Pages

Monday, 1 April 2019

TRADISI ILMU Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi


taklim, dauroh, di sebuah masjid di makassar


TRADISI ILMU
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Belajar dewasa ini ditandai dengan masuk kelas, ulangan semester ujian dan lulus kemudian wisuda. Jikah dikalkulasi perolehan ilmu para mahasiswa di ruang kuliah, akan terasa sedikit sekali. Pertemuan 90 menit  hanya memberikan informasi tentang ilmu tertentu. Ujian-ujian semester hanya mengharuskan mahasiswa mengulang materi kuliah atau membaca buku rekomendasi dosen. Di luar kuliah seminar-seminar hanya sebuah informasi dan diikuti sekedarnya. Apa yang diperoleh mahasiswa S1 selama 8 semester atau S2 selama 4 semester hanyalah sedikit.
Itulah ritual belajar di zaman sekarang yang hanya dibatasi oleh tembok-tembok sekolah dan universitas. Mungkin ini yang memotivasi Ivan Illich pada tahun 70-an menulis buku De-Schooling Society. Intinya memprotes ritual belajar di kelas-kelas dan mengusulkan adanya suatu masyakarat yang memiliki tradisi belajar (Learning Society).
Kalau Ivan Illich membaca sejarah peradaban Islam, ia mungkin tidak perlu memunculkan ide itu. Belajar dalam tradisi Islam terjadi secara informal dan non- formal, tanpa mengenal tempat dan waktu. Sejak zaman Nabi hingga zaman Umayyah proses belajar berada di semua tempat dan utamanya masjid-masjid dan kuttab-kuttab. Tapi justru ini yang membuat ilmu Islam berkembang pesat.
Apa yang perlu dihidupkan lagi dalam tradisi Islam adalah tradisi ilmu. Tradisi dalam islam mengutamakan model belajar talaqqi (belajar di hadapan ulama). Seorang ulama di masa kecilnya pasti pernah ber-talaqqi dengan seorang atau lebih senior yang alim dalam berbagai bidang. Imam al-Ghazzali, Ibn Taymiyyah, Muhammad al-Fatih dibesarkan oleh beberapa alim ulama yang otoritatif dalam berbagai bidang.
Selain itu tradisi membaca, berdiskusi dan menulis merupakan fenomena yang umum dalam tradisi Islam. Al-Fatih bin Khaqan, kitab tidak pernah terlepas dari saku bajunya. Abu Bakar al-Anbari menelaah dan membaca setiap minggu sepuluh ribu lembar. Ibn Uqail al-Hambali tidak kalah mearik. Ketika matanya telah letih membaca dan lisannya telah lelah berdiskusi, maka ia berbaring di atas tempat tidur menggunakan pikirannya. Ia tidak akan berdiri kecuali telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis. Itupun dilakukan ketika ia telah berusia 80 tahun.
Ulama zaman dahulu juga suka mendengar. Imam Syafi’i mengatakan bahwa ”Ketika mendengar ilmu yang belum pernah saya dapatkan, seakan seluruh tubuh saya mempunyai telinga untuk mendengarnya. Mencari ilmu, katanya seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayang yang hilang entah kemana”. Ibn Asakir, selama 40 tahun tidak pernah menyibukkan diri kecuali dengan tasmi (mendengar dan mengulang hafalan-hafalan), mengumpulkan catatannya, menulis dan menyusun buku.
Az-Zarkasyi, pada remajanya berhasil menghafal kitab “Minhaju al-Talibin” karya Imam Nawawi (4 jilid besar). Sementara imam Ahmad ibn Hambal menghafal jutaan hadist. Ibn al-Anbari menghafal 300.000 bait sya’ir tentang bukti kejaiban al-Quran. Al-Sha’bi tidak pernah mendengar hadits dari seseorang kecuali menghafalkannya.
Selain membaca, mendengar dan menghafal, mereka juga menulis. Abdurrahman bin Abu Hatim ar-Razi belajar kepada bapaknya yang ahli hadits tampa kenal waktu. Waktu makan, waktu jalan-jalan, ketika di rumah, di luar rumah dan di setiap kesempatan ia bertanya segala sesuatu tentang ilmu. Hasilnya ia dapat menulis kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, 9 jilid besar dan kitab Al-Musnad dalam seribu jus (kurang lebih 20 ribu lembar). Sedangkan Ubaid bin Ya’isy (guru Imam Bukhari) tidak pernah makan dangan tangannya sendiri selama 30 tahun. Saudaranya menyuapinya sementara ia sibuk menulis hadits.
Imam Syafi’i menulis catatan ilmiahnya di atas pelepah kurma, tulang unta, bebatuan dan kertas yang dibuang orang. Karena catatanya itu kamarnya pun penuh sesak sehingga ia tidak dapat menjulurkan kakinya ketika tidur. Akhirnya, catatan itu ia hafalkan dan kemudian dikeluarkan dari kamarnya. Dari catatanya itu ia berhasil menulis kitabnya yang terkenal al-Umm (fikih) dan ar-Risalah (ushul fikih).
Imam Al-Bukhari tidur di atas tikarnya, bila terlintas di benaknya sebuah masalah, beliau bangun dari tidurnya menyalakan lampu, kemudian menulis hadits. Ketika beliau menaruh kepalanya untuk tidur, terlintas kembali di hatinya sebuah masalah. Sekali lagi beliau menyalakan lampu kemudian menulis haditsnya. Hal ini beliau lakukan lebih 15 – 20 kali dalam satu malam. Setelah selama 16 tahun ia menghasilkan kitab monumentalnya ”Shahih Bukhari”.
Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqalani, menulis kitab “Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari” sebanyak 17 jilid selama 29 tahun. Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menulis kitab “Gharib al-Hadith” selama 40 tahun. Itulah tradisi belajar dalam Islam.
Selain gairah belajar individu yang tinggi, pada zaman keemasan ilmu Islam, minat mencari ilmu dari lama sangat tinggi. Majelis Imam Bukhari, Majelis Abu Bakar An-Naisaburi, Majelis Imam Ahmad bin Hambal, Majelis 300 Sorban Besar Imam Al-Ghazali dan lain-lain dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu orang. Para peserta majelis-majelis itu mencatat dan mengembangkan ilmunya sehingga ia bisa menjadi ulama besar.
Kini tidak hanya gairah individu yang menurun. Pengajian di kota-kota besar lebih banyak berisi tausiyah. Majelis-majelis ilmu yang serius yang berkualitas semakin jarang, kecuali di negara-negara Arab. Apa yang kita rindukan adalah majelis ilmu yang terdiri dari para ilmuan muslim (ulama) yang bekerja atas dukungan pengusaha dan penguasa. Misinya adalah untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman dangan framework dan tujuan tertentu. Majelis ini harus dibentuk di luar ritus belajar di universitas, agar dapat membentuk suatu komunitas ilmiyah (Scientific Comonity) yang independen produktif, seperti Vina Circle di Eropah. Komunitas inilah yang disebut Prof. Alparslan Acikgence sebagai scientific tradition.

No comments:

Post a Comment

silakan komentar