Aku menyebutnya Andi karena ia sangat wibawa dan baik hati. Sudah beberapa hari aku mengenalnya di kampus, walaupun beda fakultas, ia tak segan-segan berkenalan dengan siapa saja, termasuk ikut gabung sama pengajian di masjid kampus. Tapi kali ini Andi khusus bertemu denganku ingin menceritakan kisahnya untuk bisa menjadi pelajaran, untuk dirinya, aku dan para pembaca sekalian.
Kisah ini berawal pada masa SMA dulu yang tidak jauh berbedanya remaja abad ini yang jauh dikatakan baik.
- - - - - -
Andi dengan menggigil karena hujan yang menebar virus dingin menusuk jasnya, tapi Andi tidak peduli dengan semua itu. Ia telah biasa menunggu di depan sekolah kelas selesai pulang sekolah.
Dengan gigih Andi menunggu sang pujaan hatinya, sebut saja Ana. Telah berbulan-bulan ia terjajah oleh cinta karena Ana memiliki wajah cantik dan manis. Ia harap-harap cemas apa ia akan lewat pulang atau ia akan dijemput oleh omnya.
Ternyata benar, Ana datang bersama teman-teman perempuannya yang beberapa membawa payung. Hujan hari itu hanya rintik-rintik. Untuk sekian kalinya Andi melemparkan senyum melihatnya, tapi Ana tak menghiraukannya.
Ana berjalan melewati Andi sambil berbincang dengan temannya. Andi mengikuti Ana dan teman-temannya. Andi mengikuti ana dan temannya dengan jarak beberapa langkah.
Salah satu temannya menegur ana, “Kamu nggak sadar ya!, tiap hari diperhatikan orang?”.
Dengan spontan Ana balik sedikit ke belakang menemukan sosok yang dimaksudkan temannya. Andi tertahan langkahnya, untuk pertama kali Ana melihatnya. Ia bersyukur walau hanya mendapat tatapannya.
Sebetulnya Ana sadar tapi dia kelewat tidak mau tahu, dan pemberitahuan itu cukup membuatnya berubah jadi memperhatikan tingkah Andi.
Esoknya, Ana tersenyum simpul melihat Andi sudah siap duduk di tempat persembunyiannya. Mata Ana menemukan sosok yang memperhatikannya, pandangan mereka bertemu, “apa mungkin ini awal cintaku pandanya” Batin Ana.
Setelah beberapa Minggu berlalu, Andi merasa tertantang keberaniannya. Ia menghampiri Ana yang sedang bergerombol dengan teman-temannya menjelang bel masuk. Sadar ada yang sedang saling tatap, teman-temannya menyingkir, sementara Ana tak bergeming dari tempatnya.
Andi memberikan kertas padanya dan berlalu tanpa kata. Dengan perasaan was-was Ana membuka amplop dan membaca ungkapan cinta Andi. Matanya panas, tangannya gemetar dan kepalanya sedikit berdenyut.
Sebenarnya isinya sih pusi-puisi indah yang ia copy dalam teks-teks puisi, tapi walhasil Andi jadi mahir menulis puisi he.. he....
Mulailah kisah cinta mereka. Pagi adalah hal terindah, Andi menunggu kedatangan kekasihnya di sekolah, ketika pulang ia mengantar pulang, hanya itu tidak lebih. Pernah suatu kali Ana memperkenalkannya pada keluarganya. Ternyata Ana adalah pindahan dan tinggal bersama omnya yang kerja dalam suatu perusahaan di Makassar.
Mungkin keluarga (omnya) Ana menganggap kami pacaran walaupun Aku tidak mengungkapkan cinta atau “nembak” layaknya remaja-remaja saat itu. Yang kutahu Ana asal dari daerah Jauh merantau menuntut ilmu di Makassar.
- - - - - - -
Beberapa tahun berjalan, hingga datang waktu yang tak di suka Andi terjadi. Saat itu Ana lagi sakit. Ketika kujenguk di rumah sakit, ternyata Ana usus buntu, mau dioperasi. Dengan rutin Andi menjenguknya selesai pulang sekolah. lalu Andi melihat ada seorang pria di sana. Pria asing yang belum pernah kulihat sebelumnya namun ia menjadi sumber perhatian semua orang saat itu.
Orang tua Ana datang menjenguk, juga memperhatikannya karena ku tahu ia datang bersama orang tua Ana. Andi berprasangka baik mungkin itu saudara Ana atau sepupunya. Tapi melihat kondisinya, Andi pun mulai membaca realitanya. Ibu Ana selalu memandang ke arah pria tersebut, bapak Ana selalu mencari perhatian padanya, saudara-saudaranya berbicara dengan tutur kata amat sopan termasuk omnya, dan Ana... Ana malah berbicara dengan lembut pada pria itu.
Andi tersadar, ada sesuatu yang terjadi antara mereka berdua sebelumnya dan kini bersemi kembali. Kemunculannya yang tiba-tiba, membuat Andi merasa disisihkan oleh keluarga Ana.
Andi tahu mereka tidak suka keberadaannya dan tak ada sepatah kata sapaan untuknya. Saat pamit, Andi melihat kegembiraan di mata mereka. Sedang Ana, Andi tidak tahu gimana responsnya, Andi berharap Ana paling minimal menatapnya walau Andi sudah balik, meskipun hanya melihat pundaknya saja.
Tidak dibutuhkan kecerdasan lebih untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pria itu tunangan baru dan terbilang masih kerabat mereka. Pria itu terbilang kaya mungkin sangat kaya. Ia pemimpin di perusahaan, tepatnya di daerah Ana, dan pulang sebentar untuk liburan. Ia ingin menikahi Ana dan membawa kembali ke kampung halaman. Semua itu cukup membangkitkan khayalan keluarga Ana tentang hidup yang mapan dan mewah.
Tapi Andi tak menyerah, Andi tetap berharap cinta Ana padanya. Hingga dari sekian kali Andi menjenguk, sore itu ketika Andi mendekati Ana, pamannya menyentuh pundak Andi. Dia memberi isyarat agar Andi keluar, ia mengikuti langkahnya diiringi tatapan tidak suka keluarga Ana.
“Andi, aku mau menyatakan beberapa hal padamu”. Nampak sekali paman Ana berusaha memilih kalimat yang tepat agar Andi tidak terluka, namun semua usahanya hilang bersama hembusan angin. Setiap kata yang terucap terasa seperti sebilah belati dingin mengiris daging Andi.
“Andi, Allah menyayangi orang yang tahu batas kemampuannya, sepertimu misalnya apa yang mampu kau berikan pada Ana? Kau terpelajar dan masih muda, belum bekerja dan aku tidak tahu sampai kapan kau terus begini. Kalau toh kau dapat pekerjaan, berapa sih gajimu? Kau tidak punya tabungan. Dari mana kamu dapat membeli rumah untuk tempat tinggal? Berapa yang kau pakai untuk biaya pete-pete dan beli rokok? Berapa uang yang akan kau pakai untuk beli pakaian? Apakah kau tahu berapa harga seliter beras atau berapa harga sepasang sepatu? Atau berapa juta yang kau perlukan untuk membeli sebuah rumah? Aku tahu kalian saling mencintai sejak SMA, tapi siapa bisa makan hanya dengan cinta atau beli baju dengan cinta? Hidup di dunia saat ini amat sulit, Nak!”
Tenggorokan Andi tercekat.
“Saking sulitnya hingga cinta saja tak mampu menjadi dasar kehidupan berumah tangga. Lalu, kenapa kau harus menghalangi Ana untuk menikmati kebahagiaannya dengan laki-laki yang memiliki semua syarat tadi? Aku tak bermaksud menyakiti hatimu, namun kau juga harus realistis, coba kau tanyakan “Apa kata Makasar pada-mu?” tambahnya.
Perkataan “apa kata Makassar pada-mu?” seakan terngiang di kepalanya. Andi tak pernah melakukuan hal-hal yang dapat bemanfat untuk orang lain bahkan untuk dirinya sendiri. Andi menganggap hidup hanya mengalir. Tak ada hal hebat yang dapat dibanggakan. Hatiku dihantui rasa putus asa dan pesimis dalam hidup. Dan paman Ana melanjutkan membuatku tersentak lagi, Andi hanya diam menahan perihnya hatinya tersayat.
“coba kamu pikir berapa harga mahar, terlebih lagi uang panaik-nya yang akan diajukan pada pria yang hendak meminang. Nak Andi, jika kau sungguh-sungguh mencintai Ana, Jauhilah dia mulai saat ini!”.
Begitulah, paman Ana menyudahi pembicaraannya dengan sebuah keputusan yang lugas. Andi harus menjauhi Ana supaya dapat menikah dengan pria yang sudah mapan. Dan Andi tak berhak mengganggu rencana itu karena Andi tak memiliki kecukupan materi demi kehidupan Ana ke depan.
- - - - - - -
Dalam lorong-lorong Makassar, ia berjalan dengan segala rasa sakit yang dirasakan di hati. Seakan lorong-lorong itu tak memiliki ujung berjalan, ia tak memiliki semangat. Seorang lelaki pantang untuk menangis namun beban bagi Andi begitu berat ia rasa, hingga ia tak sadar mengeluarkan air mata.
Tapi Andi mencoba mengatur mozaik hatinya yang teracak-acak. Mencoba membangkitkan sirri pada diri seorang laki-laki. Harus tegar dan kuat, ia coba memikirkan nasib dari kisah cintanya bersama Ana. Ana telah lama ia kenal, ia telah menjadi bagian dari hidupnya.
Terbesit dari relung hatinya untuk melakukan “silariang” yang dilakukan pada remaja saat ini yang telah membudaya. Akibat kuatnya tradisi masyarakat kami adanya uang “panai” dalam melamar membuatnya ingin membalas dengan tradisi pula (silariang). Hati Andi mulai teraduk-aduk untuk melakukannya.
Tetapi ia teringat kata keramat yang dikatakan oleh paman Ana, “apa kata Makassar pada-mu?” kata-kata itu menyadarkan Andi untuk tahu diri. Ia pun mengintropeksi diri. Mencoba menata diri, jangan sampai nafsu yang mengalahkannya.
Waktu terus berjalan Andi pun tidak lagi menjenguk Ana. Andi merasa hampa dalam hidupnya. Untuk mengalihkan kecewanya, Andi pun mengikuti berbagai kegiatan kampus, termasuk kegiatan di mesjid kampus seperti tarbiah dan kajian-kajian yang lagi marak di Makassar. Bila tiba-tiba ia mengingat Ana, hatinya perih dan tersiksa. Ia pun berusaha melupakannya dengan terus sibuk mengisi aktivitasnya.
Andi pun merenung kisah cintanya bersama Ana. Dengan perlahan sambil menahan rasa sakit. Dengan berjalanya waktu, sakit itu pun perlahan tak terasa lagi. Andi pun bertekad untuk memperbaiki diri dan hidupnya yang lebih mapan. Tabungan yang sebelumnya, akan dipakai bersama Ana nanti, dipakai untuk mencari pekerjaan. Andi pun meninggalkan rokok, dan hal-hal yang tidak ada gunanya.
Tak terasa beberapa tahun berlalu semenjak kejadian itu, kini Andi lebih tegar dari sebelumnya. Ia bertekad untuk terus memperbaiki diri.
Kini ia telah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Andi berharap kisah cintanya bersama Anak tak terulang lagi. Andi bertekad untuk menjawab pertanyaan itu “Apa kata Makassar padaku?”.
Untuk Ana, entah apa yang dilakukan saat ini. Apakah ia tetap mengingat Andi ataukah mungkin ia lagi berbahagia bersama pria (suami) idamannya. Wallahu A’lam. Akankah... kita akan bertemu lagi?
Mungkin bila nanti
Kita kan bertemu lagi
Satu pintaku, kau jangan
Tanyakan kembali
Pada yang kutinggal mati....
Andi Ghuroba*
*Nama pena pemiliknya yang lagi kuliah di salah satu Universitas Negeri di Makassar
No comments:
Post a Comment
silakan komentar