Tugas kelompok
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh:
Kelompok IV
Ø Muh. Abid. Fauzan
Ø Muliana
Ø Muh. Sapri
Ø Nur
jannah ABD
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKSSAR 2010.
|
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt karena
berkat limpahan nikmat dari-Nya sehingga makalah kami yang berjudul “Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia”
dapat diselesaikan, shalawat serta taslim tak lupa kami kirimkan atas junjungan
kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang telah membawa ummat ini
dari alam gelap gulita menuju alam terang benderang.
Dalam
rangka penyelesaian Makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak
yang ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan arahan dan
bimbingan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Walaupun
dengan usaha maksimal telah kami lakukan, tapi sebagai manusia biasa tentunya
tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami
dari penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini,
dan kiranya makalah ini dapat memberikan masukan dan informasi kepada semua
pihak yang berkaitan dengan hal ini.
Akhirnya
dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekhilafan dan
kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah diberikan oleh semua
pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu Wataala. Amin….
Makassar, Mei 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Umat Islam sangat meyakini bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin
--rahmat bagi seluruh alam. Itu memang firman Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim.
Umat Islam juga sangat meyakini bahwa segala yang penuh kasih dan penuh sayang
datang hanya dari Tuhan. Lawannya adalah watak setan, yang amat lihai membujuk
manusia hanya berbuat buruk.
Baik dan buruk, haq dan batil --seperti disuratkan dalam beberapa
ayat suci --tak bisa disatukan, atau, dalam bahasa politik, dikompromikan.
Celakanya, dalam konteks politik (sejauh yang dipahami banyak orang selama
ini), yang terjadi bukan cuma koor menerima rahmat dari langit. Dinamika
politik justru terjadi karena di dalamnya ada tawar-menawar, tarik-menarik,
bahkan proses tindas-menindas berbagai kepentingan yang tidak terbatas pada
baik atau buruk, suci atau najis, mutlak atau relatif.
Sejarah telah mencatat peran
umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia tentunya ini merupakan
hasil dari didikan Islam para pejuang kemerdekaan. Sehingga indonesia ti dak
lepas dari pendidikan Islam di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingion
membahas pendidikan islam di indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarakan
latarbelakang di atas dapat dirumuskan rumusan maslah dalam makala ini yaitu
: Bagaimana Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Zaman Kerajaan Islam
Dilaporkan oleh ibnu batutah dalam
bukunya Rihlah Ibn Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada
tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat ju’mat sampai
waktu ashar. Dari keterangan itu bdiduga kerajaan samudra pasai ketika itu
sudah merupakan pusat agama islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari bebagai negara islam untuk berdikusi
tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.[1]
Dengan demikian, samudra pasai
merupakan tempat studi islam yang paling tua yang dilakukan oleh
sebuahkerajaan. Sementara itu, untuk luar kerajaan, halaqah ajaran islam diduga
sudah dilakuakan di koloni-koloni tempat pedagang islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Proses
halaqah ajaran islam yang dilakukan oleh kerajaan islam diduga dilakukan di
mesjid istana bagi anak-anak pembesar negara, di masjid-masjid lain, mengaji di
rumah\-rumah guru dan surau-surau untuk masyarakat umum. Dari halaqah semacam
itu nanti berkembang menjadi lembaga pendidikan islam.
Setelah
kerajaan samudra pasai mundur dalam bidang politik, tradisi pendidikan agama
islam terus berlanjut. Samudra pasai terus berfungsi sebagai pusat studi islam
di asia tenggara, walaupun scara politik tidak berpengaruh lagi. Ketika
kerajaan islam malaka muncul menjadi pusat kegiatan politik, malaka berkembang
juga menjadi pusat studi islam tidak berkurang, bahkan kadang-kadang masalah
yang tidak dapat dipecahkan oleh ulama malaka selain sebagai pusat politik
islam, juga giat melaksanakan pengajian dan pendidikan islam. Belum didapatkan
data bagaimana pendidikan Islam dilangsungkan. Besar kemungkinan, sebagaimana
di samudra pasai, pendidikan islam dilangsungkan di mesjid isatana bagi
keluarga pembesar, di mesjid-mesjid, di rumah-rumah, serta surau-surau bagi
masyarkat umum.
Istana juga berfungsi sebagai tempat
mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan, juga
berfungsi sebagai pusat penerjamahan dan penyalinan kitab-kitab, terutama
kitab-kitab keislaman[2].
Mata pelajaran yang diberiakan di lembaga-lembaga pendidikan islam dibagi
menjadi dua tingkatan:
a. Tingkat
dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis, bahasa arab, pengajian alquran,
dan ibadah praktis;
b. Tingkat
yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu fiqih, tasawuf, ilmu kalam, dan
lain sebagainya.
Banyak
ulama mancanegara datang ke Malaka dari afganistan, Malabar, Hindustan,
terutama dari arab untuk mengambil peran dalam penyiaran dan pendidikan agama
islam. Ulama itu biasanya diberi kedudukan tinggi dalam kerajaan. Para penuntut
ilmu berdatangan dari berbagai negara Asia Tenggara. Dari jawa, Sunang Bonang
dan Sunang Giri pernah menuntut ilmu ke malaka setelah selesai menjalani
pendidikan agama, mereka mendirikan tempat pendidikan islam di tempat
masing-masing.
Di
kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan
pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti masjid Bait
al-Rahman di banda aceh dan pusat-pusat pendidikan islam yang disebut dayah.
Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah
samsuddin al-sumatrani. Tradisi ini dlanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya,
sehingga di aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan
ilmu pengetahuan islam di Asia tenggara.
Para
ulama besar ini banyak berjasa mendirikan lembaga-lembaga pendidikan islam
seperti dayah berkembang menjadi semacam perguruan tinggi. Nuruddin al-Raniri
dan Abd. Rauf Singkel dan ulama-ulama yang mengajar dilembaga pendidikan ini.
Para penuntut ilmu yang datang dari luar aceh belajar kepada mereka seperti
syeikh buhanuddin yang berasal dari Ulakan Pariaman Minangkabau. Setelah tamat
ia pulang dan mendirikan lembaga pendidikan islam yang disebut surau. Kemajuan
pesat lembaga pendidikan di Aceh ini telah menyebabkan orang menjulukinya
sebagai “serambi Makkah”[3].
Murid dari kerajaan lain belajar kepada guru ngajinya masing-masing, kemudian
meningkat belajar lebih tinggi di aceh, sesudah itu ke Makkah.
Samjudra
Pasai, Malaka, dan aceh merupakan pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama
islam. Dari sinilah ajaran-ajaran Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara
melalui karya-karya ulamanya serta murid-murid yang menuntut ilmu ke sana,
sebagai mana dengan Giri di jawa timur terhadap daerah-daerah indonesia bagian
timur. Karya-karya sastra dan keagamaan segera berkembang di kerajaan-kerajaan
islam. Tema dan isi karya-karya itu sering mirip antara satu dengan yang lain..
Tema dan isi karya-karya itu sering mirip antara satu dengan yang lain.
Kerjaan-kerajaan itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang yaitu
islam. Hal ini menjadi pendorong menjadi pendorong terjadinya interakasi budaya
yang makin erat.
Sistem
pengajaran bagi setiap umat Islam, sebagaimana di negeri-negeri Muslim, adalah
pengajian alquran. Pada tahap awal lapal bacaan bahasa arab (huruf-huruf
hijaiah), sesudah itu menghapal surat-surat pendek (juz’amma) beserta tajwidnya
yang diperlukan untuk shalat[4].
Pelajaran lebih lanjut berkenaan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan hukum islam (fiqih) dan tasawuf. Yang memberi pelajaran lebih lanjut
diberikan oleh seorang ulama besar terutama yang pernah belajar ke Makkah.
Setelah
seorang murid dikenalkan dengan beberapa buku pedoman yang bersifat elementer,
pada tingkatan lebih lanjut segera diajarkan buku pegangan yang lebih besar.
Buku-buu besar itu dibaca kalimat demi kalimat dibawah bimbingan guru: guru membaca
satu-dua kalimat dalam bahasa arab, sesudah itu guru menerjamahkan kebahasa
melayu ditirukan oleh murid-murid. Murid-murid yang rajin akhirnya memeroleh
kemahiran, sehingga mampu menerjamahkan buku bahasa arab ke dalam bahasa
melayu.
Pendidikan
islam mengalami kemajuan pesat setalah para ulama mengarang buku-buku pelajaran
ke islaman menggumakan bahasa melayu, seperti karya-karya Hamzah Fanzuri,
Nuruddin al-raniri, Abd. Rauf Singkel di aceh. Hal ini terjadi setelah banyak
orang-orang indonesia belajar ke negeri arab dan menjadi ulam terkenal setelah
kembali ke negeri asalnya.
Di
Minangkabau lembaga pendidikan disebut surau. Surau sebelum islam berfungsi
sebagai tempat menginap anak-anak bujang. Setelah islam datang surau
dipergunakan tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan islam, seperti balajar
membaca alquran. Dengan kata lain, surau berfungsi semacamam sebuah masjid
berukuran kecil karena tidak digunakan untuk shalat jumat.
Yang
mula melakukan islamisasi surau adalah syaikh Burhanuddin (1641-1691) setelah
kembali menuntut ilmu keislaman kepada Abd. Rauf Singkel di kutaraja Aceh.
Burhanuddin kembali ke kampung halamnnya di Ulakan-Pariaman, mendirikan surau
untuk mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan pengembangan Islam
selanjutnya di Minangkabau[5].
Surau inilah cikal bakal lembaga pendidikan islam yang lebih teratur di masa
berikutnya. Murid-muridnya kemudian kembali ke tempat masing-masing, mendirikan
surau-surau sambi melakukan perbaikan dan pengembangan[6].
Di
jawa lembaga pendidikan islam disebut pesantren. Sebagaimana di aceh (dayah
atau rangkan), di Minangkabau (surau), nama lembaga pendidikan pesatren tidak
berasal dari tradisi timur tengah tetapi dari nama lembaga sebelum islam.
“pesantern” berasal dari bahasa tamil santri yang berarti guru ngaji[7].
Sementara itu C.C. Berg berpendapat bahwa “pesantern” berasal dari kata india
shastri, berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu[8].
Di
jawa sebelum islam datang, pesantren sudah dikenal sebagai lembaga pendidikan
gama hindu. Setelah islam masuk, nama itu menjadi nama lembaga pendidikan agama
islam. Lembaga pendidikan agama islam ini didirikan oleh para penyiar agama
islam pertama yang aktif menjalankan dakwah. Mereka masuk kedaerah pedalaman
jawa berhasil mendirikan lembaga. Dari lembaga pendidikan inilah menyebar agama
islam ke barbagai pelosok jawa dan wilayah indonesia bagian timur. Oleh karena
itu, di jawa sudah ada lembaga pendidikan sejak abad ke-15 dan ke-16.
Menurut
sumber lokal, lembaga pendidikan islam pertama di jawa adalah pesantren giri
dan pesantren gresik di Jawa Timur. Pesantren gresik didirikan Maulana Malik
Ibrahin yang mendidik mubaliq-mubalig yang nantinya menyiarkan agama islam
keseluruh Jawa. Sedangkan pesantren Giri didirikan oleh sunang giri
sekembalinya menuntut ilmu keislaman di Malaka. Sunan Giri (Raden Paku) pada
tahun 1485 menetap di giri sebagai kiai besar dengan gelar prabu (raja)
satmata. Ia membangun istana dan masjid sebagai sebuah kerajaan Islam, sehingga
digelari raja ulama. Prabu satmata sebagai
orang pertama yang membangun pusat pendidikan sekaligus pusat berkhalwat[9].
Pesangtren giri ini dikunjungioleh santri-santri setempat, juga para penuntut
ilmu dari Maliku, terutama Hitu. Sekembalinya
ke maluku mereka menjadi guru agama, khotib, modin, qadi, yang menurut de Graaf
mendapat upah dalam bentuk cengkeh[10].
Di
kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam pertama
dikenal dengan nama langgar. Orang pertama yang mendirikan langgar adalah
Syaikh Muhammad Arsyad al-banjari, seorang ulama banjar yang pernah menuntut
ilmu keislaman di Aceh dan Makkah selama bebepa tahun. Sekembalinya ke
banjarmasin, ia membuat langgar yang didirikan di pinggiran ibukota kerajaan
yang kemudian dikenal dengan nama kampung dalam pagar[11].
Langgar di jawa banyak kemiripannya dengan pesantren di Jawa.
Semua
ilmu yang diberikan lembaga pendidikan islam di Nusantara ditulis dalam huruf
Arab Melayu atau pegon. Dengan huruf ini masyarakat melayu umumnya pandai
membaca dan menulis. Pada tahun 1597 orang spanyol pernah menguji orang melayu
di Brunai, ternyata dua dari tujuh orang itu dapat menulis dan smuanya mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu
sendiri.
Di Sulawesi adalah raja Gowa XIV, Sultan Alauddin
yang pertama mendirikan masijid Bontoalo. Masjid ini berfungsi sebagai tempat
sholat, juga sebagai pusat pengajian, pendidikan dan pengajaran Islam. Yang
bertindak sebagai guru adalah Dato Ri Bandang, seorang ulama asal minangkabau
yang pernah menuntut ilmu keagamaan di Giri. Ia di bantu oleh Dato Pattimang
dan Dato Ri Tiro yang diduga keduanya dari minangkabau. Selanjutnya mesjid
berkembang menjadi pesantren yang masih bertahan sampai sekarang. Dari lembaga
pendidikan islam inilah ulama Makassar Syaikh Yusuf al-Makassari mendapat
pendidikan dasar keagamaan sebelum melanjutkan ke Aceh selanjutnya ke makkah.
Pelajaran yang diberikan di pesantren Bontoalo ini meliputi pi ih, tasawuf,
tafsir hadis, balagah, dan mantiq (logika).
Metode pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan
keislaman itu adalah serogan dan bandungan. Sorongan adalah sistem pengajaran
bersifat individual, biasanya bagi murid pemula. Metode ini digunakan di
rumah-rumah, masjid-masjid, dan langgar secara perorangan. Sedangkan metode
bandungan (weton atau halaqah) adalah sekelompok santri mendengarkan seorang
guru membaca, menerjamahkan, menerangkan, mengulas buku islam dalam bahasa Arab
yang sering di sebut “kitab kuning” dengan cepat. Kiai atau syaikhtidak begitu
memerhatikan apakah seorang santri menangkap penjelsannya atau tidak.
Santri-santri senior biasanya membantu tugas-tugas kiai atau syaikh. Mereka di
panggil ustads. Ustad yang banyak pengalaman sering digelari kiai muda. Kiai
muda atau ustad masih mendapat pendidikan dalam kelas yang disebut “kelas
musyawarah”. Di kelas ini murid mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk
kiai, biasanya kitab klasik berbahasa Arab (semacam diskusi).
Dalam pesantren tidak ada kurikulum, tiap pesantren
biasnya punya spesialisasi senddiri sesuai dengan keahlian kiai besarnya. Kiai
dalam hal ini memimpin kelas musyawarah, biasanya dilansungkang dengan soal
jawab dalam bahasa arab. Di Sumatra dan Kalimantan buku-buku yang dipelajari
santri-santri biasanya buku-buku orisinil yang dikarang oleh ulama melayu dalam
bahasa melayu, sedangkan di Jawa penekanan diberikan kepada kitab arab klasik
yang terkadang diterjemahkan ke dalam bahsa Jawa.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak,
pendidikan islam bertambah maju karena telah ada pemerintah yang
menyelenggarakannya dan pembesar-pembesar Islam membelanya. Pada tahun 1476 di
Bintaro dibentuk organisasi bayankare islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk
mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran islam[12].
Dalam rencana pekerjaanya disebutkan sebagai berikut:
a.
Tanah Jawa Madura dibagi atas beberapa
bagian untuk lapangan pendidikan/pengajaran. Pimpinan pekerjaan ditiap-tiap
bagian dikepalai seorang wali dan seorang pembantu
b.
Supaya mudah dipahami dan diterima
masyarakat, didikan dan ajaran islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan
yang hidup dalam masyarakat, asal tidak menayalahi hukum syara’.
c.
Para wali/badal selain harus pandai ilmu
agama serta memlihara budi pekerti supaya menjadi suri tauladan bagi
masyarakat.
d.
Di Bintaro segera didirikan masjid agung
untuk menjadi sumber ilmu, pusat kegiatan pendidikan dan pengajaran Islam.
Kebijaksanaan
wali-wali menyiarkan agama islam dengan memasukkan unsur-unsur
pendidikan dan pengajaran islam dalam segala cabang kebudayaan sangat
memuaskan, sehingga agama islam tersebar keseluruh indonesia.
Biaya pesantren atau pendidikan islam dalam tangkat
rendah sampai tingkat tinggi ditanggung oleh masyarakat islam sendiiri, seperti
pungutab sakat, srakah (iuran nikah), wakaf, dan palagara (pembayaran suatu
hajat penduduk desa). Sementara itu, penghulu, naib dan pegawai-pegawainya,
modim kiai anom,kiai sepuh, mendapat penghasilan selain gaji juga tanah sawah
(lungguh). Pada masa kerajaan kartasura (± tahun 1700 ada bebrapa pesatren
besar dijadikan pendidikan, yaitu diberikan tanah, sawah, dan tempat tinggal
sebagai hak milik turun temurun yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Tanah itu disebut Tanah Mutihan. Namun, sayang, tahun 1916-1917 semua perdikan
dihapuskan oleh belanda dijadikan tanah gubernemen.
[1] Taufik Abdullah,Islam dan Masyarakat,
Pantulan Sejarah Indonesia(Jakarta:LP3ES,1987), hlm, 110
[2] H. Abdullah Ishak, Islam di Nusatara
(Khususnya di Tanah Melayu),(selangor: al-Rahmaniyah, 1990), hlm. 166.
[3] Mahmud Yunus, sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hlm. 174
[4] C. Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata
Kolonialis, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hlm. 31.
[5] Mahamud Yunus, Op. Cit., hlm 23
[6] Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis”
dalam Dawam Raharjo(Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, (Jajarta:P3M, 1985), HLM.
156.
[7] A.H. John, “Islam in South East Asia,
Reflections and The New Directions” dalam Indonesia, CMIP, No. 19, tt., hlm.40.
[8] C.C. Berg, “Indoesia” dalam H.A.R.
Gibb(Ed.), Wither Islam A Survey Modern Movement in The Moslem, (London, 1931),
hlm. 257.
[9] H.J deGraaf, “Sout east Asian islam to the
eighteenth century” dalam pm holt, et. Al., the canbridge history of islam, (london
: cambridge universaty bPress, 1970), vol. Ii,hlm. 175
[10] Ibid, hlm. 135.
[11] Farid A,
Pesantren , madrasah sekolah(jakarta: LP3S, 1986), HLM. 94.
Thanks ya sob udah berbagi ilmu .....................
ReplyDeletebisnistiket.co.id