PENDIDIKAN NASIONAL, WAJIB SEKOLAH DAN IDENTITAS BANGSA
Oleh: Muchamad Ridho Hidayat
Banyak yang percaya, masalah suatu negeri
sangat bergantung pada pendidikan masyarakatnya. Asumsi itu menjadi argumentasi
untuk menggagas dan memperkuat sistem pendidikan nasional, yang diartikan
sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Lalu, apa tujuan pendidikan nasional? UU
No. 20/2003 tentang Sisdiknas menjelaskan, tujuan pendidikan nasional adalah
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Secara redaksional, apa yang tertulis pada
UU Sisdiknas itu sangat baik. Tentu saja tujuan tersebut akan tercapai jika
konsep pendidikan yang diterapkan sesuai dengan karakteristik manusia
Indonesia. Penyusunan sistem pendidikan nasional mengharuskan kejelasan konsep
manusia Indonesia (apriori). Sistem pendidikan pun terkait erat dengan
pembentukan identitas nasional.
Pada masa prakemerdekaan, pendidikan bukan
untuk mencerdaskan kaum pribumi (bangsa Indonesia), melainkan diarahkan untuk
lebih memenuhi kepentingan kolonial. (Lihat, sejarah kemendikbud htpp://www.kemendikbud.go.id/main/tentang-kemendikbud/sejarah-kemdikbud)
dalam buku pelajaran sekolah disebutkan, saat politik etis dijalakan, penjajah
kolonial membangun sekolah-sekolah untuk mendapatkan tenaga administrasi yang
cakap dan murah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan ketika itu berfungsi untuk
menghasilkan tenaga kerja, yang akan menghabiskan hidupnya untuk kepentingan
penjajah sebagai stakeholder. Inilah
sistem persekolahan pertama dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
“Wajib Sekolah”
Dalam sejarah, sekolah muncul untuk
melengkapi proses pengasuhan. Sekolah yang berasal dari kata skhole, scola, scolae atau skola, yang memiliki arti ‘waktu
senggang/ luang’. Pada awalnya, sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi
anak-anak, di tengah kegiatan utama mereka. Bermain, bergaul, dan melakukan
perkerjaan rumah tangga serta membantu perkerjaan orang tua, itulah kegiatan
utama anak-anak.
Anak petani sibuk di kebun dan sawah milih
mereka, dan dalam waktu singkat mereka akan menjadi petani cilik, lalu menjadi
petani dewasa. Anak nelayan sibuk di pinggir pantai, lalu mereka pergi melaut
dan berlayar ke samudra luas dalam waktu singkat mereka akan menjadi dewasa.
Sambil menunggu dewasa mereka mengisi, waktu luang, dengan menggelar semacam
kelas pembelajaran. Kurikulumnya membaca, berhitung, seni, dan ajaran moral.
Perumusan konsep pendidikan di barat pada
masa klasik ini berhasil merumuskan apa yang disebut dengan “Liberal Art”. Komponen Liberal Art
terdiri atas Trivium (gramatika,
dialetika/ logika dan retorika) dan Quardrivium
(aritmatika, geometri, musik dan astronomi). Konsep pendidikan klasik ini
berkembang dalam tradisi gereja katolik sebelum masa Renaissannce di Eropa.
Pada 1820, Kerajaan Prussia (bagian dari
Kerajaan Jerman) mengajarkan kepada negara-negara kuat dunia, bahwa wajib
sekolah dapat dijadikan sebagai ladang percobawaan untuk membina kebiasaan
masyarakat untuk patuh. Demikian, John Taylor Gatto dalam A Short (Angry) History of Complusory Schooling (dalam buku, Educating Your Child in Modern Times,
Kinza Academy, 2010) menjelaskan, pendidikan dapat diandalkan untuk diarahkan
dan diekplotasi secara politik dan ekonomi jika dibutuhkan (mindcontrol). Setelah ini, sekolah
mempunyai fungsi baru.
Dari Prussia-lah ide dan metodologi wajib
bersekolah menyebar ke seluruh dunia. Pertama, ke Amerika Serikat dan Prancis,
kemudian ke Inggris, Jepang dan kebelahan dunia lainnya. Revolusi pendidikan
yang terjadi di Eropa kemudian diikuti hampir seluruh dunia. Gagasan ‘wajib
sekolah’ dipraktikkan, selain untuk membentuk watak dan identitas nasional,
juga kepentingan pemerintah menciptakan angkatan kerja dan tenaga professional.
Di Prussia, sistem pendidikan nasional di bawah kontrol kerajaan, lengkap dengan
kurikulum, standar pengajar, ruang kelas, hingga beasiswanya. Kesuksesan sistem
pendidikan ala Prussia dalam menghasilkan warga negara yang patuh dan mudah
diatur, membuat negara-negara lain tertarik untuk mengikutinya.
Era ‘wajib sekolah’ telah mengubah sistem
sosial dan paradigma pendidikan di masyarakat. Masyarakat lupa bahwa sekolah
itu sebelumnya hanya dilakukan di waktu senggang. Sekolah yang tadinya
dilakukan sepulang dari sawah, ladang, atau pulang berlayar, kini menjadi menu
wajib yang lengkap menjadi aktivitas utama bagi anak. Sisa waktu (luang) mereka
berubah menjadi kelelahan di rumah dan kepenatan, yang diobati dengan bermain
bersama anak-anak sekolah lainnya.
Sampai di sini ‘wajib sekolah’
menghasilkan apa yang sekarang disebut sebagai ‘usia sekolah’ dan kelas sosial
baru bernama ‘anak sekolah’. Semakin panjang dan lama masa/ waktu ‘wajib
sekolah’, semakin lama pula usia kanak-kanak mereka. Selain itu, mereka akan
semakin jauh dari keluarga dan lingkungan masyarakat. Mengapa demikian? Hal itu
karena ‘lingkungan sekolah’ yang seharusnya menjadi tempat belajar, kini
menjadi masyarakat baru; masyarakat artifisial. Anak-anak tidak lagi aktif part time di sekolah, tapi full time dan menghabiskan usianya di
sana.
Jika tidak berhati-hati, sekolah akan
menjadikan anak teralienasi dari keluarga dan lingkungan masyarakat asalnya.
Kurikulum pendidikan bisa menyeret mereka berurbanisasi, menuju pusat-pusat
industri, berburu gengsi.
Menurut sementara kalangan, menyekolahkan
anak merupakan bentuk kewajiban orang tua. Jadi, meskipun tidak atau belum
sampai diwajibkan oleh pemerintah secara ketat, masyarakat tetap menganggap
tidak bersekolah sebagai sebuah dosa. Kewajiban mengasuh anak dan mendidik
mereka dianggap terlaksana dengan menyekolahkan anak.
Pada akhirnya, bagi sebagian orang,
sekolah dianggap sebagai satu-satunya jalan yang sah untuk mendapatkan
pengetahuan. Ivan Illich dalam Deschooling
Society menyetarakan lembaga sekolah dengan lembaga agama yang memonopoli
kebenaran. Tidak sedikit orang yang menjadikan sekolah sebagai ukuran lembaga,
yang dianggap sebagai atau setingkat dengan agama. Gejala ini yang disebut oleh
sebagian kalangan dangan istilah schoolism/
sekolahisme.
Di satu sisi sistem persekolahan telah
beralih fungsi dan dijadikan sebagai alat kontrol sosial, di sisi lain
masyarakat telanjur mengganggapnya sebagai sebuah kewajiban tanpa
substitusi perkembangan sistem
persekolahan di Indonesia dapat direpresentasikan dalam program wajib belajar
sembilan tahun yang diinisiasi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Pada 2014 sempat muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar ‘waji belajar 9
tahun’ diganti karena dianggap sudah tidak relevan lagi.
Saat ini, di bawah naungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah dicanangkan wajib belajar 12
tahun, melalui pelaksanan Program Indonesia Pintar (PIP). Program ini
mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 12 tahun pada
pendidikan dasar dan menengah, yaitu dari tingkat kelas 1 sekolah dasar (SD)
atau madrasah ibtidaiyah (MI) hingga kelas 12 sekolah menengah atas (SMA) atau
madrasah aliyah (MA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) atau madrasah aliyah
kejuruan (MAK).
Program wajib belajar dianggap sebagai
program unggulan untuk menjawab
tantangan zaman dan memenuhi kebuthan. Tidak hanya menghasilkan Gerakan
Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA), wajib sekolah juga dijadikan sebagai alat
ukur pembangunan manusia dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebagimana
diketahui, IPM melihat pembangunan manusia melalui tiga aspek: hidup layak/
ekonomi, pengetahuan/ pendidikan dan umur panjang/ kesehatan (Lihat, https://www.bps.go.id/subjek/view/id26).
Dalam metode perhitungan terbaru, tingkat
pengetahuan diukur dari Angka Harapan
Lama Sekolah (HLS) atau angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) ditetapkan sebagai
ganti Angka Melek Huruf yang dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia semakin hari akan semakin ‘tersekolah’.
Menengok kembali sejarah persekolahan dan motif politik pendidikan ala Prussia,
patut ditanyakan, bagiamana dengan identitasnya sebagai manusia Indonesia?
Karena itu, konsep sekolah dan wajib
sekolah perlu dikaji secara proporsional, agar bisa diletakkan secara adil.
Jangan nantinya menimbulkan sikap berlebihan atau anti-pati. Sebab, pendidikan
sejatinya adalah proses yang bertujuan membentuk manusia yang baik. Dalam
bahasa Nabi Muhammad saw, “manusia baik adalah manusia yang bermanfaat untuk
sesama.” (khairun nas, anfa’uhum linnas).
Identits Manusia
Indonesia
Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan
khusus seseorang; jati diri (lihat, KBBI). Identitas nasional adalah ciri atau
keadaan khusus suatu bangsa. Kembali pada pembahasan tentang konsep manusia,
hal ini dapat ditinjau dari perspektif sejarah pendidikan. Pendidikan dalam hal
ini adalah upaya membentuk jiwa manusia agar sempurna. Pendidikan juga sering
disebut sebagai usaha untuk memanusiakan manusia. Sistem pendidikan Islam di
Indonesia sebelum kemerdekaan sudah terbentuk dan ajek. Tentu saja bukan sistem
persekolahan hasil politik etis yang dimaksud. Melaikan sistem pendidikan Islam
melalui lembaga pesantren, madrasah dan pendidikan Islam lainnya.
Pendidikan Islam-lah yang membentuk watak
para pejuang muslim pada era kemerdekaan. Islam juga yang mendidik para pemeluknya
untuk menentang segala bentuk penjajahan. Oleh karena itu, konsep pendidikan
islam dan praktiknya tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kebudayaan dan
identitas manusia Indonesia.
Pasca kemerdekaan hingga terbitnya UU
Sisdiknas, pendidikan nasional masih menganaktirikan pendidikan luar sekolah.
Penghargaan dan kesetaraannya belum bisa diwujudkan secara fair dan adil. Pendidikan formal persekolahan seolah menjadi anak
emas dan primadona; hanya satu-satunya bentuk untuk menjadi terdidik dan
diakui, yakni dengan menempuh jalur persekolahan. Apalagi, jika yang
dibicarakan adalah pendidikan Islam.
Pesantren yang dulu melahirkan banyak
pejuang (mujahid) kemerdekaan, masih dirasa perlu untuk diubah kurikulumnya;
diarahkan untuk digantikan konsep pendidikannya dengan kurikulum nasional.
Perlu ditanyakan, apakah setelah itu masih akan lahir para santri dan kiai yang
bermental pejuang? Madrasah yang dulu merupakan bentuk lembaga pendidikan
tinggi, dan mampu mencetak banyak guru (mu’alimin)
yang berkualitas dan ikhlas, kini disejajarkan dengan sekolah menengah yang
bersifat pendidikan anak-anak?
Dengan bentuk seperti ini,
patut ditanyakan, apakah masih akan lahir para guru bangsa yang bijaksana; jika
madrasah diubah kurikulumnya dan diturunkan kedudukannya? Wallahu a’lam bishshawab.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar