gambar hanya contoh |
CERDAS MENGUKUR KEMULIAAN
Oleh: Masrokan*
Kala itu, negeri Madinah menjadi negeri
yang penuh dengan limpahan harta. Semua itu adalah berkat Khalifah Umar ibn Al-Khaththab.
Orang-orang pun memberi ucapan selamat dan doa-doa indah kepada sang khalifah
atas keberhasilanya menggelorakan jihad, meninggikan kalimat Allah swt. dan
memakmurkan kaum Muslimin.
Tetapi, dalam kondisi demikian khalifah
sama sekali tak berbangga diri. Justru ia merangis tersedu-sedu. Di hamparan
intan, emas dan segala benda mewah, air matanya tumpah.
“Mengapa engkau menangis, wahai Amirul
Mukminin? Bukankah Allah swt. telah bukakan keberkahan langit dan bumi bagi
umat ini melalui tanganmu?” tanya seorang sahabatnya.
Mendengar ada yang bertanya demikian, Umar
pun mendongak dengan mata memerah dan pipi yang basah. Sambil menunjuk tumpukan
berlian dan emas, khalifah berujar, “Dusta! Demi Allah, ini dusta! Demi Allah
bukan begitu! Sebab, andai semua ini kebaikan, mengapa ia tak terjadi pada
zaman Abu Bakar, juga di zaman Rasulullah? Maka demi Allah, ini semua pasti
bukan puncak kebaikan.”
Sungguh jernih pandangan Umar ibn Al-Khaththab.
Ia tak mengukur kemuliaan dengan ukuran materi. Ia mengukur kebaikan dan
kemuliaan dengan bercermin pada generast terbaik sebelumnya. Jika keberlimpahan
harta tak diberikan kepada generasi sebelumnya, maka ketika keberlimpahan itu
terjadi pada masanya, ia pun tak
menganggapnya sebagai kemuliaan yang pantas dirayakan. Di tengah kondisi
manusia yang bersuka cita melihat keberlimpahan justru aa meratap. Sebab, ia
sangat menyadari bahwa keberlimpahan itu bukanlah pertanda kebaikan. Tetapi di balik
itu ada fitnah dahsyat yang harus diwaspadai.
BUKAN MATERI UKURANNYA
Dalam menilai kebaikan dan kemuliaan
sebuah lembaga perjuangan, tak sedikit di
antara kita yang terjebak pada pola pikir materialistis. Dimana penilaian gagal
atau jayanya hanya berdasar pada ukuran yang bersifat materi. Jika telah berlimpah
materi; banyak aset yang dimiliki, banyak pundi-pundi materi yang setiap saat
bisa digali, maka lembaga perjuangan itu dinilai telah berada dalam kebaikan
dan kemuliaan.
Tentu cara menilai seperti ini tak
sepenuhnya tepat. Sebab, telah tercatat dalam sejarah bahwa berlimpahnya materi
tak selalu membawa kebaikan dan keberkahan. Justru yang terjadi keberlimpahan sering
kali membuahkan beragam konflik yang berefek pada lemahnya ukhuwah hingga
berujung pada berhentinya laju perluangan. Untuk itu, bagi sebuah lembaga perjuangan
tak pertu terlalu berbangga diri tatkala sedang berlimpah materi. Dan juga tak
perlu minder atau merasa gagal tatkala sedang berkekurangan.
BERCERMIN PADA GFNERASI
TERBAIK
Dalam mengukur kebaikan dan kemuliaan
suatu perjuangan, kita patut bercermin kepada kehidupan para sahabat. Sebab,
merekalah manusia terbaik dan di masa merekalah puncak kebaikan dan kemuliaan
yang hakiki itu berada.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi saw. Bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah kurunku,
kernudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (Riwayat Bukhari).
Dalam pandangan para sahabat, kondisi
kekurangan maupun keberlimpahan adalah dua hal yang akan datang silih berganti
dengan ritme yang tak pasti. Mereka menghadapi dua kondisi itu dengan sikap
terbaik yang patut kita teladani. Ketika kekurangan mereka bersabar. Mereka
tetap optimis dan terus bersemangat memperjuangkan Islam. Adapun ketika
berlimpah materi, mereka sama sekali tak berbangga diri.
Rasulullah saw. mengingatkan, “Demo Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan
terhadap kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia
dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang
sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana
mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia
telah membinasakan mereka.” (Shahih Muslim, No. 5261)
KFMULIAAN HAKIKI
Untuk meraih kebaikan dan kemuliaan tidak cukup
hanya bermodal materi yang melimpah. Tetapi, ada yang jauh lebih penting dari
materi yaitu kekuatan spiritual dan seluruh personil yang ada di dalamnya.
Kekuatan spiritual inilah yang member energi untuk tetap istiqamah di jalan perjuangan.
Nilai spiritual ini juga akan menjadi modal penting untuk mengundang
pertolongan Allah swt. dalam menyelesaikan segala problem yang muncul di tengah
perjuangan.
Maka, demi eksisnya perjuangan, sudah
menjadi keharusan bagi seluruh personil yang terlibat dalam sebuah lembaga
perjuangan untuk memaksimalkan potensi spiritualnya. Sebab, ia menjadi bekal
vital meraih kebaikan dan kemuliaan hakiki.
Selain itu, untuk meraih kebaikan dan
kemuliaan kita harus terus membangun tiga kekuatan yang penting bagi eksisnya
laju perjuangan. Adapun tiga kekuatan itu adalah:
Pertama,
kualitas ketakwaan para personil yang terlibat dalam lembaga perjuangan. Apapun
kondisinya, baik dalam kemiskinan maupun keberlimpahan, jika sikap takwa ini
masih bersemayam kuat maka di situlah sesungguhnya tanda kebaikan dan kemuliaan
itu masih terjaga. Apalah artinya keberlimpahan, jika tak diiringi dengan
sikap takwa. Bukankah sejarah telah membuktikan, keberlimpahan yang tak diiringi
dengan sikap takwa selalu melahirkan konflik dan perpecahan. Untuk itu,
kualitas ketakwaan ini mutlak terus dijaga bahkan ditingkatkan.
Kedua,
semangat berukhuwah. Meski keberlimpahan ada dalam genggaman, tapi bila
ukhuwah sudah merenggang maka keberlimpahan itu hanya akan mempercepat terhentinya
laju perjuangan. Sebab, setiap orang hanya perpikir dirinya sendiri. Begitu
juga sebaliknya. Meski berada dalam kondisi kekurangan, namun bila ukhuwah
masih terjalin kokoh maka itu akan menjadi sumber kekuatan yang dapat menjamin
eksisnya perjuangan dan mudahnya meraih kemenangan.
Ketiga,
keikhlasan dalam perjuangan. Jika sebuah lembaga perjuangan masih diisi oleh
orang-orang ikhlas maka itu merupakan pertanda masih adanya kebaikan dan
kemuliaan. Dengan modal keikhlasan ini, para pelaku perjuangan akan tulus dalam
berbuat dan berkorban. Tidak ada kepentingan apapun, kecuali ingin meraih
surga di akhirat yang abadi. Untuk itu, keikhlasan mutlak dimiliki oleh segenap
pelaku perjuangan. Allahu a’lamu bishawab.
*Pengasuh Pesantren Hidayatullah Kendari, Sulawesi Tenggara.
No comments:
Post a Comment
silakan komentar