Pages

Monday, 17 January 2011

WARNA-WARNI PERFILMAN INDONESIA Dari Idealisme, Komersialisme Film Sampai Identitas Film Indonesia

Baru-baru ini kita disuguhkan film terbaru dari Sutradara Deddy Mizwar yang berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Sutradara Deddy Mizwar tetap pada karakter film-film yang dibuatnya yaitu menyoroti kehidupan sosial di negeri ini. Walaupun baru muncul di bioskop, penulis belum sempat menonton di bioskop (^  ^)
Penulis jadi teringat film-film yang sebelum ada, mulai dari film horor “Tiran”, film religius “Di bawah langit”, ada juga film yang memadukan antara komedi dan romantis, seperti Bebek belur dan sebagainya. Tampak pecinta film tahun ini dimanjakan dengan film-film dengan berbagai ciri dan karakter yang berbeda-beda. Pada era 1980-1999, pencarian identitas ke Indonesia dalam dunia perfilman sudah berlangsung lama. Kini perfilman Indonesia disajikan dengan berbagai karakter dan latar belakang yang berbeda-beda. Ini tak lepas dari pembuatan atau idealisme para pembuat film khususnya stradara. Para pembuat film memiliki latar belakang yang berbeda serta tujuan membuat film. Kita melihat sutradara Deddy Mizwar sampai saat ini, tetap istiqamah menampilkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan seperti ketika, Nagabonar Jadi 2, Kiamat Sudah Dekat, dan lain-lain.

Tentunya kita patut salut pada sang sutradara, apalagi ikut menjadi tokoh di dalam filmnya sendiri. Ini menunjukkan suatu idealisme dalam film. Ada pesan moral yang ingin disampaikan melalui film. Tidak hanya Deddy Mizwar saja, tapi banyak sineas yang juga memperjuangkan cita-cita (idealisme) melalui film yang bermutu seperti Riri Reza, Garing Nugroho, dan sebagainya. Memang tidak mudah memperjuangkan cita-cita, dengan himpitan komersialisme film saat ini.
Saat ini film yang laku atau yang tren, yaitu film horor berbau seks, seperti “Hantu Binal Jembatan Semanggi”, atau film komedi berbau seks, seperti baru-baru “SKJ”. Walaupun sebenarnya indikasi trennya film tersebut menunjukkan masih kurangnya minat masyarakat dalam menonton film berkualitas, lebih memilih pada film yang berbau seks. Akibat kondisi tersebut banyak (beberapa) sineas film “mengekor” film yang lagi laku di pasar, sehingga melupakan pesan moral yang ingin disampaikan. “yang penting laku” (katanya...). Maka tak jarang ada film yang benar-benar berbau seks seperti “18+ atau The Seksi City”. Memang tidak selamanya komersialisme jelek, idealisme dan komersialisme bisa berjalan beriringan. Tidak selamanya film bagus itu tidak laku dan film laku itu tidak bagus. Indonesia (telah) bisa mempunyai film laris yang bagus atau film bermutu yang laku keras seperti film Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Sang Pemimpi, dan sebagainya.
Dengan segala cara dan tujuan pembuatan film-film Indonesia (beserta kekurangannya) tentunya menjadi bagian proses pembentukan identitas film Indonesia. Kita tetap berharap ke depannya para sineas film Indonesia tetap menghadirkan identitas “kultural pribumi” tanpa melupakan pesan moral di dalamnya. Kita juga berharap pada produser film memperhatikan hal ini karena terkadang sang produser mendikte hingga melupakan pesan moralnya. Wahyu Sihombing yang dikenal lewat sinetron Losmen, juga mengeluhkan campur tangan produser yang berlebihan sehingga pernah berkomentar, “Ah, film ini betul-betul cuman tempat cari makan, bukan untuk memperjuangkan cita-cita”.
Padahal, dalam Mukadimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film mempunyai fungsi yang amat mulia. “Film dan televisi bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan darma baktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila”.
Menurut beberapa teori film, film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zitgeist) masyarakat saat itu. Seorang pakar film, Siegfried Kracauer menyatakan bahwa pada umumnya dapat di lihat kalau teknik, isi cerita, dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu. Artinya, perkembangan film Indonesia hanya dapat dipahami deangan  baik jika perkembangan itu di lihat dalam hubungan dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa itu.
Oleh karena itu, seharusnya identitas kultural bangsa Indonesia akan hadir dalam setiap film yang dibuat oleh orang Indonesia. Film seharusnya menampakkan wajah masyarakatnya. Apakah itu menangkap keseluruhan jiwa atau penggalang-penggalang tertentu, seperti suku, agama, atau kelas sosial tertentu. Sehingga fungsi film dapat terwujud, yaitu sebagai arsip sosial yang menangkap Zeitgeist (jiwa Zaman) saat itu. Walaupun sebenarnya telah banyak film yang berusaha menampilkan wajah Indonesia melalui film, tetapi masih ada kekurangan.
Film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakat. Penonton pun akan merasa dekat dengan tema yang hadir, bahkan merasa melihat dirinya sendiri. Dengan begitu masyarakat dapat menilai dan memperbaiki kehidupan ke arah yang lebih baik. Serta boleh jadi, film Indonesia akan terasa ciri khasnya. Jika orang bisa berkomentar, “Ini Film Hollywood banget!”; “Ini film India banget!”; maka suatu saat orang luar negeri atau kita (Indonesia) akan mengatakan “Ini film Indonesia banget!”.
Wallahu Alam
Di tengah himpitan idealismeku dan desakan kebutuhan dunia.
Di bumi Allah,2010
(dari berbagai sumber)

1 comment:

  1. susah sih mas film di indonesia berkembang, karena kebanyakan banyak manusia pintar di indonesia tidak mendapat pekerjaan sehingga harus keluar negeri dan setelah sukses lupa untuk pulang. seperti film hollywood yang full effect salah satu team nya dari indonesia malah, selamat bergabung di bloofers yah sobat.

    Mampir ke blog saya ya sobat ada sebuah Konsep Sosial yang saya impikan kelak.

    Salam Persohiblogan ^_^

    ReplyDelete

silakan komentar