Pages

Sunday, 13 November 2011

REALITA SEKOLAH ISLAM TERPADU DI INDONESIA ( BAGIAN KEDUA)




Pendidikan Madrasah memadukan ilmu agama dan imu umum

B.     Pendidikan Inklusi: Pengenalan Konsep
Latar Belakang. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pendidikan inklusi merupakan konsekuensi lanjut dari kebijakan global Education for All (Pendidikan untuk Semua) yang dicanangkan oleh UNESCO 1990. Kebijakan Education for All itu sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pendidikan yang dicanangkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1949. Konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak memiliki hak untuk menerima pendidikan yang tidak diskriminatif atas dasar hambatan fisik, etnisitas, agama, bahasa, jender dan kecakapan. Pendidikan inklusi yang dideklarasikan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk (Mereka Yang Membutuhkan) Kebutuhan Khusus di Salamanca, Spanyol, 1994, dan diperteguh dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, 2000, merupakan suatu pendekatan yang berusaha memenuhi kebutuhan belajar semua anak, pemuda dan orang dewasa dengan fokus khusus pada mereka yang termarjinalisasikan dan tersisihkan. Dari tahun ke tahun,  jumlah yang termarjinalisasikan dan tersisihkan ternyata tidak berkurang, bahkan terus bertambah. Pada tahun 2000 diperkirakan ada sekitar 113 juta anak usia sekolah dasar yang tidak masuk sekolah, 90 % dari mereka hidup di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah rendah dan lebih dari 80 juta anak tinggal di Afrika (UNESCO, 2003).
Defenisi Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi adalah sebuah proses yang memusatkan perhatian pada dan merespon keanekaragaman kebutuhan semua peserta didik melalui partisipasi dalam belajar, budaya dan komunitas, dan mengurangi ekslusi dalam dan dari pendidikan (UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat, anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik (berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua (UNESCO, 1994; UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi bertujuan memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dalam keragaman, dan memandang keragaman bukan sebagai masalah, namun sebagai tantangan dan pengayaan bagi lingkungan belajar (UNESCO, 2003).
Semua karakteristik pendidikan inklusi di atas berimplikasi pada perubahan dan modifikasi pada materi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi umum yang mengkover semua peserta didik dan suatu pengakuan atau kesadaran bahwa menjadi tanggung jawab sistem reguler untuk mendidik semua peserta didik (UNESCO, 2003).
Pentingnya Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005).
Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif. Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat membangun rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak menjadi takut, bodoh, dan menumbuhkan prasangka; (2) semua anak membutuhkan suatu pendidikan yang akan membantu mereka mengembangkan relasi-relasi dan menyiapkan mereka untuk hidup dalam arus utama; dan (3) hanya inklusi yang berpotensi untuk mengurangi ketakutan dan membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian (CSIE, 2005).
Pertimbangan Filosofis. Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).
Langkah-langkah menuju Inklusi Yang Nyata. Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan  merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui dan di atas’ (over and above) kurikulum (UNESCO, 2003).


C.     Tren Baru Urban Elite Sekolah Islam: Sebuah Studi Kasus di Yogyakarta
Kombinasi antara kebangkitan Islam dan kelas menengah di Indonesia menghasilkan pasar baru bagi pendidikan Islam: munculnya elite perkotaan sekolah-sekolah Islam. Kombinasi ini terjadi pada 1990-an karena ada banyak kelas menengah Muslim membelanjakan uang mereka untuk mendidik anak-anak mereka di sekolah dasar dengan biaya yang sangat mahal, yang lebih mahal dibanding biaya kuliah di sebuah universitas negeri. SD Islam ini tidak seperti banyak lembaga pendidikan Islam tradisional lainnya, karena secara garis besar tidak secara langsung terhubung ke organisasi Islam lama seperti NU atau Muhammadiyah, tetapi lebih merupakan yayasan atau waralaba yang independen. Namun, ketegangan antara organisasi-organisasi Islam yang bermain, khususnya di kalangan NU, Muhammadiyah dan PKS, juga terjadi dalam model-model kontestasi di ruang baru ini.
Dalam diskusi Wednesday Forum kali ini, Karen, sang presenter, melihat dua jenis sekolah di Yogyakarta yakni SD Islam Terpadu dan SD Islam Al Azhar. Walaupun keduanya mengaku mempromosikan Islam sejati, presentasi dan praktek-praktek mereka bervariasi, dan berpengalaman tidak hanya melalui pelajaran di kelas, tetapi dalam budaya sehari-hari sekolah.
Karen lulus dari International of Education from Harvard University. Sekarang dia sedang menyelesaikan gelar PhD dalam bidang International Comparative Education Antropologi dari Columbia University, New York City. Karen telah banyak melakukan presentasi internasional, seperti presentasi tentang budaya dan Identitas; perkotaan dan pendidikan Islam; komparasi pendidikan internasional, dan beberapa seminar internasional terpilih lainnya.
Dalam sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan, saran, kritik muncul. Kritik Endy Sa, menanyakan bahwa Karen tidak menunjukkan pertanyaan utama dalam penelitian. Dia hanya menjelaskan tentang fenomena sekolah elite perkotaan, tapi tidak tampak memproblematisasikan. Padahal, menimbulkan berbagai pertanyaan dan masalah merupakan unsur paling penting sebelum kita melakukan penelitian lapangan. Dalam pertanyaan yang sangat mendasar, Endy juga menanyakan Karen latar belakang mengapa ia tertarik dalam topik ini. Pak Berney, Direktur ICRS memberikan masukan dan beberapa pertanyaan kritis, seperti apa yang dimaksud dengan konsep "terpadu" (kombinasi) di sekolah Islam, apakah ini adalah penggabungan antara Islam tradisional, modern dalam sekolah dasar atau apa? Pertanyaan menarik lainnya juga mengenai apakah sekolah-sekolah elite ini menunjukkan adanya kebangkitan kembali gerakan pemurnian Islam dalam agama saat ini di Indonesia?
Beberapa pertanyaan tersebut dijawab secara apologetik. Karena berasal dari disiplin antropologi, Karen mengaku, meneliti secara grounded, seolah peneliti tak membawa suatu masalah. Pertanyaan lain dijawab secara retorik. Dia balik mempertanyakan apakah yang dimaksud terpadu itu?
D.                Sisi lain Sekolah Islam



Jika kita ingin jujur, sesungguhnya nilai pendidikan yang kita berikan kepada siswa-siswi di sekolah bukan hanya pada saat tatap muka di depan kelas, diawali dengan pembukaan, kegiatan inti, dan penutup pelajaran. Akan tetapi seyogyanya setiap aktivitas di lingkungan sekolah harus mempunyai peran edukasi, baik terhadap anak, guru, karyawan maupun orang tua siswa saat berada di lingkungan sekolah. Mulai dari mereka datang ke sekolah, belajar, istirahat, sholat berjamaah, seluruhnya harus terbingkai dengan nilai-nilai pendidikan.
Salah satu jaminan yang diberikan oleh banyak sekolah Islam terpadu yaitu kelebihan dari segi akhlak dan ibadahnya. Bukan hanya sekedar capaian nilai akademis atau IQ. Bahkan ada yang secara tegas memberikan jaminan output dari sekolahnya adalah siswa melaksanakan sholat dengan penuh kesadaran, tanpa disuruh. Sesuatu yang sangat membanggakan sekaligus menakjubkan. Hari gini, sholat tepat waktu, mungkin itu yang menjadi komentar miring dari orang yang tidak suka dengan nilai-nilai keislaman.
Akan tetapi, kalau kita lihat dalam pelaksanaan ibadah keseharian di sekolah-sekolah yang berlabel Islam, maka akan kita dapatkan fenomena yang membuat dahi kita berkerut. Selanjutnya, kita akan bertanya, Seperti inikah cara melahirkan output dengan kesadaran sholat yang tanpa disuruh?. Perhatikan saja para penyelenggara pendidikan Islam, mulai dari guru, karyawan, ataupun orang tua siswa yang secara rutin selalu masbuq dalam sholatnya. Artinya selalu terlambat untuk menunaikan sholat, baik berjamaah di masjid atau musholla, dengan beragam alasan tentunya.
Rapat dan pelatihan pun tidak jarang yang diselenggarakan sampai menabrak waktu sholat. Boleh dikatakan, menunda-nunda pelaksanaan sholat sudah menjadi hal yang wajar di lingkungan sekolah Islam. Padahal seharusnya, mereka itu adalah orang-orang yang dituntut untuk menjadi qudwah (teladan) bagi bawahannya dan juga anak didiknya. Apalagi guru, sosok yang selalu digugu dan ditiru. Sudah bisa kita bayangkan, bagaimana kondisi generasi penerus kita nanti, apabila sosok yang seharusnya menjadi teladan, ternyata tidak memberikan contoh yang tepat untuk diteladani.
Kadang-kadang keadaan seperti ini menyisakan pertanyaan-pertanyaan di dalam hati, yang tidak tepat waktu sholatnya atau waktu pelatihannya? atau juga, harusnya, waktu sholat yang disesuaikan dengan waktu pelatihan atau waktu pelatihan yang disesuaikan dengan waktu sholat?.
Banyak argumentasi yang bisa dibangun untuk menunda-nunda waktu sholat, bahkan bisa seribu satu alasan. Mulai dari kata pamungkas tanggung, tidak ada waktu lagi, sholat kan nomor dua (yang pertama syahadat), ataupun alasan lain. Akan tetapi banyak juga landasan syarâ yang harus kita perhatikan tentang mengutamakan sholat di atas kegiatan yang lainya. Dalil-dalil tentu saja bisa kita dapatkan baik dari Al Quran maupun as sunnah, diantaranya :
Allah Swt berfirman pada surat Al mauun ayat 4 dan 5, yang artinya : Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya
Juga firman Allah SWT, dalam Surat  Annisa ayat 142
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali
Salah seorang sahabat Nabi Saw. Bertanya Yaa Rasulallah, amalan apakah yang paling utama ?. dengan tegas Rasul menjawab : Asshalatu ˜alaa waqtihaa ( Sholat pada waktunya).
Serta masih banyak landasan yang seharusnya menjadi pijakan kita dalam melakukan aktivitas agar kita tidak termasuk orang-orang yang melalaikan sholatnya. Dengan demikian label sekolah Islam bukan hanya sebuah nama atau slogan tanpa amal nyata yang dapat terlihat dalam aktivitas kesehariannya. Inilah salah satu dari sekian banyak PR kita yang harus kita perhatikan. 

BERSAMBUNG....................

No comments:

Post a Comment

silakan komentar