Pages

Friday, 30 March 2018

MEMBANGUN HARAPAN DI TENGAH KONFLIK


Konflik yang (telah dan dulu) terjadi di berbagai tempat di negara-negara Islam terus terjadi, walaupun tidak bersamaan kejadiannya. Namun sepanjang abad 21 ini, banyaknya konflik telah merusak citra Islam di negara-negara Arab.
Konflik merupakan buah dari keegoisan pribadi dan kelompok. Konflik adalah jalan terburuk yang dipilih oleh kelompok elit yang tamak akan kekuasaan. Para tokoh elit ini, baik dari kelompok dalam negara ataupun konspirasi negara-negara besar dari luar. Negara tempat konflik saling berebut dan mempertahankan pengaruhnya.
Terbaru ini jaringan berita Al Masdar News Network, Rabu (28/2/2018) WIB, melaporkan Lewat sebuah serangan malam, Ghouta timur di serang. Hujan roket menghantab banyak menelan korban. Setiap pilihan ada konsekuensinya dan konsekuensi dari terjadinya konflik adalah korban dari rakyat. Rakyat yang kebanyakan keluarga yang tidak ikut konflik, khususnya anak-anak. Dalam Unicef, sejak pecah perang 5 tahun lalu di Suriah ada 8,2 juta anak, baik di luar maupun di dalam negeri membutuhkan bantuan.
Merekapun sebagian mengungsi ke berbagai negara dan sebagian lagi bertahan. Yang menarik di tengah konflik ini adalah mereka tak berputus asa, mereka justru optimis sambil merangkai harapan. Hal ini bisa dilihat dari laporan para wartawan yang mewawancarai para pengungsi Suriah.
“Ada sekitar 600.000 pengungsi Suriah di Jordania (sekitar 89%) yang memilih untuk hidup di luar kamp pengungsi. Apa yang membuat para pengungsi ini enggang tinggal di kamp? Padahal jika tinggal di kamp pengungsi, semua fasilitas itu bisa diperoleh secara gratis.” Karena mereka merasa kamp seperti penjara, mereka seperti tidak memiliki kehidupan normal. Jika peran berakhir, mayoritas dari mereka ingin kembali ke Suriah, mereka ingin membangun kembali negaranya. (Unicef Jedah).
Dalam artikel yang ditulis Watkins yang berjudul “Bocah-bocah Suriah dan janji-janji yang belum ditepati”, yang dimuat di al-jazirah.net menyebutkan seorang bocah pengungsi Suriah ditanya apa cita-citanya. Ia menjawab ingin menjadi arsitek bangunan. Mengapa arsitek?, ditanya balik. Ia menjawab lagi dengan polos “Suatu saat saya ingin kembali ke Suriah, saya ingin membangun kembali negara saya”.
Meskipun berada di tempat pengungsian yang serba terbatas atau di luar tempat pengungsian, meraka tetap terus berharap. Mungkin hal yang tersisa dari korban konflik apapun itu adalah harapan. Harapan akan optimism menatap masa depan. Yakin akan janji Allah “Setelah kesulitan adan kemudahan”. Bukankah kian gelapnya malah menandakan matahari akan segera terbit? Seperti itu pula hikmah dari konflik yang terus terjadi di dunia Islam. Konflik apapun itu, baik dari pribadi maupun kelompok dan antar kelompok, baik fisik maupun akidah. Semuanya akan berakhir, seburuk apapun kondisinya.
Maka dengan keyakinan itu, seorang muslim haruslah tetap optimis dalam menjalani hidup. Konflik yang terjadi merupakan ujian kaum muslim untuk mengamalkan keyakinan ini. Keyakinan yang diaplikasikan dengan akhlak dan perbuatan ini telah dicontohkan oleh Rasulullah ketika pada masa-masa berat kaum muslimin.
Ketika itu, kaum muslimin diboikot tidak mendapatkan makanan. Sedang di luar dan di dalam Madinah, mereka diserang oleh persekutuan orang kafir dan Yahudi. Dengan kondisi kelaparan dan panas, Rasulullah dan sahabat harus menggali parit yang dalam untuk menghalau serangan musuh dari luar.
Dari sinilah Rasulullah membangun harapan para sahabat akan kemenangan dan kejayaan di masa depan, yaitu penaklukan imperium besar Romawi dan Persia. Mungkin terdengar tidak masuk akal, namun takdir Allah melalui sejarah tertulis, harapan tersebut telah terbukti.
Maka di siniah umat Islam di abad ini, haruslah optimis untuk terus bangkit dari keterpurukan. Konflik yang terjadi, baik serangan dari dalam kaum muslimin maupun serangan dari luar kaum muslimin haruslah menjadi pembelajaran kita bersama. Pembelajaran tentang persatuan, bersatu membangkitkan kejayaan Islam yang pernah ditulis dengan tinta emas sejarah. Kini saatnyalah kebangkitan Islam kita wujudkan. Wallahu a’lam.



AQC Bogor, 24 November 2017
Di pertengahan malam
Ketua Komunitas Menulis BEM
Ar-Rahman Quranic College Bogor
Muhammad Abid Fausan, S.Pd.I.
tulisan ini di perbaharui 27/3/2018

No comments:

Post a Comment

silakan komentar