Gerakkan Literasi di Sekolah dan Kampus dalam Menangkal Patologi Sosial
(Refleksi Hardiknas 2019)
Oleh: Shabiel Zakaria, S.Pd., M.Pd.
(Guru SMA Negeri 1 Bone dan Dosen LB STIA Prima Bone)
Email: shabielzakaria@yahoo.co.id
Menurut penelitian Doxa, lembaga peneliti Italia, anak-anak Italia mendapat julukan "Grandi Lettori" alias pembaca hebat anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan tingginya persentase biaya pembelian buku orang tua anak. Antara tahun 2015-2016 terjadi kenaikan biaya sebesar 5.3%. Data ini menunjukkan bahwa anak-anak Italia sejak dini terlatih mencintai buku.
Jika dibandingkan negara kita, tentu kita tidak dapat berbicara banyak. Berdasarkan hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 disebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3 sampai 4 kali per minggu dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang diselesaikan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
Kondisi Literasi Nasional
Data di atas tentu menggelitik kita semua, dengan jumlah penduduk negara Indonesia yang mencapai 200 juta lebih bisa diperkirakan hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang membaca buku. Demikian data yang dirilis UNESCO. Bahkan, oleh Central Connecticut State University 2016, mengeluarkan hasil risetnya yang mengatakan bahwa literasi Indonesia berada di tingkat kedua terbawah dari 61 negara, hanya satu tingkat di atas Bostwana. Tiga tahun setelah penelitian itu, tentu ada peningkatan, meski tidak signifikan.
Selain menggelitik, data di atas tentu dapat dikatakan lebih mendekati miris. Karena ini menandakan giat dan semangat literasi pada anak bangsa sangat rendah. Nah, bagaimana dengan orang-orang dewasa?
Berdasarkan laporan berjudul “Skills Matter” yang dirilis OECD pada tahun 2016, berdasarkan tes PIAAC, tingkat literasi orang dewasa Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara yang mengikuti program ini. Tes PIAAC, menemukan bahwa hanya 1% orang dewasa di Jakarta yang memiliki tingkat literasi yang memadai (Level 4 dan 5). Orang dewasa dengan tingkat literasi level 4 dan 5 dari tes PIAAC, dapat mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang yang mengandung informasi yang bertentangan atau kondisional. Lalu hanya 5.4% orang dewasa di Jakarta memiliki tingkat literasi pada level 3, yaitu dapat menemukan informasi dari teks yang panjang.
Tantangan dan Perhatian Penuh
Ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua, terutama insan-insan yang bergelut di dunia pendidikan, mulai dari guru, dosen, peneliti, hingga kontribusi dari LSM yang bergerak pada dunia pendidikan.
Mengapa ini penting menjadi perhatian bagi insan pendidikan? Tenyata dampak rendahnya literasi masyarakat akan memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Berdasarkan laporan UNESCO yang berjudul “The Social and Economic Impact of Illiteracy” yang dirilis pada tahun 2010, tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau penurunan produktivitas, tingginya beban biaya kesehatan, kehilangan proses pendidikan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial dan terbatasnya hak advokasi akibat rendahnya partisipasi sosial dan politik. Sedangkan menurut UNESCO, akan menimbulkan dampak antara. Misalnya, tingginya kecelakaan kerja dan tingginya prevalensi sakit akibat pekerjaan.
Dampak antara literasi rendah juga muncul dalam persoalan kesehatan masyarakat, karena masyarakat dengan literasi rendah juga umumnya memiliki kesadaran rendah akan kebersihan makanan dan gizi buruk dan memiliki perilaku seksual berisiko tinggi. Literasi rendah juga berdampak pada tingginya angka putus sekolah dan pengangguran yang berdampak pada rendahnya kepercayaan diri. Orang dengan tingkat literasi rendah sulit menjadi mandiri atau berdaya, dan tergantung secara ekonomi pada pada keluarga, kerabat, dan negara.
Kriminalitas, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta kemiskinan dan kesenjangan, juga merupakan dampak dari rendahnya tingkat literasi. Berdasarkan laporan Bank Dunia tingginya kesenjangan di Indonesia saat ini sebagian besar disebabkan kesenjangan keterampilan (skill gap) yang tentunya terjadi karena rendahnya tingkat literasi.
Gerakkan Literasi di Sekolah dan Kampus
Dunia pendidikan akan menjadi sasaran empuk ketika dampak sosial akibat rendahnya literasi masyarakat. Karena tidak ada yang bisa membantah, bahwa dunia pedidikanlah (baca: sekolah dan kampus) yang bisa menjadi garda terdepan dalam menggerakkan literasi kepada peserta didik, kepada siswa dan mahasiswanya. Ruang-ruang akademik lahir dan tumbuh di sekolah dan kampus. Dunia baca tulis bergerak di kedua lembaga itu. Maka saatnya dunia pendidikan mengambil langkah-langkah jitu memecahkan rendahnya literasi nasional, terutama dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 ini.
Menurut Abdul Rozak dari UIN Jakarta, literasi saat ini terdiri dari 4 hal, yaitu literasi lama mencakup kompetensi calistung dan literasi baru mencakup literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. 4 literasi ini harus digerakkan di lingkungan pendidikan, mengingat peran dan fungsinya yang sangat besar dalam membentuk karakter peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar dunia pendidikan tetap memiliki daya relevansi yang tinggi dalam era revolusi industri 4.0.
Sedangkan menurut World Economic Forum pada tahun 2015 menegaskan enam literasi dasar yang disepakati menjadi sangat penting dilaksanakan di sekolah. Tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi afinansial, dan literasi budaya dan kewargaan.
1. Literasi Baca Tulis, Salah satu di antara enam literasi dasar yang perlu kita kuasai adalah literasi baca-tulis. Membaca dan menulis merupakan literasi yang dikenal paling awal dalam sejarah peradaban manusia. Kemampuan membaca yang baik tidak sekadar bisa lancar membaca, tetapi juga bisa memahami isi teks yang dibaca. Teks yang dibaca pun tidak hanya katakata, tetapi juga bisa berupa simbol, angka, atau grafik.
2. Literasi Numerasi, Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a) menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
3. Literasi Sains, Literasi sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains.
4. Literasi Finansial, Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat.
5. Literasi Digital, Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.Bawden (2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi.
6. Literasi Budaya dan Kewargaan, Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Para pendidik (guru dan dosen) dalam proses pembelajaran perlu mengintegrasi capaian pembelajaran 6 literasi dasar tersebut. Untuk itu, tugas dunia pendidikan saat ini melalui proses pembelajarannya menggerakkan dengan berbagai macam program yang terintergasi pada kegiatan siswa dan kemahasiswaan. Program yang dirancang pun harus sesuai dengan era mereka yaitu era millenial. Program yang dijalankan mengandung banyak kreatifitas dan kekinian. Bahkan sekolah dan kampus harus melirik smartphone sebagai lintasan transformasi literasi.
Bila tidak menggerakkan literasi di dunia pendidikan, maka lulusan akan mengalami ileterasi. Masyarakat pun akan mengalami iliterasi, kemudian bangsa pun akan mengalami iliterasi. Masyarakat tanpa literasi yang baik maka peradaban baik sulit tumbuh di tengah era revolusi industri 4.0 ini.
~~~ooo000ooo~~~
01 Mei 2019;; jelang hardiknas 2019.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar