Pages

Tuesday 10 April 2012

Menarik Pesan Siri Napace Dari “Badik Titipan Ayah”




Malam ini aku lagi sibuk membuka fail-fail di leptop adik ku. Aku lagi mencari data tulisan ku yang lama ku cari. Dalam pencarian ku temukan data adikku sebuah film yang berjudul Badik Titipan Ayah. Sebenarnya sih sudah lama mendengar film ini, tapi tidak ada sempat nonton, bagi ku anggap tidak ada gunanya. Namun entah kenapa kali ini aku ingin tahu penasaran saja. Lagi pula aku lagi cari postting tulisan untuk blog ku. Maka beberapa lama aku nonton potongan –potong film itu, iya karena pas perempuan yang nongol dalam film,langsung ajak kupercepat…he..ne.. takut finah permpuan… apa lagi nggak tutup aurat lagi…


Setelah menontonya tidak cukup satu jam karena di percepat. Lalu aku online mencari artikel tentang film ini yang kuanggap menarik. Lalu Aku pun membuka word baru menekan-nekan terus tust laptop. Ada banyak inspirasi ku temukan… aku tak mau inspirasi itu hilang…

Aku tahu ini ternyata film TV yang di tayang oleh salah satu cenel swata di negeri ini. Aku pun mengkritik pada penggunaan dialek Makassar para pelakon yang dinilai kurang pas, walaupun penulis masih kurang dalam berbahasa Makassar tapi tau gaya dialek makassar. 

Memaksa orang selain suku Makassar (apalagi suku yang hidup jauh di luar tanah Sulawesi), untuk memahami budaya siri sama susahnya bagi suku Makassar untuk dipaksa mengenal kebudayaan suku lain, terutama bagi penduduk Makassar yang hanya menetap terus di tanah kelahirannya. Budaya mengambil ruang tersendiri dari peradaban, mendadar pemikiran dengan aksi konkret, menampakkan diri melalui ritual, dan yang patut dipuji adalah, budaya menjadi penopang kekokohan norma-norma agama. 

Salah satu contohnya, sikap menghargai orang lain sudah lama dianjurkan secara teologis, namun memandang bahwa saran itu juga lahir dari sebuah gagasan kulturis, tentu bisa jadi sangat benar. Tapi (tergantung Anda memandanginya dalam kacamata apa), ada budaya yang memang perlu dikoreksi dalam tahun-tahun yang berkembang. 

Dahulu baju bodo (pakaian adat Sulsel) desainnya sangat tipis sehingga "dalaman" pemakainya tampak jelas. Belakangan desain itu telah berubah terutama bagi pemakai muslimah. Inilah sebuah inovasi dari upaya mempertahankan budaya yang dilakukan kalangan kreatif. Namun, dengan budaya siri, adakah sebuah pengarahan paradigma yang pas? 

Dalam kacamata orang luar, kita (saya dan Anda) yang dipandang sebagai orang Makassar, masih sangat sering diidentikkan dengan perangai kasar. Dimulai dari pemberitaan media massa tentang kekerasan di Makassar yang begitu barbar, ditambah lagi dengan kiriman-kiriman pandangan, lengkap sudah sosialisasi kita terganggu. Tapi kita tidak perlu membalas penilaian mereka dengan menguakkan segala kejelekan sukunya juga. Tak perlu, karena kita tidak akan menjadi mulia dengan tindakan itu, betapapun kita bermaksud ingin meluruskan pandangan mereka. 

Mengangkat sebuah kehidupan beserta tetek bengek-nya (termasuk budaya, pemahaman, setting tempat) ke dalam layar tontonan membutuhkan kepiawaian dan kerja keras kepalang tanggung. Film, adalah media transformasi pengetahuan yang paling "afdal" di luar bacaan. 

Dengan film dan bacaan, kita dapat merengkuh hal-hal yang tak bisa kita gapai. Dan seperti kebanyakan pembuat film yang lain, drama televisi garapan sang sutradara ini dibuat ingin menyamai fakta yang ada. Penggunaan alur yang familiar dan setting tempat di kampiun budaya itu sendiri, Setiadi telah layak diacungi jempol atas kemampuannya mempertahankan orisinalitas cerita. 

Yang membuat saya tertarik adalah tokoh utama yaitu kalangan intelektual (mahasiswa), saya sangat berharap agar karakter “mahasiswa” dalam cerita itu mampu menjadi pelopor agen perubahan dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bukan malah ikut-ikutan menuruti emosi tetua. 

Namun, setiap yang ada kita harus mengambil pesannya saja, pesan memaknai budaya siri-lah yang paling penting, bagaimana kita bersikap jika menjadi salah satu karakter yang diperankan dalam film itu. Dan tak kalah penting lagi, sungguh kita menjadi beradab bila mampu mengelompokkan budaya-budaya kita yang selama ini menjadi sorotan pihak luar.  

Lalu tangan ku seras pegal mengetik, aku lalu sedikit merenung tentang kebudayaan kota ku kota Makassar. Diriku juga di lahirkan dari dua suku terbesar di Sulawesi yaitu ayahku dari suku Makassar sedang ibu dari suku bugis tepatnya dari bone. Aku mengingat –ungat lagi bagaimana bugis Makassar telah membentuk karakterku apa lagi yang namanya siri’ na pace….

Siri’ na pace adalah dua suku kata yang merupakan filosofi dasar dalam kehidupan keseharian masyarakat Bugis Makassar. Dua kata ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan mempunyai keterkaitan yang sangat mendalam. Jika dipisahkan, secara personal masyarakat akan mengalami split personality. Hubungannaya bisa seperti sebab dan akibat. “Siri’ na pacce” tidak mempunyai arti yang sepadan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang ada. Jika kita berusaha mengartikannya dalam bahasa Indonesia mungkin akan mendekati kata “malu, harga diri”, atau “usaha yang kuat”. Jika sering belajar sastra melayu dia lebih mendekati kata “marwah” untuk kata “siri”, dan “pacce” lebih mendekati kata “tanggungjawab, sanggup memikul rasa pahit, pantang lari atau mengundurkan diri, berani mengambil resiko”.

Dalam bertingkah laku keseharian, masyarakat Bugis Makassar sangat menjunjung tinggi filosofi siri’ na pacce. Bahkan bisa dibilang, sebelum melakukan sesuatu, siri’ na pacce adalah pertimbangan utama. Dia adalah tolak ukur kebaikan, baik dalam melakukan hubungan sosial maupun ekonomi. Karena filosofii siri na pacce, bisa dilihat bahwa orang-orang Bugis Makassar adalah orang-orang tangguh, berani mengambil resiko, tetapi tetap dalam bingkai pacce (bertanggungjawab). 

Masyarakat Bugis Makassar adalah sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi “kehormatan”. Kehormatan yang dimaksud bisa berasal dari keturunan, ekonomi, jabatan, ataupun kehormatan suku ataupun kelompok. Disinilah bingkai siri’ na pacce akan di melekat. Masyarakat Bugis Makassar pantang untuk dihinakan atau dicela ataupun melakukan perbuatan hina dan tercela, kalau ini terjadi maka hancurlah kehormatan itu sendiri. Sehingga mereka siri’ (malu), dan untuk mempertaruhkan kehormatan itu maka dia siap menanggung pacce (bertanggungjawab). 

Tetapi jika kita melihat lebih dalam siri na pacce, dia adalah filosofi yang sangat bermakna dalam. Dengan kehilangan filosofi ini, juga akan kehilangan identitas sebagai orang Bugis Makassar. Siri’ na pacce tidak identik dengan kekerasan. Dia lebih identik dengan menjaga kehormatan. Menjaga kehormatan yang dimaksud adalah unggul, terbaik, jujur, berani mengambil resiko tetapi tetap bertanggungjawab (pacce).

Nilai filosofis siri’ na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan meliputi: (1) prototipe watak orang Makassar yang terdiri atas: reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani, dan konstruktif. (2) nilai etis siri’ na pacce meliputi: teguh pendirian, setia, tahu diri, berkata jujur, bijak, merendah, ungkapan sopan untuk sang gadis, cinta kepada Ibu, dan empati.

Dengan filosofi ini, kita bisa melihat contoh masyarakat Bugis Makassar adalah pelaut-pelaut ulung, dari zaman dahulu atau saudagar-saudagar yang yang sukses. Mereka tidak cengeng dengan keadaan yang ada, sehingga lautan yang luas menjadi hamparan harapan yang seluas lautan. Sekali layar terkembang, pantang untuk surut kembali. Ini adalah filosofi yang merupakan turunan dari siri’. Artinya, orang-orang Bugis Makassar, tetap pada keputusan awal, tanpa ada alternatif lain atau mengubah arah rencana, jika sudah diputuskan kita sama-sama menanggung resiko (pacce). 

Siri’ na pacce juga lebih identik dengan kejujuran. Kejujuran adalah pintu kehormatan. menghianati kepercayaan adalah sebuah siri’ dan kehilangan siri’ adalah aib yang sangat melalukan. Dalam hubungan sosial, orang yang kehilangan siri’ adalah orang-orang yang terkucil. 

Seyogyanya masyarakat Bugis Makassar adalah masyarakat yang hidup terhormat, menjadi pejabat yang bersih dan terhormat, Kalau tidak, dia sudah kehilangan identitas sebagai orang Bugis Makassar.

Setelah mengetik lama aku menatap jam telah menunjukkan jam 11 malam. Aku pun menutup fail-fail di laptop dan mematikannya… Ku tatap jendela tampak Malam makin larut. Aku pun berajak ke pembaringan.


Walahualam….

3 comments:

  1. aku malah belum pernah nonton

    ReplyDelete
    Replies
    1. ana menulis ini bukan menyuruh nonton atau merekomendaskan nonton film ini, namun kita harus mengambil hikmah di mana saja.. sekali pun sesuatu yang banyak kekurangannya....
      walahualam..

      Delete

silakan komentar