foto dokumentasi menjadi muhafiz di madrasah hafiz quran (MHQ) Baruga AQL SULSEL |
DIDIK MEREKA MEMULIAKAN NASH
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Fasihnya anak membaca ayat memang tak dapat
ditawar. Kita harus ajarkan ini dengan sebaik-baiknya semenjak masa-masa awal
mereka belajar seraya terus-menerus menjaga dan meniperbaiki di masa-masa
berikutnya. Tetapi kita tidak boleh lalai hal yang lebih mendasar, yakni adab
terhadap nash yang bersumber dari
kitabullah (al-Qur’an) maupun as-Sunnah ash-shahihah.
Harus ada keyakinan yang kuat dan utuh terhadap nash. Harus ada penghormatan serta ketundukan terhadap nash,
sehingga setiap kali mengetahui pendapat kita bertentangan dengan nash, maka kita segera meninggalkan
pendapat kita. Dan inilah hal mendasar yang harus kita tanamkan pada jiwa anak-anak
kita.
Sebelum kita akrabkan mereka dengan
al-Qur’an lalu menghafalkannya, kita tanamkan terlebih dulu penghormatan
terhadap al-Qur’an dan as-sunnah. Kita tumbuhkan keyakinan dalam diri mereka
bahwa sebaik-baik perkataan adalah kalamullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah as-sunnah
ash-shahihah.
Keyakinan yang kuat dan utuh bermakna
bahwa kita yakin sepenuhnya terhadap nash
tanpa memerlukan penguat yang bernama hasil penelitian modern maupun pendapat
para pakar yang justru hidupnya bertenrangan dengan al-Qur’an. Jika pun ada
temuan dalam ilmu pengetahuan modern yang tampak bersesuaian dengan sebagian nash, maka ia bukanlah penguat dari
kebenaran nash. Kita bisa saja merasa
kagum, tetapi ia tidak dapat menjadikan kita serta merta meyakini apa yang
darang dari ilmu pengetahuan modern tersebut. Justru ia harus diuji oleh nash berdasarkan tafsir atau syarah yang
dapar dipercaya, karena apa yang tampaknya sama boleh jadi justru sangar berbeda.
Jika terhadap apa-apa yang tampaknya dapat
memperkuat keyakinan terhadap dalil (nash)
saja kita perlu berhati-hati maka terlebih lagi amat tidak patut kita mencari-carikan
nash yang kira-kira bersesuaian agar
orang mudah menerima pendapat atau keyakinan yang tampak hebat. Sungguh ini
dapat menjadi sebab munculnya fitnah syubhat,
yakni kerusakan keyakinan dalam masalah dien.
Contohnya, mengait-ngaitkan Hadits terhadap law
of attraction (hukum daya tarik). Ini merupakan perkara yang disangkakan
sebagai ilmu pengetahuan, padahal sebenarnya merupakan salah satu keyakinan
dalam New Age Movement (NAM); gerakan
paganisme baru atau menganggap titik di otak yang disebut God Spot sebagai fitrah, padahal pencerus istilah itu adalah
seorang atheis dan penelitian tidak terkait dengan masalah ketuhanan an sich.
Sikap dasar terhadap nash ini tak terkait langsung dengan mutu pembelalaran, tapi ia
berhubungan erat dengan ketundukan diri anak terhadap segala yang datang dari al-Qur’an
dan as-sunnah. Jika anak memiliki penghormatan yang besar terhadap nash, maka ia akan lebih mudah mengikuti
apa yang digariskan oleh nash. Ia
juga belajar menundukkan pikirannya terhadap nash. Dan ini merupakan hal yang sangat menentukan kehidupan anak
selanjutnya.
Sesungguhnya, yang harus kita bekalkan
kepada anak sebelum mereka belajar al-Qur’an lebih banyak adalah iman dan sikap
terhadap nash. Jika hanya halal,
bukankah Abu Muhammad al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi pun seorang penghafal
al-Qur’an. Bahkan ia orang yang berjasa menambahkan titik pada huruf al-Qur’an
yang bentuknya sama tapi cara bacanya beda, sehingga hari ini kita lebih mudah
membaca al-Qur’an. Tetapi itu tidak cukup untuk melunakkan hatinya. Sungguh
catatan sejarah tidak akan pernah terhapus tentang betapa kejamnya Al-Hajjaj.
Betapa banyak yang bersyukur saat kabar kematiannya terdengar.
Pada awalnya, penghormatan itu bersifat
fisik. Ini proses yang lebih mudah untuk memberi pengalaman kepada anak. Tetapi
ini harus disertai, pada saat yang sama, dengan menumbuhkan rasa hormat
terhadap nash. Kita ajak mereka untuk
mengingat betapa berbedanya sikap Imam Malik rahimahullah manakala beliau hendak menyampaikan Hadits, meski cuma
satu dengan ketika beliau hendak menyampaikan perkara lainnya. Kita juga dapat
menunjukkan kepada anak-anak bagaimana seharusnya bersikap terhadap mushaf
al-Qur’an. Bermula dan perlakuan yang penuh hormat, perilaku fisik yang tepat
serta sikap yang memuliakan al-Qur’an, kita sungguh-sungguh berharap mereka
kelak juga memiliki penghormatan yang sangat tinggi terhadap nash pada saat harus memecahkan masalah
dan mengambil petunjuk hidup.
Penghormatan terhadap al-Qur’an dan Hadits
ini harus satu rangkaian dengan mengakrabkan mereka terhadap keduanya.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
MENGIMANI NASH
Tak ada artinya penghormatan tanpa mengimani
apa-apa yang datang dari al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah. Saya telah membaca berbagai buku yang ditulis orang kafir dan
di dalamnya terdapat nukilan dan perkaraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau al-Qur’an. Mereka mengambilnya, tetapi
bukan menjadikannya sebagai sumber kebenaran yang diimani. Mereka hanya
mengambil sebagai kaca mutiara.
Di sejumlah sekolah, kita kadang melihat
kutipan terjemah al-Qur’an mengiringi kaca mutiara dari sekian banyak orang.
Kutipan terjemah ini hanya menjadi salah satu saja. Ironisnya kata mutiara lain
bukan penguat agar murid mencintai al-Qur’an, melainkan kalimat yang tidak saling
terkait isinya. Ini tampaknya baik tetapi justru menjadikan penghormatan anak
terhadap al-Qur’an surut dan keimanannya terhadap nash melemah.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Maka, hal penting yang harus menjadi perhatian
kita semenjak awal anak masuk sekolah adalah menumbuhkan keimanan mereka kepada
nash. Mengimani rasul berarti
mengimani apa-apa yang benar-benar diucapkan oleh beliau. Itu sebabnya dalam
perkara Hadits, kita ajak anak-anak untuk senantiasa memastikan apakah Hadits
tersebut dapat diterima ataukah tidak. Ini berbarengan dengan menanamkan
kehati-hatian dalam diri mereka agar tidak gegabah menyandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terkait mengimani Allah subehanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, mari
kita ingat sejenak firman Allah, “Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah bariman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu
telah sesat sejauh-jauhnya” (An-Nisa’ (4): 136).
RUJUK KEPADA NASH
Betapa banyak orang yang tahu betul
kebenaran al-Qur’an dan Hadits, tapi berat baginya menerima, mengakui dan
mengikuti. Di antara sebab beratnya diri mengikuti nash adalah karena ia telah sedemikian yakin pada apa yang disebut
temuan ilmiah, atau perkataan tokoh yang telanjur amat ia kagumi, atau sebab
lain. Sikap yang ditunjukkan oleh para ulama terdahulu mengajarkan kepada kita
betapa perlunya mendidik diri untuk setiap saat siap rujuk kepada nash, yakni meralat pendapar sendin karena
mengetahui bertentangan dengan nash.
Mari kita ingat sejenak perkataan Imam
Syafi’i rahimahullah, ”Jika terdapat hadits yang sahih, maka
lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas
jalan maka itulah pendapatku”.
Sejajar dengan sikap ini adalah
menumbuhkan dalam diri mereka kejujuran ilmiah sebagai bagian dari adab
terhadap nash. Salah bentuknya adalah
tidak segan-segan berkata “saya tidak” jika memang tidak mengetahui. Bukan
bersibuk-sibuk mencari dalil agar tampak berilmu.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Pertanyaannya, sudahkah sikap semacam ini
kita tumbuhkan pada diri anak-anak kita di sekolah?
No comments:
Post a Comment
silakan komentar