taklim, dauroh, di sebuah masjid di makassar |
TRADISI ILMU
Oleh: Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi
Belajar dewasa ini ditandai dengan masuk
kelas, ulangan semester ujian dan lulus kemudian wisuda. Jikah dikalkulasi
perolehan ilmu para mahasiswa di ruang kuliah, akan terasa sedikit sekali.
Pertemuan 90 menit hanya memberikan
informasi tentang ilmu tertentu. Ujian-ujian semester hanya mengharuskan
mahasiswa mengulang materi kuliah atau membaca buku rekomendasi dosen. Di luar
kuliah seminar-seminar hanya sebuah informasi dan diikuti sekedarnya. Apa yang
diperoleh mahasiswa S1 selama 8 semester atau S2 selama 4 semester hanyalah
sedikit.
Itulah ritual belajar di zaman sekarang
yang hanya dibatasi oleh tembok-tembok sekolah dan universitas. Mungkin ini
yang memotivasi Ivan Illich pada tahun 70-an menulis buku De-Schooling Society. Intinya memprotes ritual belajar di
kelas-kelas dan mengusulkan adanya suatu masyakarat yang memiliki tradisi
belajar (Learning Society).
Kalau Ivan Illich membaca sejarah
peradaban Islam, ia mungkin tidak perlu memunculkan ide itu. Belajar dalam
tradisi Islam terjadi secara informal dan non- formal, tanpa mengenal tempat
dan waktu. Sejak zaman Nabi hingga zaman Umayyah proses belajar berada di semua
tempat dan utamanya masjid-masjid dan kuttab-kuttab. Tapi justru ini yang
membuat ilmu Islam berkembang pesat.
Apa yang perlu dihidupkan lagi dalam
tradisi Islam adalah tradisi ilmu. Tradisi dalam islam mengutamakan model
belajar talaqqi (belajar di hadapan
ulama). Seorang ulama di masa kecilnya pasti pernah ber-talaqqi dengan seorang atau lebih senior yang alim dalam berbagai
bidang. Imam al-Ghazzali, Ibn Taymiyyah, Muhammad al-Fatih dibesarkan oleh
beberapa alim ulama yang otoritatif dalam berbagai bidang.
Selain itu tradisi membaca, berdiskusi dan
menulis merupakan fenomena yang umum dalam tradisi Islam. Al-Fatih bin Khaqan,
kitab tidak pernah terlepas dari saku bajunya. Abu Bakar al-Anbari menelaah dan
membaca setiap minggu sepuluh ribu lembar. Ibn Uqail al-Hambali tidak kalah
mearik. Ketika matanya telah letih membaca dan lisannya telah lelah berdiskusi,
maka ia berbaring di atas tempat tidur menggunakan pikirannya. Ia tidak akan
berdiri kecuali telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis. Itupun
dilakukan ketika ia telah berusia 80 tahun.
Ulama zaman dahulu juga suka mendengar.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa ”Ketika mendengar ilmu yang belum pernah saya
dapatkan, seakan seluruh tubuh saya mempunyai telinga untuk mendengarnya.
Mencari ilmu, katanya seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayang yang
hilang entah kemana”. Ibn Asakir, selama 40 tahun tidak pernah menyibukkan diri
kecuali dengan tasmi’ (mendengar dan mengulang
hafalan-hafalan), mengumpulkan catatannya, menulis dan menyusun buku.
Az-Zarkasyi, pada remajanya berhasil
menghafal kitab “Minhaju al-Talibin”
karya Imam Nawawi (4 jilid besar). Sementara imam Ahmad ibn Hambal menghafal
jutaan hadist. Ibn al-Anbari menghafal 300.000 bait sya’ir tentang bukti
kejaiban al-Quran. Al-Sha’bi tidak pernah mendengar hadits dari seseorang
kecuali menghafalkannya.
Selain membaca, mendengar dan menghafal,
mereka juga menulis. Abdurrahman bin Abu Hatim ar-Razi belajar kepada bapaknya
yang ahli hadits tampa kenal waktu. Waktu makan, waktu jalan-jalan, ketika di
rumah, di luar rumah dan di setiap kesempatan ia bertanya segala sesuatu
tentang ilmu. Hasilnya ia dapat menulis kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, 9 jilid besar dan kitab Al-Musnad dalam seribu jus (kurang lebih 20 ribu lembar). Sedangkan
Ubaid bin Ya’isy (guru Imam Bukhari) tidak pernah makan dangan tangannya
sendiri selama 30 tahun. Saudaranya menyuapinya sementara ia sibuk menulis
hadits.
Imam Syafi’i menulis catatan ilmiahnya di
atas pelepah kurma, tulang unta, bebatuan dan kertas yang dibuang orang. Karena
catatanya itu kamarnya pun penuh sesak sehingga ia tidak dapat menjulurkan
kakinya ketika tidur. Akhirnya, catatan itu ia hafalkan dan kemudian
dikeluarkan dari kamarnya. Dari catatanya itu ia berhasil menulis kitabnya yang
terkenal al-Umm (fikih) dan ar-Risalah (ushul fikih).
Imam Al-Bukhari tidur di atas tikarnya,
bila terlintas di benaknya sebuah masalah, beliau bangun dari tidurnya
menyalakan lampu, kemudian menulis hadits. Ketika beliau menaruh kepalanya
untuk tidur, terlintas kembali di hatinya sebuah masalah. Sekali lagi beliau
menyalakan lampu kemudian menulis haditsnya. Hal ini beliau lakukan lebih 15 –
20 kali dalam satu malam. Setelah selama 16 tahun ia menghasilkan kitab
monumentalnya ”Shahih Bukhari”.
Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqalani, menulis
kitab “Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari”
sebanyak 17 jilid selama 29 tahun. Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menulis
kitab “Gharib al-Hadith” selama 40
tahun. Itulah tradisi belajar dalam Islam.
Selain gairah belajar individu yang
tinggi, pada zaman keemasan ilmu Islam, minat mencari ilmu dari lama sangat
tinggi. Majelis Imam Bukhari, Majelis Abu Bakar An-Naisaburi, Majelis Imam
Ahmad bin Hambal, Majelis 300 Sorban
Besar Imam Al-Ghazali dan lain-lain dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu orang.
Para peserta majelis-majelis itu mencatat dan mengembangkan ilmunya sehingga ia
bisa menjadi ulama besar.
Kini tidak hanya gairah
individu yang menurun. Pengajian di kota-kota besar lebih banyak berisi
tausiyah. Majelis-majelis ilmu yang serius yang berkualitas semakin jarang,
kecuali di negara-negara Arab. Apa yang kita rindukan adalah majelis ilmu yang
terdiri dari para ilmuan muslim (ulama) yang bekerja atas dukungan pengusaha
dan penguasa. Misinya adalah untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman dangan framework dan tujuan tertentu. Majelis
ini harus dibentuk di luar ritus belajar di universitas, agar dapat membentuk
suatu komunitas ilmiyah (Scientific
Comonity) yang independen
produktif, seperti Vina Circle di
Eropah. Komunitas inilah yang disebut Prof. Alparslan Acikgence sebagai scientific tradition.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar