Pages

Wednesday 6 June 2012

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (1)


Tugas kelompok

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


 












             Oleh:
Kelompok IV
Ø  Muh. Abid. Fauzan
Ø  Muliana
Ø  Muh. Sapri
Ø  Nur jannah ABD


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKSSAR 2010.









KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan nikmat dari-Nya sehingga makalah kami yang berjudul Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia dapat diselesaikan, shalawat serta taslim tak lupa kami kirimkan atas junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang telah membawa ummat ini dari alam gelap gulita menuju alam terang benderang.
            Dalam rangka penyelesaian Makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak yang ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan arahan dan bimbingan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Walaupun dengan usaha maksimal telah kami lakukan, tapi sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami dari penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini, dan kiranya makalah ini dapat memberikan masukan dan informasi kepada semua pihak yang berkaitan dengan hal ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu Wataala. Amin….

Makassar,  Mei  2010

Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Umat Islam sangat meyakini bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin --rahmat bagi seluruh alam. Itu memang firman Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim. Umat Islam juga sangat meyakini bahwa segala yang penuh kasih dan penuh sayang datang hanya dari Tuhan. Lawannya adalah watak setan, yang amat lihai membujuk manusia hanya berbuat buruk.
Baik dan buruk, haq dan batil --seperti disuratkan dalam beberapa ayat suci --tak bisa disatukan, atau, dalam bahasa politik, dikompromikan. Celakanya, dalam konteks politik (sejauh yang dipahami banyak orang selama ini), yang terjadi bukan cuma koor menerima rahmat dari langit. Dinamika politik justru terjadi karena di dalamnya ada tawar-menawar, tarik-menarik, bahkan proses tindas-menindas berbagai kepentingan yang tidak terbatas pada baik atau buruk, suci atau najis, mutlak atau relatif.
Sejarah telah mencatat peran umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia tentunya ini merupakan hasil dari didikan Islam para pejuang kemerdekaan. Sehingga indonesia ti dak lepas dari pendidikan Islam di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingion membahas pendidikan islam di indonesia.
B.      Rumusan Masalah
            Berdasarakan latarbelakang di atas dapat dirumuskan rumusan maslah dalam makala ini yaitu :  Bagaimana Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
            Dilaporkan oleh ibnu batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat ju’mat sampai waktu ashar. Dari keterangan itu bdiduga kerajaan samudra pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama islam dan tempat berkumpul ulama-ulama  dari bebagai negara islam untuk berdikusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.[1]



            Dengan demikian, samudra pasai merupakan tempat studi islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuahkerajaan. Sementara itu, untuk luar kerajaan, halaqah ajaran islam diduga sudah dilakuakan di koloni-koloni tempat pedagang islam  berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Proses halaqah ajaran islam yang dilakukan oleh kerajaan islam diduga dilakukan di mesjid istana bagi anak-anak pembesar negara, di masjid-masjid lain, mengaji di rumah\-rumah guru dan surau-surau untuk masyarakat umum. Dari halaqah semacam itu nanti berkembang menjadi lembaga pendidikan islam.
Setelah kerajaan samudra pasai mundur dalam bidang politik, tradisi pendidikan agama islam terus berlanjut. Samudra pasai terus berfungsi sebagai pusat studi islam di asia tenggara, walaupun scara politik tidak berpengaruh lagi. Ketika kerajaan islam malaka muncul menjadi pusat kegiatan politik, malaka berkembang juga menjadi pusat studi islam tidak berkurang, bahkan kadang-kadang masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh ulama malaka selain sebagai pusat politik islam, juga giat melaksanakan pengajian dan pendidikan islam. Belum didapatkan data bagaimana pendidikan Islam dilangsungkan. Besar kemungkinan, sebagaimana di samudra pasai, pendidikan islam dilangsungkan di mesjid isatana bagi keluarga pembesar, di mesjid-mesjid, di rumah-rumah, serta surau-surau bagi masyarkat umum.
            Istana juga berfungsi sebagai tempat mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan, juga berfungsi sebagai pusat penerjamahan dan penyalinan kitab-kitab, terutama kitab-kitab keislaman[2]. Mata pelajaran yang diberiakan di lembaga-lembaga pendidikan islam dibagi menjadi dua tingkatan:
a.       Tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis, bahasa arab, pengajian alquran, dan ibadah praktis;
b.      Tingkat yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu fiqih, tasawuf, ilmu kalam, dan lain sebagainya.
Banyak ulama mancanegara datang ke Malaka dari afganistan, Malabar, Hindustan, terutama dari arab untuk mengambil peran dalam penyiaran dan pendidikan agama islam. Ulama itu biasanya diberi kedudukan tinggi dalam kerajaan. Para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai negara Asia Tenggara. Dari jawa, Sunang Bonang dan Sunang Giri pernah menuntut ilmu ke malaka setelah selesai menjalani pendidikan agama, mereka mendirikan tempat pendidikan islam di tempat masing-masing.
Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti masjid Bait al-Rahman di banda aceh dan pusat-pusat pendidikan islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah samsuddin al-sumatrani. Tradisi ini dlanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga di aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan islam di Asia tenggara.
Para ulama besar ini banyak berjasa mendirikan lembaga-lembaga pendidikan islam seperti dayah berkembang menjadi semacam perguruan tinggi. Nuruddin al-Raniri dan Abd. Rauf Singkel dan ulama-ulama yang mengajar dilembaga pendidikan ini. Para penuntut ilmu yang datang dari luar aceh belajar kepada mereka seperti syeikh buhanuddin yang berasal dari Ulakan Pariaman Minangkabau. Setelah tamat ia pulang dan mendirikan lembaga pendidikan islam yang disebut surau. Kemajuan pesat lembaga pendidikan di Aceh ini telah menyebabkan orang menjulukinya sebagai “serambi Makkah”[3]. Murid dari kerajaan lain belajar kepada guru ngajinya masing-masing, kemudian meningkat belajar lebih tinggi di aceh, sesudah itu ke Makkah.
Samjudra Pasai, Malaka, dan aceh merupakan pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama islam. Dari sinilah ajaran-ajaran Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulamanya serta murid-murid yang menuntut ilmu ke sana, sebagai mana dengan Giri di jawa timur terhadap daerah-daerah indonesia bagian timur. Karya-karya sastra dan keagamaan segera berkembang di kerajaan-kerajaan islam. Tema dan isi karya-karya itu sering mirip antara satu dengan yang lain.. Tema dan isi karya-karya itu sering mirip antara satu dengan yang lain. Kerjaan-kerajaan itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang yaitu islam. Hal ini menjadi pendorong menjadi pendorong terjadinya interakasi budaya yang makin erat.
Sistem pengajaran bagi setiap umat Islam, sebagaimana di negeri-negeri Muslim, adalah pengajian alquran. Pada tahap awal lapal bacaan bahasa arab (huruf-huruf hijaiah), sesudah itu menghapal surat-surat pendek (juz’amma) beserta tajwidnya yang diperlukan untuk shalat[4]. Pelajaran lebih lanjut berkenaan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum islam (fiqih) dan tasawuf. Yang memberi pelajaran lebih lanjut diberikan oleh seorang ulama besar terutama yang pernah belajar ke Makkah.
Setelah seorang murid dikenalkan dengan beberapa buku pedoman yang bersifat elementer, pada tingkatan lebih lanjut segera diajarkan buku pegangan yang lebih besar. Buku-buu besar itu dibaca kalimat demi kalimat dibawah bimbingan guru: guru membaca satu-dua kalimat dalam bahasa arab, sesudah itu guru menerjamahkan kebahasa melayu ditirukan oleh murid-murid. Murid-murid yang rajin akhirnya memeroleh kemahiran, sehingga mampu menerjamahkan buku bahasa arab ke dalam bahasa melayu.
Pendidikan islam mengalami kemajuan pesat setalah para ulama mengarang buku-buku pelajaran ke islaman menggumakan bahasa melayu, seperti karya-karya Hamzah Fanzuri, Nuruddin al-raniri, Abd. Rauf Singkel di aceh. Hal ini terjadi setelah banyak orang-orang indonesia belajar ke negeri arab dan menjadi ulam terkenal setelah kembali ke  negeri asalnya.
Di Minangkabau lembaga pendidikan disebut surau. Surau sebelum islam berfungsi sebagai tempat menginap anak-anak bujang. Setelah islam datang surau dipergunakan tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan islam, seperti balajar membaca alquran. Dengan kata lain, surau berfungsi semacamam sebuah masjid berukuran kecil karena tidak digunakan untuk shalat jumat.
Yang mula melakukan islamisasi surau adalah syaikh Burhanuddin (1641-1691) setelah kembali menuntut ilmu keislaman kepada Abd. Rauf Singkel di kutaraja Aceh. Burhanuddin kembali ke kampung halamnnya di Ulakan-Pariaman, mendirikan surau untuk mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan pengembangan Islam selanjutnya di Minangkabau[5]. Surau inilah cikal bakal lembaga pendidikan islam yang lebih teratur di masa berikutnya. Murid-muridnya kemudian kembali ke tempat masing-masing, mendirikan surau-surau sambi melakukan perbaikan dan pengembangan[6].
Di jawa lembaga pendidikan islam disebut pesantren. Sebagaimana di aceh (dayah atau rangkan), di Minangkabau (surau), nama lembaga pendidikan pesatren tidak berasal dari tradisi timur tengah tetapi dari nama lembaga sebelum islam. “pesantern” berasal dari bahasa tamil santri yang berarti guru ngaji[7]. Sementara itu C.C. Berg berpendapat bahwa “pesantern” berasal dari kata india shastri, berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu[8].



Di jawa sebelum islam datang, pesantren sudah dikenal sebagai lembaga pendidikan gama hindu. Setelah islam masuk, nama itu menjadi nama lembaga pendidikan agama islam. Lembaga pendidikan agama islam ini didirikan oleh para penyiar agama islam pertama yang aktif menjalankan dakwah. Mereka masuk kedaerah pedalaman jawa berhasil mendirikan lembaga. Dari lembaga pendidikan inilah menyebar agama islam ke barbagai pelosok jawa dan wilayah indonesia bagian timur. Oleh karena itu, di jawa sudah ada lembaga pendidikan sejak abad ke-15 dan ke-16. 
Menurut sumber lokal, lembaga pendidikan islam pertama di jawa adalah pesantren giri dan pesantren gresik di Jawa Timur. Pesantren gresik didirikan Maulana Malik Ibrahin yang mendidik mubaliq-mubalig yang nantinya menyiarkan agama islam keseluruh Jawa. Sedangkan pesantren Giri didirikan oleh sunang giri sekembalinya menuntut ilmu keislaman di Malaka. Sunan Giri (Raden Paku) pada tahun 1485 menetap di giri sebagai kiai besar dengan gelar prabu (raja) satmata. Ia membangun istana dan masjid sebagai sebuah kerajaan Islam, sehingga digelari raja ulama. Prabu satmata sebagai  orang pertama yang membangun pusat pendidikan sekaligus pusat berkhalwat[9]. Pesangtren giri ini dikunjungioleh santri-santri setempat, juga para penuntut ilmu dari Maliku, terutama Hitu. Sekembalinya ke maluku mereka menjadi guru agama, khotib, modin, qadi, yang menurut de Graaf mendapat upah dalam bentuk cengkeh[10].
Di kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam pertama dikenal dengan nama langgar. Orang pertama yang mendirikan langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-banjari, seorang ulama banjar yang pernah menuntut ilmu keislaman di Aceh dan Makkah selama bebepa tahun. Sekembalinya ke banjarmasin, ia membuat langgar yang didirikan di pinggiran ibukota kerajaan yang kemudian dikenal dengan nama kampung dalam pagar[11]. Langgar di jawa banyak kemiripannya dengan pesantren di Jawa.
Semua ilmu yang diberikan lembaga pendidikan islam di Nusantara ditulis dalam huruf Arab Melayu atau pegon. Dengan huruf ini masyarakat melayu umumnya pandai membaca dan menulis. Pada tahun 1597 orang spanyol pernah menguji orang melayu di Brunai, ternyata dua dari tujuh orang itu dapat menulis dan smuanya  mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri.
Di Sulawesi adalah raja Gowa XIV, Sultan Alauddin yang pertama mendirikan masijid Bontoalo. Masjid ini berfungsi sebagai tempat sholat, juga sebagai pusat pengajian, pendidikan dan pengajaran Islam. Yang bertindak sebagai guru adalah Dato Ri Bandang, seorang ulama asal minangkabau yang pernah menuntut ilmu keagamaan di Giri. Ia di bantu oleh Dato Pattimang dan Dato Ri Tiro yang diduga keduanya dari minangkabau. Selanjutnya mesjid berkembang menjadi pesantren yang masih bertahan sampai sekarang. Dari lembaga pendidikan islam inilah ulama Makassar Syaikh Yusuf al-Makassari mendapat pendidikan dasar keagamaan sebelum melanjutkan ke Aceh selanjutnya ke makkah. Pelajaran yang diberikan di pesantren Bontoalo ini meliputi pi ih, tasawuf, tafsir hadis, balagah, dan mantiq (logika).
Metode pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan keislaman itu adalah serogan dan bandungan. Sorongan adalah sistem pengajaran bersifat individual, biasanya bagi murid pemula. Metode ini digunakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan langgar secara perorangan. Sedangkan metode bandungan (weton atau halaqah) adalah sekelompok santri mendengarkan seorang guru membaca, menerjamahkan, menerangkan, mengulas buku islam dalam bahasa Arab yang sering di sebut “kitab kuning” dengan cepat. Kiai atau syaikhtidak begitu memerhatikan apakah seorang santri menangkap penjelsannya atau tidak. Santri-santri senior biasanya membantu tugas-tugas kiai atau syaikh. Mereka di panggil ustads. Ustad yang banyak pengalaman sering digelari kiai muda. Kiai muda atau ustad masih mendapat pendidikan dalam kelas yang disebut “kelas musyawarah”. Di kelas ini murid mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk kiai, biasanya kitab klasik berbahasa Arab (semacam diskusi).
Dalam pesantren tidak ada kurikulum, tiap pesantren biasnya punya spesialisasi senddiri sesuai dengan keahlian kiai besarnya. Kiai dalam hal ini memimpin kelas musyawarah, biasanya dilansungkang dengan soal jawab dalam bahasa arab. Di Sumatra dan Kalimantan buku-buku yang dipelajari santri-santri biasanya buku-buku orisinil yang dikarang oleh ulama melayu dalam bahasa melayu, sedangkan di Jawa penekanan diberikan kepada kitab arab klasik yang terkadang diterjemahkan ke dalam bahsa Jawa.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak, pendidikan islam bertambah maju karena telah ada pemerintah yang menyelenggarakannya dan pembesar-pembesar Islam membelanya. Pada tahun 1476 di Bintaro dibentuk organisasi bayankare islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran islam[12]. Dalam rencana pekerjaanya disebutkan sebagai berikut:
a.       Tanah Jawa Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan pendidikan/pengajaran. Pimpinan pekerjaan ditiap-tiap bagian dikepalai seorang wali dan seorang pembantu
b.      Supaya mudah dipahami dan diterima masyarakat, didikan dan ajaran islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, asal tidak menayalahi hukum syara’.
c.       Para wali/badal selain harus pandai ilmu agama serta memlihara budi pekerti supaya menjadi suri tauladan bagi masyarakat.
d.      Di Bintaro segera didirikan masjid agung untuk menjadi sumber ilmu, pusat kegiatan pendidikan dan pengajaran Islam.
Kebijaksanaan  wali-wali menyiarkan agama islam dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran islam dalam segala cabang kebudayaan sangat memuaskan, sehingga agama islam tersebar keseluruh indonesia.
Biaya pesantren atau pendidikan islam dalam tangkat rendah sampai tingkat tinggi ditanggung oleh masyarakat islam sendiiri, seperti pungutab sakat, srakah (iuran nikah), wakaf, dan palagara (pembayaran suatu hajat penduduk desa). Sementara itu, penghulu, naib dan pegawai-pegawainya, modim kiai anom,kiai sepuh, mendapat penghasilan selain gaji juga tanah sawah (lungguh). Pada masa kerajaan kartasura (± tahun 1700 ada bebrapa pesatren besar dijadikan pendidikan, yaitu diberikan tanah, sawah, dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Tanah itu disebut Tanah Mutihan. Namun, sayang, tahun 1916-1917 semua perdikan dihapuskan oleh belanda dijadikan tanah gubernemen.


[1] Taufik Abdullah,Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia(Jakarta:LP3ES,1987), hlm, 110
[2] H. Abdullah Ishak, Islam di Nusatara (Khususnya di Tanah Melayu),(selangor: al-Rahmaniyah, 1990), hlm. 166.
[3] Mahmud Yunus, sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hlm. 174
[4] C. Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hlm. 31.
[5] Mahamud Yunus, Op. Cit., hlm 23
[6] Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis” dalam Dawam Raharjo(Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, (Jajarta:P3M, 1985), HLM. 156.
[7] A.H. John, “Islam in South East Asia, Reflections and The New Directions” dalam Indonesia, CMIP, No. 19, tt., hlm.40.
[8] C.C. Berg, “Indoesia” dalam H.A.R. Gibb(Ed.), Wither Islam A Survey Modern Movement in The Moslem, (London, 1931), hlm. 257.
[9] H.J deGraaf, “Sout east Asian islam to the eighteenth century” dalam pm holt, et. Al., the canbridge history of islam, (london : cambridge universaty bPress, 1970), vol. Ii,hlm. 175
[10] Ibid, hlm. 135.
[11] Farid A,   Pesantren , madrasah sekolah(jakarta: LP3S, 1986), HLM. 94.
[12] Mahmud Yunus, Op. Cit., hlm. 217.


bersambung makalahnya.....

1 comment:

silakan komentar