MOHON MAAF MATERI DAUROH
“KENAPA UMMAT ISLAM MENGALAMI KEMUNDURAN”.
“KENAPA UMMAT ISLAM MENGALAMI KEMUNDURAN”.
(Limadza
yata akhkhar al Muslimuna)
TELAH KAMI HAPUS
TELAH KAMI HAPUS
KETERHIJABAN DAN BAIK SANGKA
Oleh: Salim A. Fillah
Ada banyak hal yang tak pernah kita minta
tapi Allah tiada alpa menyediakannya untuk kita sepersi nafas sejuk, air segar,
hangat mentari, dan kicau burung yang mendamai hati jika demikian, atas doa-doa
yang kita panjatkan persiaplah untuk diijabah lebih dari apa yang kita mohonkan.
Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.
“Di mana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah
lama aku memohon dan meminta pada-Nya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan
segala ketaatan pada-Nya. Kujauhi segala larangannya. Kutegakkan yang wajib.
Kutekuni yang sunah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku
bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalam-Nya. Aku upayakan sepenuh kemampuan
mengikuti jejak Rasul-Nya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku
itu sama sekali.”
Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,” lanjutnya sambil kini
berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak
utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Tapi begitu dia
berkata bahwa dia mengiginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji.
Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana
keadilan Allah?”
Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk
menghakiminya. Saya bias saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri
dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu
sebagaimana iblis telah terlena! Jangan heran kalau doamu tidak diijabah.
Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai
beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di
sisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”
Saya bias mengucapkan itu semua. Atau banyak
kalimat kebenaran lainnya.
Tapi saya sadar. Ini ujian dalam dakapan
ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna
baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir,
luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.
Maka saya katakana padanya, “Pernahkah
engkau didatangi pengamen?”
“Maksudnya?”
“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring
tersenyum. “Pernah?”
“Iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya
menatap saya lekat-lekat.
“bayangkan jika pengamennya seorang yang
berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyyanyiannya
lebih mirip teriakan yanh memekakkan telinga. Suarannya kacau, balau, sengau,
parau, sumbang, dan cempreng. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali
tidak dapat dinikmati. Apakah yang akan kau lakukan?”
“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera
berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”
“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara
emas, mirip sempurna dangan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi
dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi; apa yang kau lakukan?”
“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,”
dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang
canduinya itu. “Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi.
Dan lagi.”
Saya ketawa.
Dia ketawa.
“Kau mengerti kan?” tanya saya. “Bisa saja
Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambanNya. Jika ada manusia yang
fasik, keji, mungkar, banyak dosa, dan dibenciNya berdoa memohon padaNya,
mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: ‘Cepat berikan apa yang iya minta.
Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar
pintanya!”
“Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata,
“Bila yang menadahkan tangan yang adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat
beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan
sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya: ‘Tunggu! Tunda
dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah
hambahKu ini terus memita, terus berdoa, terus menghiba. Aku menyukai
doa-doanya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan
tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia
menjauh dariKu setelah mendapat apa yang dia pinta.aku mencintaiNya.”
“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul
demikiankah yang terjadi padaku?”
“Hm… Pastilah aku tak tahu,” jawab saya
sambil tersenyum.dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk
pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”
Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.
Kita tidak pernah tau apa yang terjadi esok.
Kita terhijab dalam kegelapan. Kita tertabir dari suatu keadaan yang kita sebut
sebagai masa depan. Dalam kepekatan itu, kita hanya bias mengira-ngira. Kita
menduga-duga. Kita berprasangka. Bisa baik, bisa buruk. Bisa positif, bisa
negatif. Bisa opimis, bias pesimis. Itu semua pilihan. Tetapi kita harus
menyusuri langkah-langkah dalam dekapan ukhuwah, sepertinya kita harus memilih
untuk berbaik sangka.
Sepnjang kehidupan yang kita lalui selama
ini, sebenarnya kita telah menjadi saksi dahsyatnya kekuatan baik sangka. Kita
tak mungkin mampu untuk duduk atau berdiri hari ini, andai telah kita yakini
bahwa sedetik lagi kematian menghampiri. Kita tak mungkin berani berbaring,
sebab seperti tertulis dalam data, empat perlima kematian terjadi diatas
ranjang. Kita tak mungkin berani bersantap, sebab aneka kuman dan virus yang
jutaan kemungkinan ada dalam sesuap nasi dan sekerat brokoli. Kita pasti
mencoba untuk menahan nafas, sebab udara disekitar kita berpeluang mengandung
selaksa unsure dan senyawa yang mematikan.
Tapi kita masih berprasangka baik.
Dengan prasangka baik itu kita merencanakan
dengan penuh harap dan rindu, bahwa kelak dikehidupan selanjutnya Allah akan
menempatkan kita kita di surga. Bahwa diujung usia nanti, kita akan dijemput
oleh kematian yang paling indah. Bahwa dalam hari-hari yang akan dating, kita
akan menjalani hidup yang makin bermakna, penuh cinta, dan penuh bahagia.
Dengan prasangka baik kita bias merenda mimpi, menggantungkan cita, dan menyusu
rencana-rencana untuk masa depan.
Tapi kadang-kadang seperti kawan dalam
cerita yang telah kit abaca diatas, ketika terbentur terjuinya hidup,
adakalanya kita disergap buruk sangka. Manusiawi. Namun tak boleh dibiarkan
lama-lama. Dalam dekapan ukhuwah, baik sangka sepertinya adalah satu-satunya
pilihan. Agar kita menyempurnakan akar pohon iman. Agar kita bias menjuraikan
dau yang rimbun dan bunga-bunga. Agar kita mampu menjumbaikan buah yang manis,
harum, dan lembut. Agar kita memilih batu bata yang cukup, untuk mendirikan menara
cahaya, kelak di surgaNya.
Dalam dekapan ukhuwah kita hayati firman
dalam hadits Qudsi itu. “Sesungguhnya Aku,” kata Allah dalam ujaran Nabi yang
diriwayatkan Ibnu Majah, “Ada di sisi prasangka hambaKu pada diriKu.”
“Aku bersamanya setiap kali dia mengingatKu.
Jika dia mengingatKu dikala tiada kawan, maka Aku akan mengingatnya dalam
kesendirianKu. Jika dia mengingatKu dalam suatu kumpulan, niscaya Aku sebut dia
dalam suatu kaum yang lebih baik daripada jama’ahnya. Jika dia mendekat padaKu
dalam jarak sejengkal, maka Aku mengakrabinya dengan beringsut sehasta. Jika
dia mendekat padaKu dalam jarak satu hasta, Aku akan menyambutnya dengan
bergeser satu depa. Apabila dia dating kepadaKu dengan berjalan, Aku akan
dating padanya dangan berlari-lari kecil.
Dalam dekapan ukhuwah, ada berjuta kebaikan
mengiringi prasangka yang baik padaNya.dia seta bersama kita dan melimpahkan
kebaikan, karena kita mengingatNya juga dengan prasangkaan kebaikan.
Dimasa “Abbasiyah akhir, negeri-negeri
Muslim tersekat oleh berbagai kesultanan yang berkuasa sendiri-sendiri. Yang
duduk bertahta di Baghdad dan
mereka sebut “Amirul Mukminin” memang
masih ada. Tetapi dia tak lebih dari pemuda manja yang diperlakukan bagai
boneka oleh para sultan yang berebut pengaruh.
Kisah ini adalah sebuah sejarah kecil pada
era itu, seperti istilah wartawan tiga zaman, Rosihan Anwar. Ini kisah seorang
ayah dan anak. Sang ayah bekas budak. Selama menjadi budak, libur Jumat sebagaimana ditetapkan kesultanan dimanfaatkannya untuk
habis-habisan bekerja. Dengan dirham demi dirham yang terkumpul, satu hari dia
minta izin untuk menebus dirinya pada sang majikan.
“Tuan,” ujarnya, “Apakah dengan membayar
harga senilai dengan berapa engkau membeliku dulu, aku akan bebas?”
“Hm.. Ya. Bisa.”
“Baik, ini dia,” katanya sambil meletakkan
bungkusan uang itu di hadapan tuannya.
“Allah ‘Azza wa jalla telah membeliku dari Anda, lalu Dia membebaskanku.
Alhamdulillah.”
“Maka engkau bebas karena Allah,” ujar sang
tuan takjub. Dia bangkit dari duduknya dan memeluk sang budak. Dia hanya
mengambil separuh harga yang tadi disebutkan. Separuh lagi diserahkannya
kembali. “Gunakankan ini,” katanya berpesan, “Untuk memulai kehidupan barumu
sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia menjadi sebagian Tangan Allah yang
membebaskanmu!”
Penuh syukur dan haru, tapi juga disergap
khawatir, dia pamit. “Aku tidak tahu wahai Tuanku yang baik,” ucapnya dengan
mata berkaca-kaca, “Apakah kebebasan ini rahmat ataukah musibah. aku hanya berbaik
sangka kepada Allah.”
Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah. Tetapi sang istri meninggal
dunia ketika menyelesaikan
tugasnya, menyempurnakan susuan sang putra hingga usia dua tahun. Maka
dibesarkan putra semata wayangnya itu
dengan penuh kasih sayang. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan
sunnah Nabi, juga untuk bersikap kesatria
dan berjiwa merdeka.
“Anakku,” katanya disuatu pagi, “Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu ini separuh
manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga kehormatan dan kesucianku,
maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku. Dan jadilah kita orang merdeka.
Maka Nak, orang bebas yang paling merdeka adalah dia yang memilih caranya untuk
mati dan menghadap Ilahi!”
“Ketahuilah,” lanjutnya,’’Seorang yang
syahid di jalan Allah itu hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh, dia akan
disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat dengan terbang ke
sana-kemari dalam tubuh burung hitau di taman surga, dan dizinkan bagianya
memberi syaf’at bagi keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu, Nak, dengan
berjihad lalu syahid di jalanNya!’’
Sang anak mengangguk-angguk.
Sang ayah mengeluarkan sebuah kantung
berpelisir emas. Dinar-dinar di dalamnya
bergemerincing. “Mari mempersiapkan diri”, bisiknya. ‘’Mari kita beli
yang terbagus dengan harta ini untuk
dipersembahkan dalam jihad dijalanNya. Mari kita belanjakan uang ini
untuk mengantar kita pada kesyahidan
dengan sebaik-baik tunggangan. ‘’
Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan
menuntun seekor kuda perang berwarna hitam. Kuda itu gagah. Surainya mengakar
menjumbai. Tampangnya mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam.
Kakinya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik.
Semua tetangga datang untuk mengaguminya.
Mereka menyentuhnya, megelus, surainya. “Kuda yang hebat!” kata mereka. “Kami
belum pernah melihat kuda seindah ini. Luar biasa! Mantap sekali! Berapa yang
kalian habiskan untuk membeli kuda ini?”
Anak beranak itu tersenyum simpul. Yah, itu
simpanan yang dikumpulkan seumur hidup.
Para tetangga ternganga mendengar
jumlahnya.”Wah”, seru mereka, “Kalian masih waras atau sudah gila? Uang
sebanyak itu dihabiskan membeli kuda? Padahal rumah kalian reyot nyaris roboh.
Untuk makan besok pun belum tentu ada!” Kekaguman di awal tadi berubah menjadi
cemooh. “Tolol!” kata salah satu. “Tak tahu diri!” ujar yang lain. “Pandir!”
“Kami tidak tahu, ini rahmat atau musibah.
Tapi kami berprasangka baik kepada Allah,” ujar mereka.
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun
merawat kudanya dangan penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya;
rumput segar, jerami kering, biji-bijian, dedak, air segar, kandang bahkan
ditambah madu. Si kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa mendapat
hadiah. Kini mereka tak hanya berdua, melainkan bertiga. Bersama-sama menanti
panggilan Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir terindah.
Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta ketika
si ayah melongok ke kandang, dia tak melihat apapun. Kosong. Palang pintunya
patah. Beberapa jeruji kayu terkoyok remuk.
Kuda itu hilang!
Berduyung-duyung para tetangga datang untuk
mengucapkan bela sungkawa. Mereka bersimpati pada cita tinggi kepada kedua anak
ayah itu. Tapi mereka juga menganggap keduanya kelewatan. “Ah, sayang sekali!”
kata mereka. “Padahal itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang
tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan ambisi kalian,
lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian!”
Sang ayah tersenyum sambil mengelus kepada
anaknya. “Kami tidak tahu,” ucap serempak keduanya, “Ini rahmat atau musibah.
Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Mereka pasrah. Mereka mencoba
menghitung-hitung uang dan mengira-ngira, kapan bias membeli kudah lagi. “Nak,”
sang ayah menatap mata putranya, “Dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah
dating, kita harus menyambutnya.” Si anak mengangguk mantap. Mereka kembali
bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.
Tiga hari kemudian, saat shubuh menjelang,
kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara ringkikan bershut-sahutan. Terkejut
dan jaga, ayah dan anak itu berlari ke kandang sambil membenahi pakaiannya. Di
kandang itu mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak salah
lagi, itu kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu!
Tapi kuda itu tak sendiri. Ada belasan kuda
lain bersamanya. Kuda-kuda liar! Itu pasti kawan-kawannya. Mereka dating dari
stepa luas untuk bergabung di kandang si hitam. Mungkinkah kuda punya akal
jernih? Mungkinkah si hitam yang merasa mendapatkan layanan terbaik di kandang
seorang bekas budak mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka
bahwa mendatangi kandang itu berarti bersiap bertaruh nyawa untuk kemuliaan
agama Allah, kelak jika panggilanNya berkumandang? Atau memang itu yang mereka
inginkan?
“Bertasbih kepada Allah, segala yang di
langi dan di bumi. Dan Allah Maha Pengmpun lagi Maha Bijaksana” (Q.s. Ash
Shaff[61]: 1).
Ketika hari terang, para tetangga dating
dengan takjub. “Luar bias!” kata mereka. “Kuda itu pergi memanggil
kawan-kawannya dan kini kembali membawa mereka menggabungkan diri!” Mereka
semua mengucapkan selamat pada pemiliknya.
“Wah, kalian sekarang kaya raya! Kalian
orang terkaya dikampung ini!” Tapi si pemilik kembali hanya tersenyum. “Kami
tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepad Allah.”
Hari berikutnya dengan bahagia, sang putra
mencoba menaiki salah seekor kuda itu. Sukacita dia memacunya ke segala
penjuru. Satu saat, kuda liar itu terkejut ketika berpapasan dengan seekor
lembu yang lepas dari kandang persimpangan. Dia meronta keras, dan sang
penunggang terbabting. Kakinya patah. Dia menangis kesakitan.
Para tetangga dating menjenguk. Mereka
menatap anak itu dengan pandanga penuh iba. “Kami turut prihatin,” kata mereka.
“ternyata kuda itu tidak membawa berkah.mereka dating membawa musibah. Alangkah
lebih beruntung yang tak memiliki kuda, namun anaknya sehat sentausa!”
Tuan rumah tersenyum lagi. “Kami tak tahu,
ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka bai kepada Allah.”
Hari berikutnya, hulubalang raja berkeliling
negeri. Dia mengumumkan pengerahan pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang
telah menyerang perbatasan. Semua pemuda yang sehat jasmani dan rohani
wajib bergabung untuk mempertahankan
negeri. Sayang, perang ini sulit dikatakan sebagai jihad di jalan Allah karena
musuh yang hendak dihadapi adalah sesame muslim. Mereka hanya berbeda
kesultanan.
“Nak,” bisik sang ayah ke telinga sang putra
yang terbaring tak berdaya, “Semoga
Allah menjaga kita dari menumpahkan darah sesame muslim. Allah Maha Tahu, kita
ingin berjihad di jalanNya. Kita sama sekali tak hendak beradu senjata dengan
orang-orang muslim. Semoga Allah membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka
berpelukan.
Petugas pendaftaran mendatangi setiap rumah
dan membawa para pemuda yang memenuhi syarat. Saat memasuki rumah ayah dan anak
pemilik kuda, mereka mendapati putranya terbaring di tempat tidur dengan kaki
terbebat, disangga kayu dan dibalut kain.
“Ada apa dengannya?”
“Tuan prajurit,” kata sng ayah, “Anak saya
ini begitu ingi membela negeri dan dia telah berlati untuk itu. Tetapi kemarin
dia jatuh dari kuda ketika hendak menjinakkan kuda liar kami. Kakinya patah.”
“Ah, saying sekali!” kata sang hulubalang.
“Padahal kulihat dia begitu gagah. Dia pasti akan menjadi seorang prajurit tangguh. Tapi baiklah. Dia tidak
memenuhi syarat. Maafkan aku, aku tak bias mengikutsertakannya!”
Dan hari itu, tetangga yang ditinggal pergi
putra-putranya menjadi prajurit
mendatangi si pemilik kuda. “Ah, nasib!” kata mereka. “Kami kehilangan
anak lelaki kami, tumpuan harapan keluarga. Kami melepas mereka tanpa tahu
apakah mereka akan kembali atau tidak. Sementara putramu tetap bisa di rumah
karena patah kakinya. Kalian begitu beruntung! Allah menyayangi klian!
Tuan rumah ikut bersedih melihat mendung
diwajah-wajah itu. Kali ini bapak dan anak itu tak tersenyum. Tapi ucapan
mereka kembali menggema, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kota itu dipenuhi ratapan
para ibu dan tangisan para istri. Sementara para lelaki hanya termangu dan
tergugu. Kabarnya tak jelas. Semua pemuda yang diberangkatkan perang tewas
dimedan tempur. Tapi agaknya para warga telah banyak belajar banyak dari ayah
beranak pemilik kuda. Semua penduduk ini mengumumkan kalimat indah itu. “Kami
tak tahu ini rahmat atau musibah. Kami
hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Singkat kisah, tak berapa lama kemudian
panggilan jihad yang sebenarnya bergema. Pasukn Mongol Hulagu Khan menyerbu
wilayah islam dan membumihangusknnya hingga rata dengan tanah. Orang-orang tak
berperikemanusiaan itu mengalir bagai air bah meluluhlantakan peradaban. Ayah
dan anak itu pun menyongsong janjinya. Mereka bergegas menyambut panggilan
dengan kalimat agungnya, ”Kami tak tau apakah ini rahmat ataukah musibah. Kami
hanya berprasangka baik pada Allah.!”
Mereka memang menemui syahid. Tapi sebelum
itu, ada selaksa nikmat yang Allah karuniakan kepada mereka untuk dirasai. Sang
anak pernah tertangkap pasukanMongol dan dijual sebagai budak. Dia
berpindah-pindah tangan hingga kepemilikannya jatuh pada Al-Kamil, seorang Sultan
Ayyubiyah di kairo. Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan wangsa Ayyubiyah di
Mesir, kariernya menajak cepat dari komandan kecil menjadi panglima pasukan,
lalu Amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnya Az-Zahir Raknuddin Baibars, dia
diangkat menjadi Sultan. Namanya Al-Manshur Saifuddin Qalawun.
Inilah sekelumit kisah tentangnya. Qalawun
yang berani berprasangka baik dalam segala keterhijaban. Qalawun yang berani
berkata, “kami tak tahu ini rahmat atau musibah. Tapi kami selalu berprasangka
baik kepada Allah!” Seperti kisahnya, dalam dekapan ukhuwah, ada berjuta
kebaikan mengiringi prasangka baik kita padaNya. Dia setia bersama kita dan
melimpahkan kebaikan, karena kita mengingat-Nya juga dengan sangkaan kebaikan.
mantap syekh, mampir di blog saya juga ust..https://jejakpemudapetualang.blogspot.co.id/
ReplyDelete