Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka.
Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi) .
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan) .
Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan) . Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah
dan melakukan refleksi).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthropocentris dan theocentris. Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan.
Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan.
Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan. Pendidikan bukan hanya itu.
Dalam artikel yang berjudul “Sekolah dan manusia mandiri “ olehOleh Porat Antonius * GORDON Dryden dan Jeanette Vos (2002) serta banyak pakar futuristik lainnya mengatakan bahwa pada abad ke-21 hampir 90% manusia menjadi pekerja mandiri atau manajer mandiri. Pada waktu itu banyak pekerjaan akan diambil alih teknologi yang bekerja sesuai selera pemiliknya. Kalaupun ada manajer yang membutuhkan pembantu, yang dibutuhkannya adalah yang mandiri juga. Kini ramalan itu semakin nyata.
Bila kita membolak-balik dokumen di negeri ini sebenarnya gagasan manusia mandiri sebagai tujuan pembangunan umumnya dan tujuan pendidikan di sekolah khususnya tidak baru, apalagi asing. Sejak dari doeloe hingga kini semua dokumen menyertakan kemandirian sebagai tujuan akhir pembangunan dan sekolah. Itu artinya dari sudut pandang cita-cita, bangsa ini tidak tertinggal, tidak akan tertinggal, dan siap dengan tuntutan kehidupan abad ke-21 dan abad-abad selanjutnya.
Itu sisi yang satu dan hingga di sini kita patut berbesar hati. Di sisi lain, dengan menengok hasil belajar di sekolah selama ini, rasanya beralasan untuk cemas. Output sekolah di negeri ini masih berhasil dengan angka pas-pasan dan masih sebatas sebagai pencari kerja, dan lebih celaka lagi hanya mau bekerja di kantor. Belum ada tanda-tanda untuk lulus dengan nilai yang meyakinkan, apalagi menjadi pekerja mandiri yang merdeka. Wajah mutu pendidikan yang tidak memandirikan juga akan semakin tampak jelas dengan memandang penyakit busung lapar, kelaparan yang terus terjadi di atas bumi Indonesia yang alamnya kaya raya. Dengan singkat bisa dibilang, dari sisi kemandirian kita belum merdeka dan kemerdekaan itu rasanya masih jauh.
Wajah bopeng pendidikan seperti di atas paling tidak menggambarkan dengan jelas tentang adanya gap antara cita-cita yang tertuang dalam dokumen dengan praksis di sekolah. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan pula bahwa sekolah sudah berkarya tetapi karyanya itu belum berarti banyak untuk menghasilkan manusia mandiri seperti cita-cita.
Ada apa dengan sekolah? Sejarah mencatat bahwa upaya mencari pembelajaran yang memandirikan sudah lama bergulir. Sekitar tahun 70-an muncul gagasan pembelajaran menggantikan pengajaran. Dengan itu diharapkan sekolah berubah menjadi tempat belajar, bukan tempat mengajar atau diajar. Kemudian, tidak lama berselang, muncul lagi CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang artinya belajar itu harus aktif dan siswalah yang aktif belajar, bukan guru yang aktif mengajar. Ini diharapkan membawa perubahan berarti. Ternyata tidak. Tidak puas dengan CBSA, kemudian muncul lagi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, danMenyenangkan) yang artinya belajar aktif saja tidak cukup, tetapi belajar itu juga harus kreatif, efektif dan menyenangkan. Bersamaan dengan itu muncul satu lagi yakni CTL (Contextual Teaching-Learning) yang mengatakan bahwa belajar yang ideal itu harus terjadi dalam satu konteks pemecahan masalah.
Kiat-kiat itu memang mengubah. Tetapi yang berubah adalah kata atau istilah. Ya, minimal, semua buku mengganti kata pengajaran dengan pembelajaran. Semua orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mengenal dan dengan getol mengucapkan CBSA, kemudian ketika muncul PAKEM semua ikut koor menggunakan kata PAKEM. Demikian pula ketika CTL muncul semua ikut mengucapkan CTL.
Sayangnya, selama ini rupanya perubahan berhenti di situ, sampai pada berkata-kata. Wajah pendidikan kita yang tidak memandirikan, yang tidak menyiapkan generasi muda untuk hidup pada abad ke-21 masih seperti yang dulu-dulu juga. Maka tepatlah bila siswa diajak berkoor dan bernyanyi , "Aku masih seperti yang dulu." Bila hanya sanggup hingga di situ saja, tak perlu heran karena negeri ini penuh dengan orang, baik awam maupun yang bergerak dalam bidang agama, yang pandai berkata-kata atau menyuruh orang lain berbuat sementara sendiri enggan.
Melihat bahwa kita masih seperti dulu, sama seperti sebelum gagasan-gagasan itu diperkenalkan, tidaklah berarti bahwa gagasan pembelajaran, CBSA, PAKEM atau CTL-lah yang keliru total. Semua gagasan itu pada galibnya dapat memandirikan manusia Indonesia. Yang kurang pada gagasan itu dalam arti untuk memandirikan siswa adalah bahwa semua cara itu digunakan guru sebatas teaching and learning to know apa yang sudah diketahui orang dewasa. Siswa belajar apa yang sudah diketahui atau yang sudah ditulis dalam buku, siswa aktif mencari tahu yang sudah diketahui dan siswa aktif mencari kembali di lingkungannya persis yang seperti yang ditulis buku. Demikian pula nasib belajar yang menyenangkan yang diterjemahkan secara sempit sebagai tepuk tangan, bernyanyi bersama, atau paling banter belajar sambil bermain tentang apa yang sudah diketahui guru atau yang sudah ada dalam buku. Selain itu, dan ini yang paling pokok, siswa tidak belajar mandiri. Mereka memang belajar aktif, kreatif dan menyenangkan tetapi semua itu berada di bawah bayang-bayang kendali guru sepenuhnya dan seratus persen kebenaran ditakar menurut ukuran guru atau buku guru.
Keadaan ini mengajak sekolah untuk merangkak lebih dari bahkan keluar dari sekedar learning to know dengan ber-CBSA, ber-PAKEM, ber-CTL. Kita harus mulai dengan pembelajaran yang berorientasi mandiri yang memerdekakan. Mulai dari mana?
Yang pertama yang harus digusur adalah pandangan dasar tentang anak dan tentang belajar, yang berujung pada pengubahan cara pandang tentang guru danmengajar. Hingga kini pada tingkat sekolah, guru, kepala sekolah, dan pengawas masih berpandangan bahwa anak adalah manusia muda yang tidak tahu apa-apa. Mereka ke sekolah untuk mencari ilmu dan ilmu itu harus diisi atau diberitahu guru dengan pengetahuan dan dengan ukuran kebenaran guru berdasarkan bukunya saja.
Dengan dasar pandangan itu maka hingga kini pembelajaran sepenuhnya dikendalikan guru (teaching and teacher centris). Siswa belajar apa, kapan, dengan apa, dengan siapa diatur guru melalui contoh guru atau buku dan tugas siswa hanyalah meniru. Demikian pula dengan target kurikulum dan ujian. Apa yang harus dicapai dan kapan ujian, dengan cara apa ujian berlangsung sepenuhnya berada pada tangan sang guru yang mahakuasa lagi menganggap diri mahatahu. Yang tidak ikut guru dihukum, termasuk siswa yang terlambat atau bolos karena tidak suka gurunya juga dihukum juga berdasarkan ukuran guru. Dalam situasi ini, hak siswa satu-satunya adalah tunduk menyembah.
Pandangan seperti itu di lapangan masih sangat-sangat kuat. Inilah yang harus diubah. Mulai sekarang anak harus dipandang sebagai manusia yang dikarunia potensi untuk menghadapi berbagai tipe kehidupan, entah keras, entah lunak. Bila Tuhan memberikan potensi yang begitu hebat bada satu biji kacang kecil untuk bisa tumbuh, menghasilkan batang, daun, akar untuk hidup di mana saja, dan potensi untuk menghasilkan begitu banyak kacang lain, serta memecahkan masalah yang dihadapinya, maka mestinya Tuhan memberikan lebih pada anak manusia. Itu pasti.
Demikian juga tentang belajar. Bila pada masa silam belajar itu sama dengan learning to know yang sudah diketahui, menemukan yang sudah ditemukan. Mulai sekarang belajar itu lebih dari sekadar learning to know. Belajar itu harus sampai pada menghasilkan pengetahuan (sama dengan yang tertulis dalam buku syukur, dan lebih syukur lagi bila berbeda karena dari sanalah akan bersemi kemajuan dan kemandirian) dan membangun kecakapan hidup (life skill). Yang berhasil seperti itu adalah orang yang menari di ladangnya sendiri. Sedangkan yang bangga karena berhasil menghafal buku atau yang ditemukan orang adalah orang yang menari di ladang orang, yaitu bangga di atas karya orang lain. Kemudian sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar. Satu kampung merupakan tempat belajar yang lain. Dengan demikian, guru tidak lagi akan merasa diri sebagai segala-galanya karena masih ada orang sekampung hingga sejagat sebagai narasumber.
Pengubahan cara pandang tentang belajar dengan sendirinya akan mengubah cara pandang guru dan masyarakat tentang tugas guru. Hingga kini bagi kebanyakan guru, tugas mereka di sekolah adalah mengajar dan mengajar itu diartikan secara sempit sebagai ngomong katanya untuk menjelaskan terus dari pagi hingga petang sampai mulut mereka lejor dan lejer (bahasa Manggarai di Flores yang sama artinya dengan bentuk bibir yang tidak beraturan). Bagi mereka bila tidakngomong dengan jangar (bahasa Manggarai: berbicara dengan suara keras) sama artinya dengan tidak mengajar dan tidak menjalankan tugas sebagai guru. Masyarakat juga masih melihat tugas guru seperti itu. Kalau guru lebih banyak diam dalam arti memberikan peluang bagi siswa untuk memecahkan masalah sendiri dengan cara sendiri dianggap tidak bekerja dan guru dicap sebagai makan gaji buta.
Yang seperti itu harus ditinggalkan. Guru adalah fasilitator. Tugas guru atau orang dewasa pada umumnya hanyalah memberikan kemerdekaan bagi anak atau siswa untuk bertumbuh dan berkembang sesuai cara anak itu sendiri dalam menghadapi hidupnya. Tugas guru lain adalah menyediakan fasilitas dan bantuan sesuai dengan masalah yang dihadapi anak. Bila diterjemahkan ke dalam pembelajaran selama bersekolah, maka tugas guru adalah menyediakan buku, narasumber, alat yang dibutuhkan minimal sesuai tuntutan kurikulum, dan membantu siswa yang mengalami kesulitan seperti menyingkirkan batu yang menghambat akar dalam mencari jalan merambat sesuai kebutuhan dan kemampuannya dan itu pun bila siswa sendiri saja tidak sanggup. Dalam hal terakhir ini bantuan berupa contoh arahan atau penjelasan diperlukan tetapi tidak untuk semua anak dan semua hal.
Bila kita sudah keluar dari cara pandang seperti itu sebenarnya kita sudah masuk ke satu model pembelajaran yang memandirikan yang dikenal dengan nama self-directed learning (pembelajaran mandiri). Dalam pembelajaran ini siswa mengatur sendiri waktu belajar, bebas mengatakan apa yang diperolehnya sesuai dengan kondisinya, memilih sumber-sumber belajarnya, memilih dan menetapkan strategi belajar (apakah belajar bersama teman atau dengan guru), menentukan blok atau target belajar sendiri, bahkan mengevaluasi diri apakah ia sudah mampu dalam hal tertentu atau belum. Dalam situasi ini tugas guru adalah menyediakan standar atau kompetensi dasar dengan indikator terukur, spesifik, dan bervariasi sesuai tuntutan kurikulum (dalam istilah kurikulum baru) kemudian mendampingi siswa, menolongnya bila perlu untuk mencapai lebih dari target minimal kurikulum. Bila siswa sudah menyatakan diri siap untuk diuji maka tugas guru selanjutnya adalah merekomendasinya untuk diuji baik oleh guru sendiri maupun oleh lembaga independen lainnya.
Di negeri ini, self-directed learning sudah diperkenalkan. Mula-mula diperkenalkan kepada mahasiswa yang memilih belajar jarak jauh seperti UT awal tahun 90-an. Kemudian sejak tahun 2004 diperkenalkan kepada mahasiswa reguler atau mahasiswa tatap muka. Sedangkan pada jenjang pendidikan yang lebih rendah belum ada yang berani mencoba karena masih kuat anggapan bahwa yang mandiri hanyalah orang dewasa karena kita masih penganut setia pandangan yang membedakan paedagogi dari androgogi.
Dinas Pendidikan NTT, khususnya Subdinas TK/SD mulai memperkenalkannya di SD tahun 2005 pada salah satu SD di Kota Kupang. Ketika dicoba dan diikuti,ternyata pembelajaran mandiri ini dapat diterapkan pada sekolah dasar tanpa hambatan yang berarti. Kenyataan itu paling tidak menegaskan bahwa self-directed learning dapat dilakukan di sekolah dasar juga. Kenyataan yang sama juga menghapus anggapan bahwa anak tidak bisa belajar atau tidak bisa tahu tanpa guru mengajar dengan ngomong terus. Kenyataan ini juga menghapus dikotomi yang kaku antara paedagogi dan androgogi, yang menyatakan bahwa anak tidak bisa mandiri dan karenanya harus diajar lalu yang bisa belajar mandiri adalah orang dewasa karena mereka sudah mempunyai sejumlah kiat dalam memecahkan masalah.
Itu harapannya jalan agar anak mandiri tidak lain dengan percaya bahwa ia berpotensi mandiri. Potensi itu akan menjadi aktual bila ia mendapat kesempatan untuk mandiri dan ia sejak dini belajar mandiri tanpa harus menunggu sampai ia mandiri. Dari mana kemandirian itu diperolehnya?
Disinyalir bahwa gagasan pendidikan berkembang. Tetapi sekolah, khususnya guru (dan yang berhubungan dengan guru) enggan bahkan tidak mau berubah. Demikian ditulis pada buku yang disunting Sindhunata tahun 2000. Tetapi yang dianggap tidak bisa dan tidak berubah adalah siswa atau anak didik, terutama yang dikampung kata guru, pada hal mereka sendiri berasal dari kampung dan masih tinggal di kampung juga. Maklum guru berkuasa.
Bila yang disinyalir itu benar, maka yang diajak berubah pertama adalah guru dan perubahan itu dimulai dari hal yang sederhana. Yang pertama berhenti mengajar. Terbukti bahwa anak bisa belajar tanpa guru mengajar seperti yang sedang terjadi di salah satu sekolah dasar di Kota Kupang. Yang kedua adalah belajar bersabar untuk tidak tergesa-gesa membantu siswa bila siswa belum membutuhkannya dan kalaupun membantu yang diberikan bukan ikan, bukan pula kail melainkan kiat mendapatkan bahan untuk membuat kail dan menemukan tempat ikan dan dalam semua proyek ini guru selalu berada di samping anak untuk membantunya bila diperlukan. Yang ketiga, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak menemukan sendiri cara memecahkan masalahnya. Yang keempat tidak menganggap diri sebagai narasumber tunggal karena masih ada narasumber lain sekampung bahkan sejagat. Yang keenam membiasakan diri mengajak siswa untuk menggunakan berbagai sumber atau narasumber untuk memecahkan satu masalah. Yang terakhir mengajak siswa melakukan dan menghasilkan sesuatu sesuai yang dipelajari. Dengan ini siswa tidak hanya mandiri untuk tahu (learning to know), mandiri untuk berbuat, mencari jalan pemecahan masalah (lear- ning to do), menghargai orang lain karena semua orang bisa menjadi mitra dalam memecahkan masalah (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri yang mandiri (learning to be) seperti yang dianjurkan UNESCO.
Selain guru, yang harus berubah adalah masyarakat. Dalam pembelajaran mandiri semua manusia sekampung bahkan sejagat adalah narasumber. Oleh karena itu,bila siswa atau rombongan siswa datang bukalah pintu rumah dan pintu hati dan merelakan diri sebagai narasumber. Untuk itu masyarakat perlu mendapatkan informasi ini secukupnya.
Mengubah guru atau masyarakat membutuhkan kesabaran, tidak dengan marah-marah, tidak pula dengan ngomong dalam bentuk ceramah. Perubahan akan diperoleh lewat diskusi terus-menerus, pendampingan dan bekerja sama dengan tidak memandang diri lebih. Hanya dengan itu kita semua terbuka untuk berubah.
Penulis, Dosen FKIP Undana Kupang*
BERSAMBUNG................
No comments:
Post a Comment
silakan komentar