Pages

Thursday 27 June 2019

PENDIDIKAN NASIONAL, WAJIB SEKOLAH DAN IDENTITAS BANGSA Oleh: Muchamad Ridho Hidayat





PENDIDIKAN NASIONAL, WAJIB SEKOLAH DAN IDENTITAS BANGSA
Oleh: Muchamad Ridho Hidayat
Banyak yang percaya, masalah suatu negeri sangat bergantung pada pendidikan masyarakatnya. Asumsi itu menjadi argumentasi untuk menggagas dan memperkuat sistem pendidikan nasional, yang diartikan sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Lalu, apa tujuan pendidikan nasional? UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas menjelaskan, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara redaksional, apa yang tertulis pada UU Sisdiknas itu sangat baik. Tentu saja tujuan tersebut akan tercapai jika konsep pendidikan yang diterapkan sesuai dengan karakteristik manusia Indonesia. Penyusunan sistem pendidikan nasional mengharuskan kejelasan konsep manusia Indonesia (apriori). Sistem pendidikan pun terkait erat dengan pembentukan identitas nasional.



Pada masa prakemerdekaan, pendidikan bukan untuk mencerdaskan kaum pribumi (bangsa Indonesia), melainkan diarahkan untuk lebih memenuhi kepentingan kolonial. (Lihat, sejarah kemendikbud htpp://www.kemendikbud.go.id/main/tentang-kemendikbud/sejarah-kemdikbud) dalam buku pelajaran sekolah disebutkan, saat politik etis dijalakan, penjajah kolonial membangun sekolah-sekolah untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan ketika itu berfungsi untuk menghasilkan tenaga kerja, yang akan menghabiskan hidupnya untuk kepentingan penjajah sebagai stakeholder. Inilah sistem persekolahan pertama dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
“Wajib Sekolah”
Dalam sejarah, sekolah muncul untuk melengkapi proses pengasuhan. Sekolah yang berasal dari kata skhole, scola, scolae atau skola, yang memiliki arti ‘waktu senggang/ luang’. Pada awalnya, sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak, di tengah kegiatan utama mereka. Bermain, bergaul, dan melakukan perkerjaan rumah tangga serta membantu perkerjaan orang tua, itulah kegiatan utama anak-anak.
Anak petani sibuk di kebun dan sawah milih mereka, dan dalam waktu singkat mereka akan menjadi petani cilik, lalu menjadi petani dewasa. Anak nelayan sibuk di pinggir pantai, lalu mereka pergi melaut dan berlayar ke samudra luas dalam waktu singkat mereka akan menjadi dewasa. Sambil menunggu dewasa mereka mengisi, waktu luang, dengan menggelar semacam kelas pembelajaran. Kurikulumnya membaca, berhitung, seni, dan ajaran moral.
Perumusan konsep pendidikan di barat pada masa klasik ini berhasil merumuskan apa yang disebut dengan “Liberal Art”. Komponen Liberal Art terdiri atas Trivium (gramatika, dialetika/ logika dan retorika) dan Quardrivium (aritmatika, geometri, musik dan astronomi). Konsep pendidikan klasik ini berkembang dalam tradisi gereja katolik sebelum masa Renaissannce di Eropa.
Pada 1820, Kerajaan Prussia (bagian dari Kerajaan Jerman) mengajarkan kepada negara-negara kuat dunia, bahwa wajib sekolah dapat dijadikan sebagai ladang percobawaan untuk membina kebiasaan masyarakat untuk patuh. Demikian, John Taylor Gatto dalam A Short (Angry) History of Complusory Schooling (dalam buku, Educating Your Child in Modern Times, Kinza Academy, 2010) menjelaskan, pendidikan dapat diandalkan untuk diarahkan dan diekplotasi secara politik dan ekonomi jika dibutuhkan (mindcontrol). Setelah ini, sekolah mempunyai fungsi baru.
Dari Prussia-lah ide dan metodologi wajib bersekolah menyebar ke seluruh dunia. Pertama, ke Amerika Serikat dan Prancis, kemudian ke Inggris, Jepang dan kebelahan dunia lainnya. Revolusi pendidikan yang terjadi di Eropa kemudian diikuti hampir seluruh dunia. Gagasan ‘wajib sekolah’ dipraktikkan, selain untuk membentuk watak dan identitas nasional, juga kepentingan pemerintah menciptakan angkatan kerja dan tenaga professional. Di Prussia, sistem pendidikan nasional di bawah kontrol kerajaan, lengkap dengan kurikulum, standar pengajar, ruang kelas, hingga beasiswanya. Kesuksesan sistem pendidikan ala Prussia dalam menghasilkan warga negara yang patuh dan mudah diatur, membuat negara-negara lain tertarik untuk mengikutinya.
Era ‘wajib sekolah’ telah mengubah sistem sosial dan paradigma pendidikan di masyarakat. Masyarakat lupa bahwa sekolah itu sebelumnya hanya dilakukan di waktu senggang. Sekolah yang tadinya dilakukan sepulang dari sawah, ladang, atau pulang berlayar, kini menjadi menu wajib yang lengkap menjadi aktivitas utama bagi anak. Sisa waktu (luang) mereka berubah menjadi kelelahan di rumah dan kepenatan, yang diobati dengan bermain bersama anak-anak sekolah lainnya.
Sampai di sini ‘wajib sekolah’ menghasilkan apa yang sekarang disebut sebagai ‘usia sekolah’ dan kelas sosial baru bernama ‘anak sekolah’. Semakin panjang dan lama masa/ waktu ‘wajib sekolah’, semakin lama pula usia kanak-kanak mereka. Selain itu, mereka akan semakin jauh dari keluarga dan lingkungan masyarakat. Mengapa demikian? Hal itu karena ‘lingkungan sekolah’ yang seharusnya menjadi tempat belajar, kini menjadi masyarakat baru; masyarakat artifisial. Anak-anak tidak lagi aktif part time di sekolah, tapi full time dan menghabiskan usianya di sana.
Jika tidak berhati-hati, sekolah akan menjadikan anak teralienasi dari keluarga dan lingkungan masyarakat asalnya. Kurikulum pendidikan bisa menyeret mereka berurbanisasi, menuju pusat-pusat industri, berburu gengsi.
Menurut sementara kalangan, menyekolahkan anak merupakan bentuk kewajiban orang tua. Jadi, meskipun tidak atau belum sampai diwajibkan oleh pemerintah secara ketat, masyarakat tetap menganggap tidak bersekolah sebagai sebuah dosa. Kewajiban mengasuh anak dan mendidik mereka dianggap terlaksana dengan menyekolahkan anak.
Pada akhirnya, bagi sebagian orang, sekolah dianggap sebagai satu-satunya jalan yang sah untuk mendapatkan pengetahuan. Ivan Illich dalam Deschooling Society menyetarakan lembaga sekolah dengan lembaga agama yang memonopoli kebenaran. Tidak sedikit orang yang menjadikan sekolah sebagai ukuran lembaga, yang dianggap sebagai atau setingkat dengan agama. Gejala ini yang disebut oleh sebagian kalangan dangan istilah schoolism/ sekolahisme.
Di satu sisi sistem persekolahan telah beralih fungsi dan dijadikan sebagai alat kontrol sosial, di sisi lain masyarakat telanjur mengganggapnya sebagai sebuah kewajiban tanpa substitusi  perkembangan sistem persekolahan di Indonesia dapat direpresentasikan dalam program wajib belajar sembilan tahun yang diinisiasi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pada 2014 sempat muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar ‘waji belajar 9 tahun’ diganti karena dianggap sudah tidak relevan lagi.
Saat ini, di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah dicanangkan wajib belajar 12 tahun, melalui pelaksanan Program Indonesia Pintar (PIP). Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 12 tahun pada pendidikan dasar dan menengah, yaitu dari tingkat kelas 1 sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI) hingga kelas 12 sekolah menengah atas (SMA) atau madrasah aliyah (MA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) atau madrasah aliyah kejuruan (MAK).
Program wajib belajar dianggap sebagai program unggulan untuk menjawab  tantangan zaman dan memenuhi kebuthan. Tidak hanya menghasilkan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA), wajib sekolah juga dijadikan sebagai alat ukur pembangunan manusia dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebagimana diketahui, IPM melihat pembangunan manusia melalui tiga aspek: hidup layak/ ekonomi, pengetahuan/ pendidikan dan umur panjang/ kesehatan (Lihat, https://www.bps.go.id/subjek/view/id26).
Dalam metode perhitungan terbaru, tingkat pengetahuan diukur dari Angka  Harapan Lama Sekolah (HLS) atau angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) ditetapkan sebagai ganti Angka Melek Huruf yang dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan. Dengan demikian, masyarakat Indonesia semakin hari akan semakin ‘tersekolah’. Menengok kembali sejarah persekolahan dan motif politik pendidikan ala Prussia, patut ditanyakan, bagiamana dengan identitasnya sebagai manusia Indonesia?
Karena itu, konsep sekolah dan wajib sekolah perlu dikaji secara proporsional, agar bisa diletakkan secara adil. Jangan nantinya menimbulkan sikap berlebihan atau anti-pati. Sebab, pendidikan sejatinya adalah proses yang bertujuan membentuk manusia yang baik. Dalam bahasa Nabi Muhammad saw, “manusia baik adalah manusia yang bermanfaat untuk sesama.” (khairun nas, anfa’uhum linnas).
Identits Manusia Indonesia  
Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri (lihat, KBBI). Identitas nasional adalah ciri atau keadaan khusus suatu bangsa. Kembali pada pembahasan tentang konsep manusia, hal ini dapat ditinjau dari perspektif sejarah pendidikan. Pendidikan dalam hal ini adalah upaya membentuk jiwa manusia agar sempurna. Pendidikan juga sering disebut sebagai usaha untuk memanusiakan manusia. Sistem pendidikan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan sudah terbentuk dan ajek. Tentu saja bukan sistem persekolahan hasil politik etis yang dimaksud. Melaikan sistem pendidikan Islam melalui lembaga pesantren, madrasah dan pendidikan Islam lainnya.
Pendidikan Islam-lah yang membentuk watak para pejuang muslim pada era kemerdekaan. Islam juga yang mendidik para pemeluknya untuk menentang segala bentuk penjajahan. Oleh karena itu, konsep pendidikan islam dan praktiknya tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kebudayaan dan identitas manusia Indonesia.
Pasca kemerdekaan hingga terbitnya UU Sisdiknas, pendidikan nasional masih menganaktirikan pendidikan luar sekolah. Penghargaan dan kesetaraannya belum bisa diwujudkan secara fair dan adil. Pendidikan formal persekolahan seolah menjadi anak emas dan primadona; hanya satu-satunya bentuk untuk menjadi terdidik dan diakui, yakni dengan menempuh jalur persekolahan. Apalagi, jika yang dibicarakan adalah pendidikan Islam.
Pesantren yang dulu melahirkan banyak pejuang (mujahid) kemerdekaan, masih dirasa perlu untuk diubah kurikulumnya; diarahkan untuk digantikan konsep pendidikannya dengan kurikulum nasional. Perlu ditanyakan, apakah setelah itu masih akan lahir para santri dan kiai yang bermental pejuang? Madrasah yang dulu merupakan bentuk lembaga pendidikan tinggi, dan mampu mencetak banyak guru (mu’alimin) yang berkualitas dan ikhlas, kini disejajarkan dengan sekolah menengah yang bersifat pendidikan anak-anak?
Dengan bentuk seperti ini, patut ditanyakan, apakah masih akan lahir para guru bangsa yang bijaksana; jika madrasah diubah kurikulumnya dan diturunkan kedudukannya? Wallahu a’lam bishshawab.

No comments:

Post a Comment

silakan komentar