Pages

Saturday 2 March 2013

LKS, GURU, DAN PENDIDIKAN



TULISAN INI PERNAH DI MUAT
DALAM OPINI KORAN FAJAR 23/2/2013


LKS, GURU, DAN PENDIDIKAN

Oleh Muh Abid Fauzan
Guru SMK dan Pemerhati Pendidikan


Salah satu isi dari Kurikulum baru 2013, yaitu ‘tidak ada lagi penjualan LKS kepada siswa melalui koperasi dan toko buku yang di tunjuk sekolah’ ( koran Fajar 19/2). Menanggapi larangan tersebut banyak oknum-oknum yang merasa di rugikan pasalnya Lembar Kerja Siswa (LKS) sampai saat ini masih di pakai dalam pembelajaran di sekolah. Sehingga banyak orang tua siswa melapor atas masih beredarnya LKS di sekolah.

Dahulu LKS, ibarat kata, seperti tugas Pekerjaan Rumah (PR) dari guru yang dijilid atau ‘dibukukan’. Sehingga ketika itu, keberadaan LKS memang menjadi bagian penting dari proses pembelajaran. Terlebih secara aturan, beban belajar murid, selain dalam proses belajar mengajar di kelas juga dituntut model penugasan terstruktur maupun penugasan mandiri. Nah, LKS pun akhirnya menjadi bagian dari beban belajar murid tersebut.

Namun realitasnya kini LKS menjadikan guru malas dan tidak kreatif. Apalagi LKS di buat bukan lagi guru tetapi penerbit yang sebahagian bermasalah seperti contohnya munculnya gambar yang menjurus pornografi pada LKS di sebuah sekolah di Mojokerto. Hal yang sama juga muncul pada LKS yang ada di Batam. Di tambah lagi ada LKS sering menyajikan soal-soal yang salah, entah salah ketik atau mungkin sering menggunakan kata-kata yang tidak relevan dengan mata ajar atau bahkan kontraproduktif dengan karakter-karakter yang harus tetap dibangun pada diri siswa itu.


LKS, bisnis berkedok pendidikan

Sudah pasti LKS di berikan harus dibeli oleh siswa. Siswa tidak akan diberikan LKS jika tidak membayar dengan jumlah tertentu. Ini semua adalah pungutan pertama yang dikenakan kepada siswa-siswa kita.

Sekolah dan para guru pasti selalu didatangi dan dirayu oleh oknum percetakan melalui parasalesman/saleswoman untuk menggunakan LKS buatan mereka, dengan iming-iming “komisi” untuk setiap LKS yang digunakan. Biasanya oknum-oknum tersebut adalah pihak swasta yang ingin mengeruk keuntungan dari penggunaan LKS itu sendiri. Kalau saja LKS itu disediakan oleh pihak sekolah yang memang direkomendasikan oleh Diknas, mungkin itu tidak mengapa.

Dan ketika telah menjadi bisnis di pihak ini, Secara tidak langsung akan terjadi kongkalingkong, menuai benih-benih korupsi di dunia pendidikan karena bagi penerbit yang bisa memberi fee lebih banyak pasti akan laku dagangannya. Akibatnya siswa/murid dibebani dengan biaya pembelian LKS.


LKS menurunkan kwalitas guru

Dalam kegiatan belajar mengajar pun, berlangsung proses pembodohan. Para peserta didik tidak mengalami proses peningkatan kecerdasan maupun keterampilan. Terkadang Guru cenderung hanya memberikan LKS dan menyuruh para siswa atau murid mengerjakannya. Sehingga guru akan cenderung malas membuat soal karena menggantungkan pada keberadaan LKS itu sendiri. Sampai membahas jawaban LKS, guru cenderung mengandalkan kunci jawaban itu dalam mengoreksi hasil kerja siswa. Lebih parahnya lagi, tidak sedikit dengan keberadaan LKS guru lebih suka menggunakannya ketimbang menggunakan buku ajar. Siswa cukup diberikan LKS dan sibuk mengerjakan soal sendiri.

Atas fakta di atas maka pemerintah mengeluatkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 181 memang bagus untuk menghindarkan guru dari berdagang. Pasal tersebut berbunyi, "Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan".


Solusi tingkatkan kwalitas guru 

Solusi yang di tawarkan oleh penulis yaitu bagaimana meningkatkan kwalitas guru baik dari segi finansial serta dari segi kwalitas pengajarannya. Finansial terkadang menjadi alasan kenapa seorang guru melakukan praktek bisnis LKS. Dengan berbagai tuntutan-tuntunan ekonomi sedang gaji yang di miliki tak mencukupi maka guru harus memutar otak maka dipilihlah LKS sebagai tambahan dari gaji mereka. Dari segi kwalitas pengajaran, ada sebahagian guru masih belum baik pengajaranya. Namun bukan justru memperbaiki tapi malah menutupi kekurang dengan menyuruh membeli LKS dan menjadikan LKS sebagai penilaian.

Sebenarnya pemerintah telah memprogramkan untuk meninggkatkan kwalitas guru dan mengangkat kesejahteraan guru dengan program sertifikasi. Namun di lapangan program sertifikasi guru masih terjadi pengelompokan(Guru PNS, Guru Sertifikasi, Non-Sertifikasi, Guru Honor Yayasan, Guru Tetap Yayasan, dan Guru Honor Pemerintah) serta adanya kecurangan-kecurangan. Program Sertifikasi pun menjadi sumber pendapatan baru bagi mereka yang akan menjadi Tutor dan Panitia, dan lagi-lagi Guru yang menjadi korban. Guru dibebankan dengan administrasi yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas mengajar. Guru korban biaya, apalagi jika Guru swasta yang berpenghasilan dibawah satu juta rupiah, mereka (Guru Swasta) sudah pasti harus mengeluarkan uang untuk pengurusan syarat-syarat administrasi, karena yang ada di pikiran mereka adalah bagaimana dapat lulus sertifikasi dengan cara apapun (seperti menyogok Tutor atau Panitia dan memalsukan syarat-syarat administrasi) dengan harapan pendapatan akan meningkat. Hal inilah yang menyebabkan hilangnya idealisme Guru.

Maka pemerintah seharusnya menaikkan gaji guru tanpa embel-embel serta fokus pada perbaikan kwalitas pengajaran guru dengan melakukan banyak pelatihan guru. Tak lupa juga memahamkan kepada setiap guru bahwa pekerjaan yang mereka amanahi adalah mulia. Yaitu mencerdaskan anak didik termasuk kecerdasan mental dan moral, maka guru harus cerdas mental dan moral.

Selain kritis terhadap bagaimana buruknya system pendidikan di Indonesia, tetapi juga harus sadar bahwa sebagai pendidik termasuk yang punya potensi terbesar merusak pendidikan itu sendiri. Tak akan mungkin kita bisa mencapai cita-cita menghasilkan generasi muda yang penuh harapan kalau dalam proses pendidikannya saja mereka sudah melalui system yang penuh potensi penyalahgunaan kekuasaan. Kalau program pendidikan dikelola sebagai pusat kekuasaan untuk memaksakan keinginan, maka tak perlu heran apa yang terjadi di pusat kekuasaan besar lainnya, seperti hukum dan politik.
walahualam

No comments:

Post a Comment

silakan komentar