Pascakeruntuhan
rezim otoritarian Soeharto sewindu lalu, Indonesia memasuki masa kritis, antara
mengarah pada negara demokrasi atau terjegal menjadi negara pretorian. Lemahnya
otoritas lembaga negara pada masa reformasi menjadikannya lahan yang subur bagi
tumbuhnya organisasi masyarakat dan gerakan politik massa.
Berkembangnya
organisasi masyarakat (ormas) harus dilihat dari dua sisi. Sisi pertama,
sebagai petunjuk tumbuhnya kehidupan demokrasi. Studi di pelbagai negara yang
baru saja mengalami kejatuhan rezim otoriter menunjukkan terjadinya perkembangan
organisasi masyarakat yang sangat pesat. Sisi kedua, pertanda yang bisa menjadi
petunjuk bagi lemahnya lembaga otoritas negara yang memicu munculnya masyarakat
pretorian.
Terdapat,
paling tidak, dua sudut pandang tentang apa yang dimaksud dengan situasi negara
pretorian ini. Keduanya tidak saling bertentangan, tetapi cenderung saling
melengkapi. Pertama adalah definisi yang dipakai oleh ilmuwan politik Amos Perlmutter
dalam bukunya The Military and Politics in Modern Times (1977), yang
menggunakan pretorian dalam pengertian kondisi kepemimpinan suatu negara yang
lemah yang memungkinkan masuknya kembali militer memegang tampuk kekuasaan.
Apabila pemerintahan sipil tidak efektif dan melembaga, badan eksekutif tidak
dapat menguasai atau mengontrol tentara. Maka, keruntuhan kekuasaan eksekutif
merupakan suatu prasyarat bagi tampilnya pretorianisme. Dalam situasi seperti
ini, tentara, berkat kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuatan, dapat
melaksanakan kekuatan politik otonom di dalam masyarakat.
Kedua,
apa yang diulas secara mendalam oleh Samuel P Huntington dalam salah satu
bukunya yang terkenal, Political Order in Changing Societies, yang mengartikan
pretorian secara lebih luas. Bagi Huntington, faktor-faktor penting yang
menyebabkan golongan militer melakukan intervensi bukanlah alasan yang bersifat
militer, melainkan politis, karena lemahnya struktur kelembagaan dan
kesemrawutan politis yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dalam negara
pretorian bukan hanya tentara, tetapi semua kekuatan sosial melakukan
politisasi. Semua jenis kekuatan sosial dan kelompok terlibat secara langsung
di dalam politik umum. Politisasi semua kekuatan sosial tersebut terjadi, menurut
Huntington, khususnya disebabkan tidak terdapat lembaga politik yang efektif
atau, kalaupun ada, lembaga politik itu terlalu lemah untuk mengartikulasikan
kepentingan publik.
Apa
yang menyebabkan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat di
dalam masyarakat pretorian tampak lebih politis ialah karena tidak adanya
lembaga politik yang secara efektif dapat menengahi, menghaluskan, serta
memperlunak aksi politik oleh berbagai kelompok. Di dalam sistem pretorian,
kekuatan-kekuatan sosial bertentangan satu dengan yang lain secara terbuka dan
tidak ada lembaga politik, juga tidak ada korps tokoh politik profesional, yang
diakui dan atau diterima sebagai penengah yang sah untuk melunakkan konflik
antarkelompok masyarakat.
Di
Indonesia pertumbuhan partai politik dan ormas berjalan sangat pesat
pascajatuhnya kekuasaan militeristik Orde Baru. Partai tumbuh dari tiga menjadi
181 dalam kurun waktu kurang dari setahun, sementara pertumbuhan ormas
tampaknya juga ekuivalen dengan partai. Selama tahun 2000-2005, paling tidak
terdapat 118 organisasi profesi, 69 organisasi keagamaan, dan 873 lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri
(Depdagri). Namun, karena terjadinya penurunan kepatuhan kepada pemerintah,
banyak ormas yang tidak mendaftarkan diri ke Depdagri, lembaga yang pada masa Orde
Baru menjadi alat kontrol utama kehidupan keormasan. Seiring melemahnya
kekuatan sosial Politik Depdagri pasca-Orde Baru, jumlah ormas yang terdata di
Depdagri tidak lagi mendekati realitas yang sesungguhnya karena banyak ormas
yang tidak tertarik untuk mendaftarkannya.
Kebebasan
berorganisasi menjadi salah satu fenomena yang dramatis yang muncul bersamaan
dengan bergulirnya gerakan reformasi 1998. Organisasi juga tak lagi kaku seperti
sebelumnya, tetapi lebih bersifat cair dan mudah terbentuk, semudah ia
menghilang.
Memasuki
masa reformasi, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila tak lagi menjadi momok
yang menakutkan. Padahal, pada masa Orde Baru kontrol negara atas ormas menjadi
penghambat bagi tumbuhnya organisasi masyarakat secara bebas. Bahkan, negara
secara ketat mengontrol ideologi ormas sebagaimana negara mengatur partai
politik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
secara eksplisit menunjukkan dominasi yang sangat kuat dari negara atas ormas.
Di dalam isi dan penjelasan UU No 8/1985 tersebut bahkan bisa didapati sebanyak
29 kata "Pancasila" untuk menekankan kewajiban ormas menganut paham
ideologi negara tersebut. Negara bisa membubarkan ormas jika tidak menganut
ideologi Pancasila. Selain itu, demi memudahkan kontrol, negara juga tidak
memperbolehkan lebih dari satu organisasi dalam satu jenis profesi.
Setelah
kekuasaan Soeharto jatuh, negara tak lagi mengatur kebebasan berorganisasi.
Meskipun UU No 8/1985 belum dicabut, hingga kini pemerintah tak memiliki
kekuatan untuk kembali melaksanakannya. Tiadanya pengaturan tentang
keorganisasian masyarakat menjadikan ormas dapat tumbuh subur dan melakukan
aksi-aksinya secara bebas. Kekuatan massa menjadi kekuatan politik, bahkan kini
politik identik dengan kekuatan massa.
Tiadanya
kekuatan politik dominan menjadikan banyak kepentingan kelompok sosial dan
ormas yang berkembang menjadi kelompok penekan dan bermain dalam politik umum.
Ketiadaan kekuatan politik dominan sebenarnya telah dibuktikan oleh pemilu
multipartai 1999 yang memperlihatkan terfragmentasinya kekuatan politik ke
dalam politik aliran dan kelompok kepentingan. PartaiDemokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) yang memenangi pemilu pun hanya memperoleh 33,7 persen
suara. Kondisi ini berlanjut hingga ke Pemilu 2004 yang memperlihatkan kian
lemahnya kekuatan politik dominan ketika pemenang pemilu (Golkar) hanya
mendapatkan sekitar 22 persen suara. Gambaran ini memperlihatkan tiadanya
mainstream politik yang cukup kuat untuk menahan kian terfragmentasinya
kelompok kepentingan dan ormas ke dalam perjuangan politiknya sendiri.
Setelah
pemerintahan yang baru terbentuk, situasi demokratis memang sangat terasa
mengisi udara kebebasan. Pembubaran Departemen Penerangan, misalnya, menjadi
tonggak bersejarah bagi kebebasan pers di negeri ini. Namun, liberalisasi di
semua bidang kehidupan hanya berjalan sebentar karena kemudian mulai banyak
kepentingan bermain memperebutkan wacana publik. Peran ormas kemudian menjadi
sangat penting di dalam panggung politik nasional. Mereka sering kali menjadi
kelompok penekan (pressure group) yang efektif dalam memengaruhi kebijakan.
Lemahnya
lembaga negara ditandai dengan ketidakkonsistenan kebijakan dan ketidakkompakan
antarlembaga negara membuat negara dipandang sebagai ajang perseteruan politik ketimbang
sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Negara, pada kenyataannya, tidak mampu
menjalankan fungsi pengarahan, koordinasi maupun fasilitasi terhadap
kepentingan publik. Lebih sering, bahkan, sesama elite politik berkonflik
daripada menyelesaikan konflik di dalam masyarakat.
Sementara
itu, di dalam tubuh lembaga legislatif (DPR) terjadi pembusukan akibat
kurangnya integritas moral wakil-wakil rakyat. Korupsi menjadi fenomena umum
yang menutupi kinerja mereka. Di mata publik, citra mereka tak juga membaik.
Semua
ini diperparah dengan bobroknya lembaga hukum. Sejumlah kasus suap yang
terungkap menyiratkan betapa menyedihkan situasi yang dihadapi penegakan hukum
di Indonesia.
Kondisi
lemahnya lembaga-lembaga negara tersebut dan kurang mampunya partai politik yang
ada mengartikulasikan kepentingan publik menjadikan politik nasional demikian
terbuka terhadap serangan-serangan aktif kelompok penekan. Dalam situasi ini,
ormas beserta kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya menjadi terlihat lebih
dominan menguasai wacana publik daripada entitas negara. Sejumlah organisasi
massa, mulai dari yang bergerak dalam bidang keagamaan, buruh, kedaerahan,
hingga pegawai negeri sipil dan birokrat papan bawah (kepala desa), menggalang
kekuatan untuk memengaruhi kebijakan politik nasional.
Di
tengah kuatnya konflik antarorganisasi dan kelompok masyarakat, negara nyaris
tidak memiliki kekuatan sebagai penengah yang cukup disegani untuk
menyelesaikan atau mendamaikan perseteruan. Akibatnya, kekuatan antarkelompok
masyarakat saling berhadapan dan unjuk kekuatan massa untuk menunjukkan
pengaruh politik mereka. Radikalisasi gerakan massa kemudian menjadi fenomena
yang melekat dengan ormas agama. Itu tercermin dalam pembahasan sejumlah
undang-undang maupun peraturan daerah.
Di
samping sejumlah ormas baru yang mendominasi wacana publik, ormas lama masih
memainkan peranan penting dalam perjalanan reformasi. Berbeda dengan ormas
baru, ormas lama cenderung menancapkan kuku-kukunya di jalur kelembagaan negara
sehingga lebih banyak bermain di tataran atas. Pengaruhnya di dalam politik jalanan
tak lagi terdengar, namun memiliki kekuatan besar dalam penyelenggaraan negara.
Ormas Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), misalnya, lewat elite politiknya
menunjukkan pengaruh dominan di antara ormas-ormas lainnya, baik di jajaran
eksekutif maupun legislatif. Bahkan, elite politik berasal dari NU,
Muhammadiyah, dan GMNI menunjukkan grafik menaik setelah runtuhnya kekuatan
Golkar dalam Pemilu 1999.
Dengan
melihat komposisi kekuatan ormas-ormas lama yang masih cukup masif menguasai
kekuasaan negara, sesungguhnya potensi perdamaian dan kekuatan untuk mengawal
demokrasi bisa berasal dari sana.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar