Diakhir bulan September yang lalu, masih segar dalam ingatan kita yang sempat menggegerkan media adalah aksi tawuran pelajar yang mengakibatkan seorang pelajar tewas. Aksi tawuran pelajar ini terjadi di Jakarta yang melibatkan dua sekolah yaitu SMAN 6 dengan siswa berasal dari SMAN 70 Bulungan, Jakarta Selatan. Akibatnya tawuran tersebut satu orang siswa tewas, dan dua orang lainnya luka-luka.
Peristiwa tersebut menjadikan kita harus kembali memperhatikan pendidikan pelajar kita. Walaupun tawuran tersebut tidak terjadi di tempat kita.namun kita harus tetap memberikan pengawasan kepada pelajar kita. Bukankah tawuran pelajar juga pernah (atau bahkan sering) terjadi tawuran oleh pelajar kita.
Masalah tawuran pelajar memang telah menjadi sebuah fenomena sosio-kultural yang terkait dengan aspek kehidupan lainnya. Problem ini tidak lagi bisa diselesaikan hanya oleh para guru, para pelajar itu sendiri maupun polisi. Harus ada solusi yang holistik dan langsung menyentuh kepada akar persoalan yang paling mendasar.
Remaja dan Lingkungan Bergaul
Masa remaja yang identik dengan pelajar adalah suatu masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dimana remaja merasa bukan kanak – kanak lagi, tetapi mereka belum mampu mengemban tugas sebagai orang dewasa. Karena itu, remaja berada di antara suasana ketergantungan ( dependency ) dan ketidaktergantungan ( interdependency ) sehingga tingkah lakunya cenderung labil serta tidak mampu menyesuaikan diri secara sempurna terhadap lingkungannya.
Masa ini dikenal sebagai masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif ( group deviation ). Mereka patuh pada norma kelompoknya atau teman bergaulnya yang sangat kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.
Pendidikan Moral Vs Pendidikan Materi
Boleh jadi penyebab maraknya tawuran pelajar karena kegagalan pendidikan di sekolah. Banyak pakar mengaku saat ini sebahagian pendidikan dunia sudah berubah jadi seperti “pabrik”. Anak dididik bukan untuk tujuan yang bersifat moral, tapi lebih bertujuan ekonomi.Anak seolah digiring oleh orang tua, pendidik, dan pemerintah menjadi “mesin pencetak uang” belaka. Yang anak cari bagaimana bisa selalu “menjadi nomor satu”. Maka filosofi yang ditanam sekolah dalam benak anak adalah sukses hidup identik dengan pintar mencetak uang semata.
Lantas, apa yang dihasilkan dari realitas di atas ? Tentu, kita bisa menangkap gejala yang nampak sebagai representasi, sekaligus, ‘prestasi’ dunia pendidikan kita, yakni kian merosotnya moral dan etika. Lantas, bagaimana jika manusia, khususnya anak didik hidup tanpa etika? Atau bahaya apa saja jika suatu negara besar seperti Indonesia ini mempunyai SDM di kalangan terdidik, namun mengalami krisis moral?
Dampak tawuran pelajar sebenarnya ibarat gunung es yang sebenarnya tawuran hanya menjadi salah satu dampak dimana banyak lagi dampaknya yang terjadi seperti penodongan, pembajakan bus dan tindakan kriminal lainnya. Penyalahgunaan narkoba, minuman keras, permainan judi serta menjamurnya praktik pergaulan dan seks bebas. Semuanya adalah fenomena aktual yang menimpa para siswa peserta didik kita.
Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan yang mapan disinyalir kurang memberikan pendidikan moral dan etika pada para siswanya. Selama ini, ajaran-ajaran yang ditekankan di sekolah melulu soal pelajaran akademis dalam satuan teori-soal, seperti matematika, fisika, sejarah, dan seterusnya. Kalau pun ada mata pelajaran moral atau agama, ia hanya direduksi sebatas pelajaran yang diajarkan sekadar teori.
Para pakar sekarang memang ramai melirik kembali pelajaran budi pekerti, atau apalah namanya, yang memberikan pemahaman terhadap etika, norma dan moral. Penelitian Malik (2002) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya tawuran pelajar adalah krisis moral yang tengah melanda remaja. Padahal moral adalah modal yang paling penting sebagai tameng bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya. Sehingga, pencegahan tawuran dapat dilakukan secara efektif dengan memberikan pendidikan moral kepada pelajar melalui pembinaan agama melalui metode yang tepat.
Mengapa kita mengarahkan solusi kepada perbaikan moral ? karena hanya dengan moral yang baik, seseorang tetap akan berperilaku baik secara konsisten, meskipun tanpa kehadiran pengawas, guru atau orang lain di sekitarnya. Maka dengan pendidikan moral secara intensif merupakan suatu upaya yang efektif untuk mendidik para pelajar secara sadar dan konsisten mau menghindari tawuran.
Proses pendidikan yang seperti ini diharapkan bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik ke arah kedewasaan, kemandirian dan tanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya. Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan sumber daya alam yang kita miliki dan dihargai di dunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun sekarang, siapakah yang harus memikul amanah tanggung jawab pembinaan kepribadian remaja tersebut. Bisakah diserahkan sepenuhnya kepada lingkungan rumah atau pihak sekolah saja. Mungkin saja bisa, akan tetapi melihat kondisi umum remaja saat ini, nampaknya kita tidak dapat menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab tersebut hanya pada pihak – pihak tertentu saja. Tentunya kita tidak dapat menyalahkan siapa – siapa. Setiap kita haruslah punya kepedulian dan mampu memberi kontribusi, sekecil apa pun itu, sesuai dengan kewenangan dan kesanggupan masing – masing.
Walahu alam
TULISAN ini pernah di publis di rumah rohis dengan judul : tawuran gimana solusinya??
No comments:
Post a Comment
silakan komentar