Pengantar abidmenulis : makalah ini punya sesorang yang tersave di laptop ana jadi ini postingan hanya berbagi. dan beberapa makalah milik akh muh ikhsan ini akan ana postingan selanjutnya
DULU DAN SEKARANG
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif
Oleh:
Muhammad
Ikhsan
7105090722
Dosen:
DR. Ramli Hutabarat. M.Hum.
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
KEKHUSUSAN KAJIAN ISLAM
2006
HUKUM ISLAM DI INDONESIA ;
DULU DAN SEKARANG
Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia
adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat
Islam Indonesia
bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam
satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk
memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam
terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh
kemayoritasan kaum muslimin Indonesia
itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab
dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam
secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah
hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan
juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat
menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu
menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang
dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan
ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah
hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini
dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan
agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian akhir
tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya
dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa yang Penulis sebut dengan-
“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Wallahu a’la wa a’lam!
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut
sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar
abad ketujuh dan kedelapan masehi.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan
nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai
titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan
dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh
Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan
ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.[2]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke
berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri
menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh
berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram
dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan
Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat
dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum
positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap
kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah
berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan
dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama
nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para
pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan
nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di
Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi
dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini
sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC
sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping
menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum
Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu
menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima
hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk
pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[4]
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa
“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia
yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan
Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku
di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang , Cirebon , Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum
Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat
kaidah-kaidah hukum pidana Islam.[5]
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung
bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada
Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai
gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan
terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha
keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan
rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan
dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara
untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama
Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya
pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[6]
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan
keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah
sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik
Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali
dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia
dengan hukum Belanda.[7]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem , Pemerintah
Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama
tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa
terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum
Belanda.[8]
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk
meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus
kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama
Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain
oleh sesuatu ordonasi.[10]
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada
tahun 1942.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa
syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8
Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan.
Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan
bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang
oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja
berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi
terakhirnya di masa pendudukan Belanda.[11]
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap
melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia.
Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin
oleh bangsa Indonesia
sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo,
pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya
ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan
menundanya hingga Indonesia
merdeka.[13]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi
posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun
bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi
adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah
keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan
pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para
pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa
Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia
yang dapat dimanfaatkan.[14]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman
baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan
semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian
membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai
mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada
para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia .
Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk
memimpin Indonesia
masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara,
seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945,
komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang
mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat
menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan
yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota
badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia ”.[16]
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI
kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat
kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai
negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[17]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah
implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan
Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya
gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut
berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad
Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta
mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang
pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima
–satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal
tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan
itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary
–bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya-
telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.[18]
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam
tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
Kejadian
mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan
sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada
cita-cita umat Islam.[19]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi
Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima
tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa
revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu,
Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,
Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia , dimana ia kemudian
mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia .
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak
lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia
Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945
dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu
dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika
ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung
aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak
menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh
BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh
faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan
Deklarasi HAM versi PBB.[20]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya
tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur,
salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian
dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga
negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat
membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi
1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan
dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam,
perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan
posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD
Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD
1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara
terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga
pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan
keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950
ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud
peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102
UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh
wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang
Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat
“hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang
Perkawinan Nasional.[23] Dan setelah itu, semua tokoh politik
kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru,
karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950
itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[24]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian
diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante
pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik
oleh Presiden Soekarno pada 10
November 1956 . Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa
kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada
tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit
ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi
tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam
dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen
historis”.[25] Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi?
Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan
kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh
daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya
beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini.
Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo
dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara
Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi
kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung
dengan Republik Indonesia .
Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi
Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah
kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada
tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat
25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan
oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam
mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar
–apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26]
Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde
Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era
ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai
yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada
tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat
pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol
Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI[28] kemudian menyusun komposisi DPR Gotong
Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian
menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum
yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia .[29]
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum
yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut
membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun
lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur.
Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang
semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan
berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh
harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya
dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru
membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno.
Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan
UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan
menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.[30] Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber
hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya
untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H.
Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat
fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan
dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya
UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan
peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya
–menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang
berdiri sendiri.[31]
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas
ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian disusul dengan
usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang
tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988,
Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan
penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[33]
Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan
bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia .
Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam
mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang
berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum.[34]
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas,
upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan
peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya
adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang
yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia . Kita
dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru
yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan
sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[35]
Penutup
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi
turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat
Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan
dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas
dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan
menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa
perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan
berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam
menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya
akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan
dengan kema’rufan Islam.[36]
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang
selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan
kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan
daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem
demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu
tujuan dan cita-cita.
Wallahu a’lam.
Cipinang Muara, 19 September 2006
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam
Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta , Oktober 1998.
3. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar
Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem
Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia
(Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember
2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.
[1] Sebagaimana disebutkan dalam Ramly
Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan
Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61. Sementara itu Bahtiar
Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada
akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan
pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran
waktu tersebut. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta , Oktober 1998,
hal. 21.
[4] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam
dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia , op.cit.,
hal. 63-64.
[10] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam
dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia , op.cit.,
hal. 72. Sebagaimana terlihat dengan jelas bahwa perubahan ini juga sangat
dipengaruhi oleh Teori Receptio Snouck Hurgronje.
[12] Mengenai apakah Masyumi versi
ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari, lihat Bahtiar Effendy,
Islam dan Negara, op.cit., hal. 93, catatan kaki no.105.
[13] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam
dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia , op.cit.,
hal. 76-79.
[14] Daniel S.Lev, Islamic Courts in
Indonesia, hal. 34, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara, op.cit., hal. 83.
[15] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit.,
hal. 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir,
H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini
didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta : Yayasan Prapanca, 1959, hal. 60.
Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, hal.
85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan pada
pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di
Konstituante, jilid III. Bandung :
Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hal. 35.
[17] Ibid., hal. 89-90. Titik kompromi lain juga
terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang
haruslah “orang Indonesia
asli dan beragama Islam.”
[19] Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia ,
tanpa tahun, hal. 325, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara, op.cit., hal. 91.
[26] Karl. D. Jackson , Traditional Authority, Islam, and
Rebellion, hal. 10, sebagaimana dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara, hal. 96-97.
[27] Ini adalah manifesto politik yang terdiri
dari (1) kembali ke UUD 1945; (2) sosialisme Indonesia : (3) demokrasi terpimpin:
(4) ekonomi terpimpin; dan (5) kepribadian Indonesia . Lih. Bahtiar Effendy, Islam
dan Negara, op.cit., hal. 110.
[32] Lihat beberapa alasan diterimanya UU ini
dalam Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit, hal. 163-164.
[33] Ibid., hal. 156-157. Kompilasi ini terdiri
dari tiga buku: (1) tentang Hukum Perkawinan, (2) tentang Hukum Kewarisan; dan
(3) tentang Hukum Perwakafan.
[34] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan
Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang
Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September
2000.
[36] Lih. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya
Syari’ah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56,
tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar