Pages

Thursday 10 November 2011

REALITA SEKOLAH ISLAM TERPADU DI INDONESIA ( BAGIAN PERTAMA)





Tugas Individu

REALITA SEKOLAH ISLAM TERPADU DI INDONESIA



Iain Black01
 







Disusun oleh:
MUH. ABID FAUZAN


JURUSAN PENDIDIKAN AGAM ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR 2010



KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan nikmat dari-Nya sehingga makalah kami yang berjudul “Realita Sekolah Islam Terpadu di Indonesia” dapat diselesaikan, shalawat serta taslim tak lupa kami kirimkan atas junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang telah membawa ummat ini dari alam gelap gulita menuju alam terang benderang.
            Dalam rangka penyelesaian Makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak yang ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan arahan dan bimbingan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Walaupun dengan usaha maksimal telah kami lakukan, tapi sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami dari penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini, dan kiranya makalah ini dapat memberikan masukan dan informasi kepada semua pihak yang berkaitan dengan hal ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu Wataala. Amin….
Wassalam

Artinya:
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.”
(Q.S. Al-Qashshash [28] :88)

Makassar,  Apri  2010

Penulis





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
            Ada perkembangan menarik dalam perkembangan Islam Indonesia kontemporer, setidak-tidaknya pada dasawarsa terakhir, sebagai perwujudan dari upaya menanamkan nilai-nilai Islam, baik dalam pengembangan kepribadian manusia maupun dalam pengembangan kebudayaan. Perkembangan yang dimaksud adalah penggunaan kata ‘syariah’ sebagai label bagi institusi-insitusi yang dikembangkan umat yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam. Ketika operasi bank yang didasarkan pada prinsip bagi hasil diijinkan pemerintah, misalnya, walau pada awalnya (paroh pertama dasawarsa 1990-an) label yang dipakai adalah ‘muamalat’ (seperti pada Bank Muamalat Indonesia), namun pada perkembangan terakhir label yang banyak digunakan adalah ‘syariah’ (seperti pada Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah). Asuransi Takaful Keluarga yang didirikan pada pertengahan dasawarsa 1990-an bermetamorfosis juga namanya menjadi Takaful Indonesia Asuransi Syariah.
Pelabelan kata ‘syariah’(Sekolah Islam Terpadu) nampaknya mulai merambah institusi pendidikan. Ketika pada dasawarsa 1990-an didirikan sekolah-sekolah Islam dengan sistem pembelajaran sepanjang hari (Islamic full-day school)—dikenal dengan nama SDIT, SMPIT atau SMAIT—dan kemudian diperkenalkan  sekolah-sekolah Islam internasional, maka dalam perkembangan terakhir kata ‘syariah’ diperkenalkan sebagai label baru, sebagaimana sedang dirintis oleh SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta Barat, Surakarta. Label baru tersebut menambah label-label yang telah ada: ‘Islam’, ‘terpadu’ (full-day) dan ‘internasional’.
Munculnya label-label tersebut, menurut hemat penulis, tidak terlepas dari arus besar gerakan global ‘kebangkitan Islam’ yang momentumnya dimulai seperempat abad yang lalu ketika terjadi peralihan dari abad ke-14 ke abad ke-15 Hijriyah. Di peralihan abad ini telah terjadi perumusan ulang konsep pendidikan Islam yang dilakukan para pakar pendidikan Islam dunia (Al-Attas, 1979; Ashraf, 1985; Sahadat, 1997), disusul kemudian dengan eksperimentasi dan praksisnya, di samping wacana yang terus berkembang (Sarwar, 1996; Ould Bah, 1998).
Seiring dengan gema kebangkitan pendidikan Islam, pada tataran global berkembang tuntutan perlunya kesempatan pendidikan yang merata kepada semua manusia, tanpa membedakan kemampuan fisik (normal atau tuna), strata sosial, jender, dan latar belakang etnis, budaya dan agamanya. Tuntutan global ini telah melahirkan sebuah deklarasi dunia yang dikenal dengan Education for All (1990) (UNESCO, 1990). Aplikasi dari deklarasi tersebut telah melahirkan kesadaran akan ‘Pendidikan Inklusi’ yang dinyatakan secara eksplisit dalam Salamanca Statement and Framework for Action, produk World Conference on Special Needs Education (Salamanca, Spanyol, 1994) (UNESCO, 1994), dan kemudian diperteguh dalam Dakar Framework for Action, produk World Education Forum (Dakar, Senegal, 2000) (UNESCO, 2003).
Atas dasar asumsi bahwa pelabelan ‘syariah’ yang selanjutnya kita katakan Sekolah Islam Terpadu pada kata sekolah tidaklah dimaksudkan untuk menjelaskan lembaga pendidikan yang memproduk lulusan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu fikih dan/atau kemampuan menjalankan tugas dalam profesi-profesi yang terkait dengan bidang muamalat (perbankan, asuransi, peradilan), sebagaimana tujuan pelabelan ‘syariah’ pada kata fakultas di IAIN/UIN, namun dimaksudkan untuk menjelaskan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam dan sekaligus mensosialisasikannya, tulisan ini mencoba mengelaborasi konseptualisasi pendidikan Islam untuk dijadikan basis sekolah syariah, dan kemudian dikaitkan dengan isu global pendidikan inklusi.
B.      Rumusan Masalah
            Berdasarakan latarbelakang di atas dapat dirumuskan rumusan maslah dalam makala ini yaitu :
            Bagai mana realita Sekolah Islam Terpadu di Indonesia?

C.    Tujuan dan Kegunaan
      Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
Untuk mengetahui realita Sekolah Islam Terpadu di Indonesia
      Sedangkan kegunaan yang dapat diambil makalah ini yaitu :
1.      Untuk penulis sendiri, agar menambah wawasan tentang realita Sekolah Islam Terpadu di Indonesia
2.      Untuk dosen, menjadi referensi dalam pengajaran mata kuliah.
3.      Untuk para mahasiswa, menjadi bahan diskusi dalam realita Sekolah Islam Terpadu di Indonesia
4.      Untuk masayarakat, menjadi pengembang bahan ajar serta penambahan pemahaman realita Sekolah Islam Terpadu di Indonesia.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konseptualisasi Pendidikan Islam sebagai Basis Sekolah Syariah

Konseptualisasi di sini dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan filosofis-normatif dan pendekatan historis-linguistik. Pendekatan pertama digunakan untuk mencari apa itu hakekat manusia dengan bertolak dari norma-norma Qur’ani, sementara pendekatan terakhir digunakan untuk melacak tradisi Muslim dalam mengembangkan pendidikannya terutama di era klasik, termasuk penggunaan kata-kata kunci yang terkait dengan pendidikan Islam dalam tradisi Muslim tersebut. Produk kajian dari dua pendekatan tersebut kemudian dijadikan dasar bagi perumusan konsep pendidikan Islam yang dijadikan basis bagi sekolah syariah.
            Hakekat Manusia. Banyak cara dipakai untuk menjelaskan hakekat manusia, namun dalam tulisan ini lebih terfokus pada ‘sesuatu yang amat vital yang menentukan hidup manusia,’ baik di tengah masyarakat maupun di mata Allah SWT. Dengan mengkaji pesan-pesan Al-Qur’an, sesuatu yang amat vital yang menentukan hidup manusia itu tidak lain adalah amalnya yang mencakup gagasan, perbuatan dan karya [Q.S. Al-Mulk (67): 2; At-Taubah (9): 105][1], sebagai wujud penjelmaan kepribadiannya yang dikembangkan melalui pelatihan potensi-potensinya [Q.S. Asy-Syams (91): 7-10][2], untuk melaksanakan  mandatnya,  baik  sebagai  hamba  Allah [Q.S. Adz-Dzâriyât (51): 5][3] maupun sebagai khalifah-Nya [Q.S. Al-Baqarah (2): 30]; Hûd (11): 61][4]
Pendidikan dalam Tradisi Muslim Klasik. Pendidikan adalah kewajiban pertama seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Pengetahuan Tuhan diasosiasikan dengan proses belajar dan mengajar [Al-`Alaq (96): 1-5][5]. Proses pendokumentasian secara baik teks-teks Islam (terutama Al-Qur’an dan As-Sunnah) memperlihatkan kemunculan awal ‘tradisi melek huruf’ dan pewarisannya di antara sesama Muslim sebagai sebuah prioritas sosial. Telah menjadi tradisi kuat dalam masyarakat Muslim sejak awalnya untuk membaca, menulis dan menghafal firman-firman Allah SWT dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dan penafsirannya dan ilmu-ilmu tentang Hadis berikut kritik sanad dan matannya (otentisitas perawi dan subtansi hadis) kemudian menjadi fondasi bagi keahlian dalam berbagai disiplin ilmu, terutama hukum Islam (Douglass dan Shaikh, 2004).
Menjelang periode kekhalifahan Abbasiyah awal, tradisi melek huruf telah menjadi mapan dalam berbagai macam bidang studi. Penulisan sejarah menjadi menonjol untuk mencatat peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan awal Islam. Wilayah-wilayah baru Islam umumnya memiliki komitmen pertamanya pada penulisan, dan kemunculan ‘sejarah universal’ telah mensintesiskan banyak pengetahuan Yunani Klasik dan peradaban India dan Persia (Duri, 1983). Kemanusiaan berkembang dengan berkembangnya peradaban Islam. Sains telah berkembang di atas landasan pengetahuan praktis komunitas Muslim dalam pelayaran, navigasi, astronomi, perdagangan, peternakan dan pertanian. Perkembangan hukum Islam telah memotivasi pembuatan penunjuk waktu dan kalender yang baku, arah kiblat yang akurat, dan kalkulasi yang tepat dalam warisan, timbangan dan pengukuran. Rasa ingin tahu yang besar, akses geografis yang mudah dan fasilitas yang memadai—termasuk suplai dana dari khalifah dan wakaf dari umat—telah mendorong dinamika penerjemahan, penyerapan, pengembangan dan penyebaran pengetahuan dalam berbagai bidang secara masif (Hassan dan Hill, 1986). Kedatangan teknologi pembuatan kertas dari Cina telah memberikan daya dorong tambahan pada dinamika tersebut (Sardar dan Malik, 1997).
Tumbuh-kembangnya tradisi melek huruf ini telah mengakibatkan pembentukan institusi-institusi pendidikan yang memajukan gagasan tentang pendidikan Islam, seperti pemerataan pendidikan atau pendidikan untuk semua untuk konteks kurun saat itu. Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bentuk konkret tradisi melek huruf, telah menyumbangkan suatu konsep tentang pendidikan Islam yang menempatkan tidak adanya rintangan antara belajar yang relijius dan belajar yang sekuler. Al-Qur’an sendiri merupakan sumber inspirasi yang kaya bagi banyak bidang ilmu, baik karena anjurannya untuk mencari dan berbagi ilmu maupun karena penjelasannya tentang fenomena alam yang sungguh sangat menggugah rasa ingin tahu [Al-An`âm (6): 96-97][6].
Kata Arab bagi agama, yaitu dîn—Islam disebut sebagai dîn, ternyata memiliki hubungan yang kuat dengan kehidupan yang intelektual dan beradab. Akar kata dîn adalah d-y-n, yang maknanya menekankan hubungan antara kehidupan yang spiritual, intelektual dan beradab. Empat makna pokok dari akar kata tersebut adalah: kewajiban bersama, ketundukan atau pengakuan, kewenangan yudisial dan ke­cenderungan hati. Dîn mengekspresikan (pemenuhan) kewajiban terhadap Tuhan Yang Esa, berdasarkan ke­cenderungan hati terhadap Sang Pencipta. Akar kata d-y-n juga berkonotasi gagasan tentang hutang, sebuah transaksi yang melibatkan pertukaran kepercayaan dan kewajiban. Kata kota—madînah­­—berasal dari akar kata yang sama. Kota adalah suatu komunitas dengan relasi dan transaksi sosial yang kompleks, berbasis pada pemenuhan kewajiban secara bertanggung jawab dan timbal balik, dan ketundukan kepada keputusan dan otoritas sipil. Dua basis tersebut mengimplisitkan keadaban. Sedangkan kata peradaban—tamaddun—terkait juga dengan akar kata d-y-n. Kata kerja tamaddana berarti mendirikan kota atau memanusiakan pemikiran, sehingga tamaddun berarti sivilisasi atau pengadaban masyarakat. Dengan demikian, agama dan pendidikan dibawa bersama dalam usaha manusia untuk mengetahui dan mengagungkan Tuhan Pencipta, serta mencari pengetahuan dan menggunakannya untuk kemanfaatan masyarakat. Pengetahuan tersebut dikembangkan dan diwariskan untuk kesinambungan masyarakat yang beradab (Douglass dan Shaikh, 2004).
Dalam tradisi Islam, ada dua kata kunci yang memiliki akar kata yang sama, yaitu `ilm (jamaknya `ulûm, pengetahuan) dan `alîm (jamaknya `ulamâ’, orang yang mengembangkan dan mewariskan pengetahuan). Dikenal dua klasifikasi pengetahuan yang berasal dari sumber yang sama, Tuhan Sang Pemilik Khazanah Pengetahuan, yaitu `ulûm qauliyah (pengetahuan yang dikembangkan dari fenomena Allah yang terdapat dalam wahyuNya) dan `ulûm kauniyah (pengetahuan yang dikembangkan dari fenomena Allah yang terdapat dalam alam ciptaanNya) (Santoso, 1992). `Ulamâ’ yang perannya tidak hanya sebagai pendidik, namun juga sebagai sarjana dan ahli hukum, menjadi kelompok sosial yang berpengaruh sepanjang sejarah peradaban Muslim dengan menjadi hakim dan dipercaya memimpin yayasan sosial, dan bahkan bila perlu menjadi pengontrol penguasa, di samping sebagai aktor yang memadukan kepercayaan dan praktik Islam dan memelihara tradisi melek huruf dalam masyarakat Muslim (Douglass dan Shaikh, 2004).
            Masih ada dua kata kunci tambahan. Pertama, adab yang berarti suatu kebiasaan atau norma perilaku yang diwariskan antar generasi. Seiring dengan perkembangan peradaban Muslim, kata tersebut lalu bermakna ‘kualitas kejiwaan yang tinggi, pengasuhan yang baik, kehalusan budi dan kesopanan’. Pada masa Abbasiyah, adab telah diterima sebagai produk pendidikan yang bernilai. Dalam sistem pendidikan, adab menerima pemaknaan intelektualnya, yaitu sejumlah pengetahuan yang membuat seseorang sopan dan halus budinya. Pengetahuan yang dimaksud disajikan melalui retorika, tata bahasa, leksikografi, metrik, puisi, sastra dan sains. Konsep adab, dengan demikian, membantu pengembangan estetik dari kehidupan yang beradab dan menjadi bagian yang integral dari pendidikan dalam spirit Islam. Kedua, tarbiyah yang merujuk pada pendidikan moral, dan berasal dari suatu akar kata r-b-w yang terkait dengan akumulasi. Pendidikan moral disebut tarbiyah karena memerlukan akumulasi latihan dan contoh (Douglass dan Shaikh, 2004).
Penerimaan pengetahuan, etika dan suatu pandangan hidup moral merupakan suatu landasan bagi pencapaian apa yang diminta Allah terhadap setiap manusia—untuk melaksanakan apa yang disebut baik dan menghindari apa yang disebut jahat. Pendidikan memberikan seseorang pengetahuan untuk mengenal tugas, fondasi moral untuk mengetahui apa yang harus dikerjakan, dan sumber-sumber personal (baca: etika) untuk melaksanakan tugas.
            Individu-individu yang dididik secara Islam akan mengkombinasikan aspek-aspek pendidikan Islam yang telah dijelaskan di atas. Mereka akan benar-benar mengetahui secara baik sumber-sumber orisinal Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana juga mengenal secara baik disiplin-disiplin keilmuan. Dalam mempelajari dîn, mereka akan belajar melaksanakan kewajiban-kewajiban iman dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Melalui pengajaran etika dan moral, individu terdidik akan bertindak penuh tanggung jawab secara sosial, menerima penghormatan sosial kehidupan beradab, dan ikut serta dalam menyumbangkan sejumlah ketrampilan dan pengetahuan.
            Konsep Pendidikan Islam. Dengan memahami hakekat manusia dan pendidikan dalam tradisi Muslim seperti diuraikan di atas, dapatlah dirumuskan konsep pendidikan Islam, yaitu proses membantu pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang melalui pelatihan segenap daya dan potensi (termasuk daya dzikir dan nalarnya) yang dilaksanakan sedemikian rupa sehingga nilai-nilai Islam tertanam dalam kepribadiannya dan melahirkan amal dan kebudayaan yang berorientasi kepada nilai-nilai tersebut, sehingga mandatnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya dapat diaktualisasikan (Cf. al-Attas, 1979; Ashraf, 1985).
            Pelatihan dilaksanakan dengan keterpaduan tiga kata kunci ta`lîm, tarbiyah dan ta’dîb. Ta`lîm, yang kata dasarnya `ilm (telah diuraikan di atas) dan bermakna pembelajaran, dilaksanakan dengan strategi yang sarat dengan cinta dan keramahan namun dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Tarbiyah dilaksanakan dengan penanaman perilaku yang merefleksikan moral dan nilai Islam seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ta’dîb, yang kata dasarnya adab (telah diuraikan juga di atas) dan bermakna pengadaban, dilaksanakan dengan membantu peserta didik mengembangkan dimensi estetik dan meraih tujuan-tujuan spiritual melalui pencarian pengetahuan dan pelayanan kepada masyarakat. Akhirnya keterpaduan ta`lîm, tarbiyah dan ta’dîb—disebut tiga dimensi proses pendidikan Islam—akan memperkuat spirit penelitian dan pengembangan yang terbuka di mana iman dan nalar mengantarkan peserta didik menuju pengetahuan yang tinggi, kemampuan yang produktif, perilaku bermoral dan estetik, pilihan hidup individual yang logis dan sehat, dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Dengan demikian, operasionalisasi ta`lîm, tarbiyah dan ta’dîb tidak hanya mengambil bentuk-bentuk formal, namun juga non-formal, dan bahkan informal.
            Tiga dimensi proses pendidikan di atas, ta`lîm, tarbiyah dan ta’dîb, bagaimanapun, menyiratkan fungsi-fungsi pendidikan Islam. Pendidikan Islam tidak hanya berfungsi secara internal untuk mengembangkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan produktif, tetapi secara eksternal berfungsi juga untuk mengembangkan ilmu dan peradaban. Selain itu, tiga dimensi proses pendidikan di atas menyiratkan juga inter-relasi antara manusia, masyarakat, dan lingkungannya, dan antara ketiganya dengan Allah, dan sebagai konsekuensinya, pendidikan merupakan tanggung jawab individu, masyarakat (termasuk keluarga) dan negara.
            Ketika dikaitkan dengan dîn, madînah, dan tamaddun, maka pendidikan dalam perspektif Islam dalam kerangka  hubungan vertikal (hubungan manusia dengan Allah) merupakan ibadah, bahkan suatu kewajiban prasyarat untuk dapat memahami kewajiban Islam yang lain, dan dalam kerangka hubungan horisontal (hubungan antara sesama manusia dan dengan makhluk lainnya) pendidikan merupakan kewajiban prasyarat untuk membangun kebudayaan/peradaban (memelihara mandat sebagai khalifah Allah).
BERSAMBUNG.......................


[1] Q.S. Al-Mulk (67): 2: "الذى خلق الموت والحياة ليـبلوكم أيـّـكم أحـسن عمــلا ..."
  Q.S. At-Taubah (9): 105: "وقل اعمـلوا فـسيرى الله عـملكم ورسوله والمؤمنون وستردّ ون إلى عالم الغيب والشـهادة فسـيـنبّـئكم بما كـنتم تعــملون" 
[2] Q.S. Asy-Syams (91): 7-10:  "ونفـس وما سـوّاها، فأ لهـمها فـجـورها وتـقواهـا، قـدأفـلح من زكـّـاها، وقـد خا ب من دسّــاها" 
[3] Q.S. Adz-Dzâriyât (51): 56: "وماخـلقـت الجـنّ والإ نـس إلا ّ ليـعـبدون"
[4] Q.S. Al-Baqarah (2): 30: "وإذ قال ربـّـك للملآ ئكـة إنـّى جـاعـل فى الأرض خـلـيفة"
  Q.S. Hûd (11): 61: "هـوأنـشأكم من الأرض واسـتعـمركم فــيهـا"  
[5] Q.S. Al-`Alaq (96): 3-5: "إ قـرأ وربـّـك الأ كـرم، الذى عـلـّم بالقــلم، عـلـّم الإ نــسان مالم يعــلم"
[6] Q.S. Al-An`âm (6): 96-97: "فالق الإصـباح وجـعل الليـل سـكـنا والشـمس والقـمرحـسـبانا، ذلك تـقديرالعـزيـزالعـلـيم. وهـوالذى 
جـعل لكم النـجـوم لتـهتـد وا بها فى ظـلمات البرّ والبـحر، قـد فـصّـلنا الآيـات لقوم يعـلمون"

1 comment:

  1. konsep dasar sekolah sudah ada sejak jaman kenabian. Ikuti: https://tulisansulaifi.wordpress.com/2016/09/13/sejarah-sekolah-dalam-islam/

    ReplyDelete

silakan komentar