baru yang mendominasi wacana publik, ormas lama masih memainkan peranan penting dalam perjalanan reformasi. Berbeda dengan ormas baru, ormas lama cenderung menancapkan kuku-kukunya di jalur kelembagaan negara sehingga lebih banyak bermain di tataran atas. Pengaruhnya di dalam politik jalanan tak lagi terdengar, namun memiliki kekuatan besar dalam penyelenggaraan negara. Ormas Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), misalnya, lewat elite politiknya menunjukkan pengaruh dominan di antara ormas-ormas lainnya, baik di jajaran eksekutif maupun legislatif. Bahkan, elite politik berasal dari NU, Muhammadiyah, dan GMNI menunjukkan grafik menaik setelah runtuhnya kekuatan Golkar dalam Pemilu 1999.
Dengan melihat komposisi kekuatan ormas-ormas lama yang masih cukup masif menguasai kekuasaan negara, sesungguhnya potensi perdamaian dan kekuatan untuk mengawal demokrasi bisa berasal dari sana.


No comments:

Post a Comment

silakan komentar