Mungkin kita tak perlu bertanya pada apa dan mengapa.
Karena tiap garis tanya itu
hanya menunjukkan ketidak mampuan kita.
Yang pada akhirnya akan menjatuhkan bulir-bulir keikhlas yang tertampung dan membuat hilangnya dahaga gunda.
Karena tiap garis tanya itu
hanya menunjukkan ketidak mampuan kita.
Yang pada akhirnya akan menjatuhkan bulir-bulir keikhlas yang tertampung dan membuat hilangnya dahaga gunda.
Akhirnya, kami bertemu di lapangan impian kala mendung menyelimuti sore itu. Kali ini hanya kami berdua. Aku tak melihat seorangpun yang datang mengadu peluhnya di tempat ini. Mungkin saja tak ada lagi manusia yang memendam rindu. Kemudian membuat janji untuk bertemu. Kali ini ia tak seperti biasanya yang menepuk pundakku dan menanyakan perihal keadaanku. Senyum khas sumringah yang biasa menghias wajahnya pun hampir tak terlihat. Mungkin saja ia capek, atau ada sesuatu yang bersemayam dalam hatinya yang memang tak mungkin untuk ia utarakan sekarang. Dan…., entahlah.
Ia menatapku dan menggerakkan telunjuknya ke arah langit. Seolah memberi isyarat bahwa aku harus mengikuti arah telunjuknya. Akhirnya keheningan mendung yang sedari tadi menyelimuti sore itu pecah menjadi riuh bulir-bulir air kiriman Tuhan. Hujan.
“Coba lihat langit itu!”. Katanya.
Sekarang, ia mengajakku melihat lebih saksama benda-benda yang turun dari langit bersama air hujan. Tak jelas di penglihatanku wujud sebenarnya dari benda itu. Air hujan yang turun amat deras, memukul-mukul bola mataku hingga tak mampu berakomodasi dengan jelas. Di sisi lain kulihat warna biru yang indah. Sisi lainnya tampak awan yang telah menjatuhkan air hujan.
Ia menatapku dan menggerakkan telunjuknya ke arah langit. Seolah memberi isyarat bahwa aku harus mengikuti arah telunjuknya. Akhirnya keheningan mendung yang sedari tadi menyelimuti sore itu pecah menjadi riuh bulir-bulir air kiriman Tuhan. Hujan.
“Coba lihat langit itu!”. Katanya.
Sekarang, ia mengajakku melihat lebih saksama benda-benda yang turun dari langit bersama air hujan. Tak jelas di penglihatanku wujud sebenarnya dari benda itu. Air hujan yang turun amat deras, memukul-mukul bola mataku hingga tak mampu berakomodasi dengan jelas. Di sisi lain kulihat warna biru yang indah. Sisi lainnya tampak awan yang telah menjatuhkan air hujan.
“Indah bukan langit itu, apa lagi di padukan hujan plus pelangi”. Katanya sekali lagi. Mendengar hal itu aku melebarkan pandanganku melihat lebih luas. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas angkasa raya di padu musical hujan yang lama kusadari makin merdu.
“Sekarang Coba lihat dengan lebih saksama. Kali ini libatkan hati dan perasaanmu. Acuhkan sejenak pikiran egoismu. Dan lihat baik-baik langit itu”. Katanya menjelaskan.
Aku mendengarkan perkataannya. Berusaha paham dan melakukan saja apa yang di perintahkannya. Sejenak hening…
Aku merasakan sesuatu…
“ bagaimana kamu merasakan sesuatu..?” Tanya padaku
Aku hanya diam sejenak dan mengaguk sebentar dan memandanginya lalu berkata.
“aku masih belum paham. Merasakan apa..?“.
“Coba perbaiki hatimu… Ituadalah langit yang setia. Langit yang terus mengabdi kepada sang Ilahi. Tetap berdiri kokoh menopang bumi. Ini suatu perasaan cinta. Pengabdian akan cinta Ilahi yang tak pernah pudar”. Jelasnya yang membuat kian jelas.
“Dan itu artinya…”. Ku coba menjawabnya namun
“ aku ingin menjadi langit… langit yang terus pengabdi kepa da ilahi..."
Ada jedah dan pandangan yang serius di matanya. Aku baru pertama kalinya melihatnya begitu.
“ Ku harap engkau mengerti..”
Tiba-tiba aku menangis, dan ini kali pertamanya aku menangis di hadapannya. Mulai sadar bahwa itu benar. Itu adalah hal yang tak pernah ada dalam hatiku. Sehingga tak kupahami keinginannya. Dalam hati kucoba untuk memahai perubahanya. Dan itu berarti segala sesuatunya baru akan dimulai (lagi).
“ Jangan menangis. Ini baru permulaan. Tenanglah, aku takkan meninggalkanmu. Seperti langit yang tak kan pernah meninggalkan bumi. Kita akan memulainya dari awal bersama-sama. Menjalani semua sketsa takdir Allah bersama-sama. Sampai akhirnya kita mencapai sang khalik. Itupun akan bersama-sama. Tenang dan bersabarlah…”.
Dan, sekarang aku mengerti mengapa sore itu ia tak senyum kepadaku seperti biasanya. Ternyata ia telah mempersiapkan dirinya untuk suatu perubahan dalam hidup. Bersamaku.
Makassar, yang telah redah hujannya.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar