Pages

Monday 12 August 2019

CERDAS MENGUKUR KEMULIAAN Oleh: Masrokan

gambar hanya contoh



CERDAS MENGUKUR KEMULIAAN
Oleh: Masrokan*
Kala itu, negeri Madinah menjadi negeri yang penuh dengan limpahan harta. Semua itu adalah berkat Khalifah Umar ibn Al-Khaththab. Orang-orang pun memberi ucapan selamat dan doa-doa indah kepada sang khalifah atas keberhasilanya menggelorakan jihad, meninggikan kalimat Allah swt. dan memakmurkan kaum Muslimin.

Tetapi, dalam kondisi demikian khalifah sama sekali tak berbangga diri. Justru ia merangis tersedu-sedu. Di hamparan intan, emas dan segala benda mewah, air matanya tumpah.
“Mengapa engkau menangis, wahai Amirul Mukmi­nin? Bukankah Allah swt. telah bukakan keberkahan langit dan bumi bagi umat ini melalui tanganmu?” tanya seorang sahabatnya.
Mendengar ada yang bertanya demikian, Umar pun mendongak dengan mata memerah dan pipi yang basah. Sambil menunjuk tumpukan berlian dan emas, khalifah berujar, “Dusta! Demi Allah, ini dusta! Demi Allah bukan begitu! Sebab, andai semua ini kebaikan, mengapa ia tak terjadi pada zaman Abu Bakar, juga di zaman Rasulullah? Maka demi Allah, ini semua pasti bukan puncak kebaikan.”
Sungguh jernih pandangan Umar ibn Al-Khaththab. Ia tak mengukur kemuliaan dengan ukuran materi. Ia mengukur kebaikan dan kemuliaan dengan bercermin pada generast terbaik sebelumnya. Jika keberlimpahan harta tak diberikan kepada generasi sebelumnya, maka ketika keberlimpahan itu terjadi pada masanya, ia pun tak menganggapnya sebagai kemuliaan yang pantas dira­yakan. Di tengah kondisi manusia yang bersuka cita melihat keberlimpahan justru aa meratap. Sebab, ia sangat menyadari bahwa keberlimpahan itu bukanlah pertanda kebaikan. Tetapi di balik itu ada fitnah dahsyat yang harus diwaspadai.

BUKAN MATERI UKURANNYA
Dalam menilai kebaikan dan kemuliaan sebuah lembaga perjuangan, tak sedikit di antara kita yang terjebak pada pola pikir materialistis. Dimana penilaian gagal atau jayanya hanya berdasar pada ukuran yang bersifat materi. Jika telah berlimpah materi; banyak aset yang dimiliki, banyak pundi-pundi materi yang setiap saat bisa digali, maka lembaga perjuangan itu dinilai telah berada dalam kebaikan dan kemuliaan.
Tentu cara menilai seperti ini tak sepenuhnya tepat. Sebab, telah tercatat dalam sejarah bahwa berlimpahnya materi tak selalu membawa kebaikan dan keberkahan. Justru yang terjadi keberlimpahan sering kali membuahkan beragam konflik yang berefek pada lemahnya ukhuwah hingga berujung pada berhentinya laju perluangan. Untuk itu, bagi sebuah lembaga perjuangan tak pertu ter­lalu berbangga diri tatkala sedang berlimpah materi. Dan juga tak perlu minder atau merasa gagal tatkala sedang berkekurangan.

BERCERMIN PADA GFNERASI TERBAIK
Dalam mengukur kebaikan dan kemuliaan suatu perjuangan, kita patut bercermin kepada kehidupan para sahabat. Sebab, merekalah manusia terbaik dan di masa merekalah puncak kebaikan dan kemuliaan yang hakiki itu berada.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi saw. Bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah kurunku, kernudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (Riwayat Bukhari).
Dalam pandangan para sahabat, kondisi kekurangan maupun keberlimpahan adalah dua hal yang akan datang silih berganti dengan ritme yang tak pasti. Mereka meng­hadapi dua kondisi itu dengan sikap terbaik yang patut kita teladani. Ketika kekurangan mereka bersabar. Mereka tetap optimis dan terus bersemangat memperjuangkan Islam. Adapun ketika berlimpah materi, mereka sama se­kali tak berbangga diri.
Rasulullah saw. mengingatkan, “Demo Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, teta­pi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilim­pahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagai­mana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasa­kan mereka.” (Shahih Muslim, No. 5261)

KFMULIAAN HAKIKI
Untuk meraih kebaikan dan kemuliaan tidak cukup hanya bermodal materi yang melimpah. Te­tapi, ada yang jauh lebih penting dari materi yaitu kekuatan spiritual dan seluruh personil yang ada di dalamnya. Kekuatan spiritual inilah yang member energi untuk tetap istiqamah di jalan perjuangan. Nilai spiritual ini juga akan menjadi modal penting untuk mengundang pertolongan Allah swt. dalam menyelesaikan segala problem yang muncul di te­ngah perjuangan.
Maka, demi eksisnya perjuangan, sudah menjadi keharusan bagi seluruh personil yang terlibat dalam sebuah lembaga perjuangan untuk memaksimalkan potensi spiritualnya. Sebab, ia menjadi bekal vital meraih kebaikan dan kemuliaan hakiki.
Selain itu, untuk meraih kebaikan dan kemuliaan kita harus terus membangun tiga kekuatan yang penting bagi eksisnya laju perjuangan. Adapun tiga kekuatan itu adalah:
Pertama, kualitas ketakwaan para personil yang terlibat dalam lembaga perjuangan. Apapun kondisinya, baik dalam kemiskinan maupun keber­limpahan, jika sikap takwa ini masih bersemayam kuat maka di situlah sesungguhnya tanda kebaikan dan kemuliaan itu masih terjaga. Apalah artinya ke­berlimpahan, jika tak diiringi dengan sikap takwa. Bukankah sejarah telah membuktikan, keberlim­pahan yang tak diiringi dengan sikap takwa selalu melahirkan konflik dan perpecahan. Untuk itu, kualitas ketakwaan ini mutlak terus dijaga bahkan ditingkatkan.
Kedua, semangat berukhuwah. Meski keber­limpahan ada dalam genggaman, tapi bila ukhuwah sudah merenggang maka keberlimpahan itu hanya akan mempercepat terhentinya laju perjuangan. Sebab, setiap orang hanya perpikir dirinya sendiri. Begitu juga sebaliknya. Meski berada dalam kondisi kekurangan, namun bila ukhuwah masih terjalin kokoh maka itu akan menjadi sumber kekuatan yang dapat menjamin eksisnya perjuangan dan mudahnya meraih kemenangan.
Ketiga, keikhlasan dalam perjuangan. Jika sebuah lembaga perjuangan masih diisi oleh orang-orang ikhlas maka itu merupakan pertanda masih adanya kebai­kan dan kemuliaan. Dengan modal keikhlasan ini, para pelaku perjuangan akan tulus dalam berbuat dan berkor­ban. Tidak ada kepentingan apapun, kecuali ingin me­raih surga di akhirat yang abadi. Untuk itu, keikhlasan mutlak dimiliki oleh segenap pelaku perjuangan. Allahu a’lamu bishawab. *Pengasuh Pesantren Hidayatullah Kendari, Sulawesi Tenggara.

No comments:

Post a Comment

silakan komentar