Pages

Wednesday, 1 February 2012

“Qiyas Sebagai Pengganti Sumber hukum”



KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan nikmat dari-Nya sehingga makalah kami yang berjudul “Qiyas Sebagai Pengganti Sumber hukum” dapat diselesaikan, shalawat serta taslim tak lupa kami kirimkan atas junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang telah memabawa ummat ini dari alam gelap gulita menuju alam terang benderang.

Dalam rangka penyelesaian Makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak yang ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan arahan dan bimbingan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.

Walaupun dengan usaha maksimal telah kami lakukan, tapi sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami dari penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini, dan kiranya makalah ini dapat memberikan masukan dan informasi kepada semua pihak yang berkaitan dengan hal ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu Wataala. Amin….
Wassalam


Makassar, Januari 2008


Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang
Umat Islam merupakan umat terbesar di dunia. Penduduk Islam terus berkembang suatu kegembiraan yang sangat bagi umat Islam. Islam sendiri mengharuskan umatnya untuk berhubungan dengan Al-Qur’an dan hadist sesuai akidah Islam. Selanjutnya berdasarkan pemahaman para sahabat tabi’in tabi’ tabi’in serta ulama.
Salah satu sumber yang masih dipakai pada agama ini selain Al Qur’an dan Assunnah terdapat juga ijma’ fatwa ijtihad termasuk qiyas. Qiyas sendiri mendapat tanggapan yang sangat cukup beragam dari kalangan ulama bahkan dari banyak aliran ada yang menyetujui ada juga yang tidak menerima. Meskipun demikian qiyas masih dipakai karena mendapat dukungan dari ulama.
Sehingga penulis ingin membahas hal yang mengenai tentang qiyas.

B. Rumusan Masalah
Masalah pokok
Bagaimana qiyas sebagai pengganti hukum syarah?
Sub Masalah
1. Apa pengertian Qiyas?
2. Bagaimana Qiyas sebagai dalil hukum syarah?
3. Apa syarat-syarat Qiyas?
4. Sebutkan pembagian Qiyas!
 


 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A. Pengertian QIYAS
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandung pengertian yang sama.Di antaranya dikemukakan Sadra al-Syari’ah (w. 747 H 1346, tokoh ushul fiqh Hanafi) menurutnya, qiyas adalah: Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.

Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum dan kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan: Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
Saifuddin al-Amidi mendefinisikan qiyas dengan: Mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada asal yang diistinbatkan dan hukum asal.
Setelah menganalisis beberapa definisi qiyas yang dikemukakan para ulama ushul fiqh klasik tersebut, Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyás dengan : Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh klasik dan kontemporer di atas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dan awal (itsbátal-hukm wa insyauhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al.kasyfwa al-izhhâr li-al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya . Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dan suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘illat-nya sama dengan ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dan hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab diharamkannya khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Máidah, 5: 90-91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar, karena ‘il/at keduanya adalah sama, yakni memabukkan. Kesamaan ‘il/at antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya dalam al-Qur’an atau hadits, menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang dimaksudkan para ulama ushul fiqh bahwa penentuan hukum melalui metode qiyds bukan berarti menentukan hukum sejak semula, tetapi menyingkapkan dan menjelaskan hukum untuk kasus yang sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nash, disebabkan kesamaan ‘illat antara keduanya.
Dalam contoh lain, Rasulullah saw. bersabda:
Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian warisan. (H.R. al-Nasa’i dan al-Baihaqi)
Menurut hasil penelitian mujtahid, yang menjadi ‘illat tidak berhaknya pembunuh menerima warisan dan harta pewaris yang ia bunuh adalah upaya untuk mempercepat mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh. ‘Illat seperti ini terdapat juga dalam kasus seseorang membunuh orang yang telah menentukan wasiat baginya. Oleh sebab itu, pembunuh orang yang berwasiat (al-wáshi), dikenai hukuman yang sama dengan hukum orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu sama-sama tidak berhak memperoleh harta warisan dan harta wasiat .

B. Qiyas Sebagai Dalil Pengganti
Jumhur Ulama ushul fiqh yang membolehkan qiyás sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan, baik dan ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah Rasul, maupun dari ijma’ dan logika. Alasan-alasan itu di antaranya adalah:
1. Ayat yang mereka jadikan alasan adalah firman Allah dalam surat al Hasyr, 59:2:
Artinya
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.

Ayat ini, menurut Jumhur ushul fiqh, berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dan Bani Nadir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah saw. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai i’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dan satu peristiwa, menurut Jumhur Ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu, penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-i tibar adalah boleh, bahkan al-Qur’an memerintahkannya.
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung ‘illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut. Misalnya:
a. Surat al-Baqarah, 2: 179:
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu...
b. Surat al-Baqarah, 2: 222:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah kotoran”. Oleh, sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan din dan wanita di waktu haid.
c. Dalam mengharamkan khamar, Allah berfirman dalam surat al-Ma ‘idah,5: 91:
Artinya:
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dan mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dan mengerjakan perbuatan itu).
d. Firman Allah dalam surat al-Maidah, 5: 6:
Artinya:
...Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu...
Seluruh ayat itu, menurut Jumhur Ulama, secara nyata menyebutkan ‘illat yang menjadi penyebab munculnya hukum. Inilah makna qiyas, yaitu ketika muncul suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, maka diwajibkan mencari ‘illat kasus tersebut untuk membandingkannya dengan ‘illat hukum yang ada dalam nash; dan apabila ternyata ‘illat-nya sama, maka hukum yang ada dalam nash itu bisa diterapkan pada kasus tersebut.
Para ulama yang membolehkan qiyás sebagai hujah dalam menetapkan hukum syara’, bukan berarti membuat hukum baru yang ditetapkan berdasarkan qiyás itu, tetapi menyingkap ‘illat yang ada pada suatu kasus dan menyamakannya dengan ‘illat yang terdapat dalam nash. Atas dasar kesamaan ‘illat ini, hukum kasus yang dihadapi tersebut disamakan dengan hukum yang telah ditentukan oleh nash.
2. Alasan Jumhur Ulama dan hadits Rasulullah saw. di antaranya adalah riwayat dan Mu’az ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu, Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qádhi (Hakim). Rasulullah saw. melakukan dialog singkat dengan Mu’az, seraya bersabda:
“Bagaimana cara kamu memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada engkau?” Mu’az ibn Jabal menjawab, “Saya akan cari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur’an). “ Kemudian Rasulullah melanjutkan pertanyaannya, jika tidak kamu temukan hukumnya dalam Kitabullah?” Jawab Mu‘az, “Saya akan can dalam Sunnah Rasulullah. “Selanjutnya Rasulullah bertanya, ‘jika dalam Sunnah Rasulullah saw. juga tidak engkau temukan hukumnya?’ Jawab Mu‘az, “Saya akan berijtihad sesuai dengan pendapat saya. Lalu Rasulullah saw. mengusap dada Mu‘az, seraya berkata, “Alhamdulillah tindakan utusan Rasulullah telah sesuai dengan kehendak Rasulullah.” (H.R. Ahmad ibn Hanbal, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Thabrani, al-Darimi dan al-Baihaqi).
Dalam hadits ini, menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, Rasulullah saw. mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Dalam hadits lain Rasulullah saw. juga menggunakan metode qiyás dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu ketika, seseorang menemui Rasulullah saw. dan ia berkata:
“Ayah saya telah masuk Islam, dia seorang yang sudah sangat tua sehingga tidak mampu untuk mengendarai (unta) guna melakukan perjalanan dalam upaya melaksanakan ibadah haji yang diwajibkan. Apakah saya boleh men hajikannya? ”Rasulullah berkata, “Engkau anak laki-lakinya yang terbesar?” Jawab laki-laki itu, “Benar “Kemudian Rasulullah berkata, “Bagaimana pendapat engkau, andaikata ayahmu itu mempunyai utang pada orang lain, lalu engkau akan membayarnya, apakah utang itu dianggap lunas?” Lelaki itu menjawab, “Ya. “Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika demikian, maka hajikanlah ayahmu itu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Nasa’i dan Ibn ‘Abbas)

Dalam riwayat lain ‘Umar ibn al-Khathab suatu han mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata, “Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar; saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” Lalu Rasulullah mengatakan pada ‘Umar: Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab, “Tidak“ Lalu Rasulullah saw. berkata, “Kalau begitu, kenapa engkau sampai menyesal?” (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan Abu Daud dan ‘Umar ibn al-Khaththab)
Jumhur Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa dalam kedua hadits di atas, secara jelas Rasulullah saw. menjawab permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan metode qiyás. Dalam masalah haji di atas, Rasulullah saw. mengqiyaskan haji kepada kewajiban membayar utang. Dalam hadits ‘Umar ibn al-Khaththab, Rasulullah saw. meng-qiyâskan mencium istri dengan berkumur-kumur, yang keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa.
3. Alasan lain yang dikemukakan Jumhur Ulama ushul fiqh adalah ijma’ para sahabat. Dalam praktiknya, para sahabat menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu Bakar tentang masalah kalalah, yang menurutnya, adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu Bakar berdasarkan pendapat akalnya, dan qiyas termasuk ke dalam pendapat akal. Dalam sebuah kisah yang amat populer, ‘Umar ibn al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika ia ditunjuk menjadi hakim di Bashrah, Irak. Dalam suratnya yang panjang itu ‘Umar menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumnya dalam nash, agar Abu Musa menggunakan qiyas (kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Daruquthni).
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, baik terhadap pendapat Abu Bakar maupun terhadap sikap ‘Umar ibn al-Khathab di atas, tidak satu orang sahabatpun yang membantahnya.
4. Secara logika, menurut Jumhur ulama ushul fiqh, bahwa hukum Allah mengandung kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka hukum disyari’atkan. Apabila seorang mujtahid menjumpai kemaslahatan yang menjadi ‘illat dalam suatu hukum yang ditentukan oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya, maka ia menyamakan hukum kasus yang ia hadapi dengan hukum yang ada pada nash tersebut. Dasarnya adalah ada kesamaan ‘illat antara keduanya.

C. Syarat-Syarat Qiyas
Untuk menetapkan hukum .suatu perkara dengan qiyas yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadis hams memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Syarat-syarat ashl (soal-soal pokok)
a. Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya. Kalau tidak ada, hukum tersebut hams dimansukh maka tidak boleh ada pemindahan hukum.
b. Hukum yang ada dalam pokok hams hukum syara’ bukan hukum akal atau bahasa.
c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya menjadi rusak sebab sesuatu tidak tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya. Namun, puasanya tetap ada sebab ada hadis yang menjamin atas sahnya puasa

“Barang siapa yang lupa padahal ia sedang berpuasa kemudian makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya sesungguhnya Allah yang memberinya makan dun minum” (HR. Bukhari — Muslim).
2. Syarat-Syarat Cabang
a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok. Misalnya, mengqiyaskan wudhu dengan tayamum dan wajibnya niat karena keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut di atas tidak benar karena wudhu (dalam contoh di atas sebagai abang) diadakan sebelum hijrah, sedang tayamum (dalam contoh di atas sebagai pokok) diadakan sesudah hijrah. Bila qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan hukum sebelum ada illat-nya.
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c. Illat yang terdapat pada cabang hams sama dengan illat yang terdapat pada pokok.
d. Huküm cabang hams sama dengan hukum pokok.
3. Syarat-Syarat Illat
Illat mempunyai beberapa syarat sebagai berikut:
a. Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada tidak ada hukum bila tidak ada illat.
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang Sebab adanya illat tersebut adalah demi kebaikan manusia, melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas, juga seperti memabukkan sebagai illat adanya haram minum-minuman keras.
c. Illat tidak berlawanan dengan nash, dan apabila berlawanan maka nash yang didahulukan. Sebagaimana pendapat segolongan ulama bahwa perempuan dapat memiliki dirinya, sebab diqiyaskan dengan bolehnya menjual harta bendanya: Karena itu, perempuan tidak dapat melakukan penikahan tanpa izin walinya qiyas seperti ini berlawanan dengan nash hadis Nabi yang berbunyi:
Artinya:
“Perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikah menjadi batal”
(HR. Tirmizi dan lain-lainnya)
d. Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu misalnya berpengaruhnya illat tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syara’. Bepergian misalnya dijadikan illatnya mengqashar sholat karena qashar tersebut mengandung hikmah, yaitu menghindari (mengurangi) kesukaran. Demikian pula zina dijadikan sebagai illat hukum had karena ada hikmah, yaitu menjaga keturunan dari percampuran darah.
Sesuatu yang tidak terang, tidak bisa dijadikan illat, seperti ridha dalam perikatan, karena ridha adalah suatu hal yang samar, maka perlu adanya serah terima sebagai gantinya. Demikian pula sesuatu yang tidak tertentu, seperti kesukaran maka tidak bisa jadi illat mengqhasar dan keadaannya. Maka tidak akan dijadikan illat untuk mengqasarkan sholat dalam keadaan tidak bepergian meskipun boleh jadi kesukarannya lebih berat daripada yang bepergian dalam beberapa hal.

D. Macam-Macam Qiyas
Qiyas itu dibagi menjadi 5 (1ima) yaitu:
a. Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang 1ebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaska memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya yang tersebut dalam firman Allah Artinya
“Janganlah kamu mengatakan “ah” kepada kedua orang tua …”
(QS. Al-Ista’: 23).
Mengatakan “ah” kepada ibu bapak dilarang karena illat-nya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq (yang disamakan) lebih berat daripada yang pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul orang tua lebih keras daripada larangan mengatakan “ah” kepadanya.
b. Qiyas MuSAW.i, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaq Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, sama-sama merusakkan harta. Sedang makan harta anak diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:

Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
(QS. An-Nisa’
Maka merusak harta anak yatim adalah haram. haramannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim tim.
c. Qiyas dalalah, yakni suatu qiyas di mana illat yang ada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini, Imam Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa, harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib dizakati lantaran diqiyaskan, dengan haji. Sebab menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
d. Qiyas Syibbi, yakni suatu qiyas di mana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang. Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena memang keduanya adalah sama-sama keturuhan Adam dan dapat juga qiyaskan dengan harga benda, karena keduanya sama-sama dimiliki. Namun, budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda, yaitu sama-sama dapat diperjual belikan diadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Karena sahaya tersebut diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba yang dirusakkan itu dapat diganti dengan nilainya.

























 
BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
 Pengertian Qiyas secara terminologi terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandung pengertian yang sama.
 Jumhur Ulama ushul fiqh yang membolehkan qiyás sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan, baik dan ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah Rasul, maupun dari ijma’ dan logika.
 Syarat-Syarat Qiyas
a. Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya.
b. Hukum yang ada dalam pokok hams hukum syara’ bukan hukum akal atau bahasa.
c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum.
 Macam-Macam Qiyas
a. Qiyas Aula
b. Qiyas Musawi,
c. Qiyas dalalah,
d. Qiyas Syibbi,

B. Saran
Meningkatkan soal dan tugas serta pemahaman yang mendalam tentang hukum islam.

 


DAFTAR PUSTAKA
 
A. Hanafi. 1961. Ushul Fiqh. Wijaya: Jakarta
Syarifuddin Amir.1997.Usuhul Fiqh Jilid I. Penerbit Logos: Jakarta
Uman Chaerul.2000.Usuhul Fiqh I. Pustaka Setia. Bandung
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Logos: Jakarta
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan Al Qur’an. Mizan : Bandung
Muh. Syah Ismail. 1992. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara: Jakarta
Al Qadarowi Yusuf. 2001. Fiqhi Tafsir. Pustaka Al Kautsar: Jakarta
Koto Alaidin. 2004. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqh. Rajawali Pers. Jakarta
Abdul Wahab Kahalaf. 1972. Ilmu Ushulil Fiqh Majlisul Ala Al Andalusi Lid Da’watil Islamiyah: Jakarta
Hasbi As Shidiqi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. CV. Mulia: Jakarta

 

No comments:

Post a Comment

silakan komentar