Pages

Wednesday, 16 November 2011

REALITA SEKOLAH ISLAM TERPADU DI INDONESIA ( bagian Terakhir - SELESAI)



E.  Menimbang Eksistensi Pendidikan Terpadu
KEMAJUAN sains dan teknologi semakin membuka lebar rahasia alam semesta. Komunikasi semakin mendekatkan pemahaman dan saling pengertian antar berbagai kebudayaan, tata nilai, dan norma kehidupan manusia. Akan tetapi, sebaliknya, gerak kemajuan dan modernisasi rupanya juga membawa serta limbah peradaban yang dapat mencemari akhlak dan perilaku mulia manusia. Artinya bahwa kemajuan teknologi temyata juga sarat beban pergeseran tata nilai yang dapat menjerumuskan.
Kompleksitas permasalahan dunia modern, bagi banyak orang, justru membawa konsekuensi meningkatnya kesulitan dalam adaptasi kehidupan keseharian orang per orang. Akibatnya muncul fenomena kebingungan, ketegangan, kecemasan, dan konflik-konflik yang berkembang begitu rupa, sehingga menyebabkan orang mengembangkan pola perilaku yang menyimpang dari norma-norma umum, berbuat semaunya sendiri, dan mengganggu orang lain.
Fenomena ini juga semakin menambah kekhawatiran orang tua berkenaan dengan masa depan putra-putri mereka. Meningkatnya angka kriminalitas yang disertai tindak kekerasan, penyelewengan seksual, perkelahian pelajar, penyalahgunaan obat, narkotik, dan minuman keras semakin mendorong banyak keluarga untuk berpikir ulang mengenai efektivitas pendidikan umum dalam mengembangkan kepribadian anak-anak mereka.

Booming sekolah Islam terpadu
Maraknya sekolah Islam terpadu (SIT) tampaknya merupakan titik temu dari berbagai kebutuhan masyarakat, yaitu antara keinginan untuk memiliki sekolah yang tidak saja tinggi mutu akademiknya, tetapi juga mempunyai kedalaman dalam keberagamaan. Di sisi lain, bagi keluarga-keluarga muda yang suami-istri bekerja di luar rumah, sekolah Islam terpadu juga dapat memainkan peran sebagai tempat penitipan anak.
Konsep pendidikan yang diterapkan di sekolah Islam terpadu biasanya adalah perpaduan antara konsep pendidikan Islam dan metode pendidikan njodern. Dalam pelaksanaannya, jenis pendidikan seperti ini menerapkan model moving class, learning by doing, keteladanan yang islami, plus penerapan tiga bahasa pengantar, Indonesia, Arab, dan Inggris. Dengan kurikulum yang dirancang sedemikian rupa, perpaduan antara konsep pendidikan Islam dan metode pendidikan internasional terbaru, diharapkan sekolah Islam terpadu dapat menghasilkan generasi unggulan dengan integritas akhlak dan pekerti yang mulia.Sekolah Islam terpadu (SIT) yang dikelola secara serius umumnya melengkapi diri dengan berbagai-alat bermain modern yang aman dan akrab bagi anak-anak, sarana pendukung/ media belajar terbaru, komputer multimedia, masjid, klinik sekolah, perpustakaan, fasilitas antar-jemput, lapangan olahraga yang luas, dan katering sekolah.
Jika pendidikan kita percayai sebagai kunci utama untuk membuka masa depan altematif, sudah barang tentu bukan sembarang institusi pendidikan dapat melakukan itu semua. Sementara ini, klaim SIT sebagai pola pendidikan alternatif yang mampu menyiapkan siswa menghadapi dunia nyata harus juga dicermati secara saksama. Oleh karena itu, SIT perlu disadarkan tentang harapan yang mereka pikul, tantangan yang mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai. Sekolah terbaik, di mata Dryden dan Vos, penulis The Learning Revoluion, adalah sebuah sekolah tanpa kegagalan. Semua murid teridentifikasi bakat, keterampilan, dan kecemasannya sehingga memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan. Sayangnya, sekolah kita tidak seperti itu. Jauh panggang dari api.
Pendidikan afektif dan pengukurannya
Kelemahan pendidikan umum yang cenderung terlalu kognitif tidak seharusnya diteruskan di SIT. Pendidikan afektif atau humanistis sebenarnya merupakan upaya untuk melihat anak ns a whole. Jika pada beberapa dekade sebelumnya orang lebih banyak menaruh perhatian pada pengembangan kemampuan kognitif-logis, analitis, dan menekankan pada akuisisi informasi, belakangan para peneliti mulai mengalihkan perhatian pada pendidikan afektif. Perhatian yang luar biasa atas karya Daniel Gole-man mengenai emotional iritglligencQan multiple iiilelligence-nya Howard Gardner merupakan bukti dalam hal ini.
Penelitian terhadap orientasi otak kiri dan otak kanan memberikan konfirmasi betapa penting pendidikan afektif ini. Karya-karya best-seller dari Daniel Coleman juga telah menunjukkan urgensi kecerdasan emosi, bagaimana keterampilan sosial dan emosional dapat membawa hidup lebih sukses dan memuaskan. Untuk itu, sangat dapat dipahami mengapa kini timbul gerakan untuk lebih memberi waktu dan perhatian pada pengembangan tidak saja keterampilan kognitif tetapi juga keterampilan emosi.
Sebenarnya tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Bagaimana mungkin kita dapat menjadi ilmuwan, guru, orang tua, pengusaha, atau bos yang sukses tanpa pengetahuan dan keterampilan sosial? Oleh karena itu, emotionally safe classroom tidak lain adalah kelas yang memungkinkan anak belajar lebih banyak tentang kehidupan. Lingkungan sosial sekolah/madrasah, dengan demikian perlu mendapatkan perhatian serius karena sangat berperan dalam membantu anak mengembangkan diri secara lebih lengkap.
Sekolah Islam terpadu seharusnya perlu lebih mengeksplorasi pendekatan afektif dan psikomotorik siswa ketimbang aspek kognitif. Tidak seperti yang terjadi sejauh ini, menurut pengamatan penulis SIT yang sarat ideologis itu justru sangat berorientasi pada cognitive indicator performance. Seharusnya, meminjam konsep Dinkmeyer, SIT juga menampilkan tema-tema tentang pengenalan anak terhadap dirinya sendiri, identitas diri, dan pengembangan harga diri, yang meliputi kemampuan untuk (a) melihat diri sendiri secara objektif, realistis; (b) mengidentifikasi sifat-sifat positif, aset, dan kekuatan-kekuatannya; (c) mengidentifikasi dan menerima atribut negatif, kemiripan dan ketidak-sempurnaan; (d) menerima dan menghadapi pengalaman-pengalaman negatif, seperti kegagalan dan penolakan, secara konstruktif; serta (e) menjaga konsistensi konsep diri yang positif meski ada berbagai umpan balik eksternal.
Selain itu, kesadaran dan ekspresi siswa terhadap perasaannya sendiri, yang mencakup kemampuan untuk mengenal perasaannya yang berkaitan dengan aneka ragam peristiwa-peristiwa eksternal, kemampuan memberi nama dan menggambarkan perasaan positif dan negatif, menggunakan secara tepat cara-cara nonverbal maupun verbal dalam mengekspresikan emosi, memahami fungsi ekspresi emosi dalam hidupnya, termasuk hubungan antara perasaannya dan peristiwa-peristiwa interpersonal, serta mengubah ekspresi emosi agar cocok dengan runtutan-runtutan situasi juga merupakan keterampilan dasar relasi sosial yang harus diajarkan.
Kesadaran anak terhadap perasaan orang lain dan kompleksitas ekspresi emosi juga perlu diperkenalkan secara dini kepada anak-anak. Dengan kesadaran ini seorang siswa akan terlatih untuk menyimpulkan perasaan dirinya dan orang lain dalam bentuk ekspresi wajah, perawakan (postur) dan gerak isyarat (gesture). Kemampuan afektif ini juga akan mampu menggiring pemahaman siswa bahwa emosi itu dapat diubah lewat pikiran dan aktivitas tubuh lainnya.
Kesulitan yang mungkin timbul dalam pendekatan dan proses belajar-mengajar secara afektif adalah, bagaimana cara mengukurnya? Menurut Sartledge dan Milburn, agar pendidikan afektif hasilnya lebih terukur, model pembelajaran preskriprtf, diagnostik, atau di-rektif dapat digunakan. Model ini paling tidak mensyaratkan lima unsur, yaitu (1) membatasi/mendefinisikan afeksi yang akan diajarkan dengan istilah yang spesifik; (2) menaksir tingkat kompetensi yang telah dimiliki siswa, untuk menentukan pada tingkat mana siswa telah menguasai kemampuan tertentu; (3) mengajarkan kemampuan afektif yang masih kurang, sebagaimana ditunjukkan dalam assessment; (4) mengevaluasi atau menaksir ulang hasil pembelajaran; dan (5) memberi peluang untuk latihan dan melakukan generalisasi atau transfer belajar pada situasi-situasi baru.
Problem yang sering muncul dalam pendidikan afektif adalah bagaimana mengukurnya. Mungkinkah perasaan diukur? Assessing affect telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam kajian-kajian psikologi. Terdapat sejumlah manifestasi fisiologis dari perasaan yang dapat diukur secara langsung. Gejala-gejala fisik yang menyertai emosi negatif seperti takut, cemas, tertekan, dan marah biasanya mudah dikenali. Peralatan teknologi, seperti alat ukur respons kulit dan aktivitas jantung, telah banyak digunakan dalam peneli-tian-penelitian di laboratorium, misalnya untuk mengukur aspek-aspek fisiologis dari rasa takut dan cemas. Namun dalam praktiknya di sekolah, prosedur demikian tentu sulit dilakukan. Cara yang lebih sering digunakan adalah self-report dan affective assessment by adults and peers.
Akan tetapi, sebaliknya, gerak kemajuan dan modernisasi rupanya juga membawa serta limbah peradaban yang dapat mencemari akhlak dan perilaku mulia manusia. Akibatnya muncul fenomena kebingungan, ketegangan, kecemasan, dan konflik-konflik yang berkembang begitu rupa, sehingga menyebabkan orang mengembangkan pola perilaku yang menyimpang dari norma-norma umum, berbuat semaunya sendiri, dan mengganggu orang lain. Konsep pendidikan yang diterapkan di sekolah Islam terpadu biasanya adalah perpaduan antara konsep pendidikan Islam dan metode pendidikan njodern. Dengan kurikulum yang dirancang sedemikian rupa, perpaduan antara konsep pendidikan Islam dan metode pendidikan internasional terbaru, diharapkan sekolah Islam terpadu dapat menghasilkan generasi unggulan dengan integritas akhlak dan pekerti yang mulia.Sekolah Islam terpadu (SIT) yang dikelola secara serius umumnya melengkapi diri dengan berbagai-alat bermain modern yang aman dan akrab bagi anak-anak, sarana pendukung/ media belajar terbaru, komputer multimedia, masjid, klinik sekolah, perpustakaan, fasilitas antar-jemput, lapangan olahraga yang luas, dan katering sekolah. Oleh karena itu, SIT perlu disadarkan tentang harapan yang mereka pikul, tantangan yang mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai. Selain itu, kesadaran dan ekspresi siswa terhadap perasaannya sendiri, yang mencakup kemampuan untuk mengenal perasaannya yang berkaitan dengan aneka ragam peristiwa-peristiwa eksternal, kemampuan memberi nama dan menggambarkan perasaan positif dan negatif, menggunakan secara tepat cara-cara nonverbal maupun verbal dalam mengekspresikan emosi, memahami fungsi ekspresi emosi dalam hidupnya, termasuk hubungan antara perasaannya dan peristiwa-peristiwa interpersonal, serta mengubah ekspresi emosi agar cocok dengan runtutan-runtutan situasi juga merupakan keterampilan dasar relasi sosial yang harus diajarkan.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
      Jadi dapat kita simpulkan dari pembahasan diatas adalah
Demikianlah, fenomena Sekolah Islam Terpadu (syariah)—dengan segala keterbatasan akses informasinya—telah dicoba dikaji. Objektivitas kajian diusahakan melalui prinsip normatif pendidikan Islam dan pendidikan inklusi, sehingga bila ada kesesuaian program Sekolah Islam Terpadu (sekolah syariah) dengan salah satu atau beberapa prinsip normatif pendidikan Islam atau pendidikan inklusi, maka hal itu tidak dimaksudkan untuk legitimasi. Dan memang, yang lebih banyak adalah tawaran tantangan ke depan yang perlu diantisipasi dalam mengembangkan kurikulum/ Sekolah Islam Terpadu. Semoga ada manfaatnya.  Wallâhu a`lam bish-shawâb.

B.     Saran
Perlu ditingkatkan pembahasan tetang Alquran dan hadis menurut salafu soleh dalam per kuliahan






Daftar Pustaka

al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib (ed.) (1979), Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdulaziz University dan Hodder & Stoughton.
Ashraf, Syed Ali (1985), New Horizon in Muslim Education. Chippenham: Hodder & Stoughton.
CSIE (Centre for Studies on Inclusive Education) (2005), Ten Reasons for Inclusion, http://inclusion.uwe.ac.uk/ csie/10rsns.htm.
Douglass, Susan L. dan Shaikh, Munir A. (2004), ‘Defining Islamic Education: Differentation and Aplications’ dalam CICE (Current Issues in Comparative Education) Journal: Islam and Education, Vol. 7, No. 1, December 15.
Duri, A. A. (1983), The Rise of Historical Writing among the Arabs, terjemahan L. I. Conrad. Princeton: Princeton University Press.
Hassan, A. Y. & Hill, D. (1986), Islamic Technology. Cambridge : Cambridge University Press.
Ould Bah, M. (1998), Islamic Education between Tradition & Modernity. Morocco: ISESCO.
Sahadat, John (1997), ‘Islamic Education: a Challenge to Conscience’ dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 4 (Winter).
Santoso, M.A. Fattah (1992), ‘Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Islam’ dalam Akademika, Tahun X, No. 1.
Sardar, Ziauddin dan Malik, Zafar Abbas (1997), Mengenal Islam for Beginners, terjemahan Qowayfa. Bandung: Mizan.
Sarwar, G. (1996), ‘Islamic Education: its Meaning, Problems and Prospects’ dalam Issues in Islamic Education. London : The Muslim Educational Trust.
UNESCO (1990), World Declaration on Education for All and Framework for Action to Meet Basic Learning Needs. International Consultative Forum on Education for All. Paris: UNESCO.
UNESCO (1994), The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education, World Conference on Special Needs Education: Access and Quality. Paris: UNESCO and the Ministry of Education, Spain. Versi pdf.,  http://portal.unesco.org/education/en/ev.php.
UNESCO (2003), Conseptual Paper: UNESCO Inclusive Education, a Challenge and a Vision.  http://portal.unesco.org/education/en/ev.php.
Allahu Alam.

No comments:

Post a Comment

silakan komentar