Kisah Nyata: AKHIR HAYAT
PENGGEMAR MUSIK DAN PENCINTA AL QUR'AN
Saif Al Battar
Senin, 21 November 2011 16:58:12
Tatkala masih di
bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik.
Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam.
Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran,
mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat
tulang.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada
diri sendiri: “Alangkah sabarnya mereka…setiap hari begitu…benar-benar
mengherankan!”
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang
mukmin, dan itulah shalat orang-orang pilihan…Mereka bangkit dari tempat
tidumya untuk bermunajat kepada Allah.Setelah menjalani pendidikan militer, aku
tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah.
Padahal berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke
kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku
agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.
Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan
Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku
benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami
nikmati.
Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan
tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang
membutuhkan bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan
tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan
ombak.
Aku bingung dan sering melamun sendirian…banyak
waktu luang…pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang
agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan
orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku
bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang
hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang
bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh
suara benturan yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah
mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami
segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak
salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan
dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata
pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua
orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan
kalimat syahadat.
Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha
Illallaah…” perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah
meluncur lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah
biasa menghadapi orang-orang yang sekarat…Kembali ia menuntun korban itu
membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan
nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat,
apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya
mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan
lagu.
Tak ada gunanya…
Suara lagunya semakin melemah…lemah dan lemah
sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada
gerak… keduanya telah meninggal dunia.
Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun.
Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening.
Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia
berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk).
Ia berkata: “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan
hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”.
Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan
dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri
hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh
pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya
tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.
Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini
benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’
sekali.
Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa
itu.
Aku kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak
pemah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu
lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang
namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala.
Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang
sedang sekarat dahulu.
Kejadian Yang Menakjubkan… Selang enam bulan dari
peristiwa mengerikan itu…sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan
mataku.
Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi
tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota.
Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang
kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep,
tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang.
Lelaki itu pun langsung tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, -bukan yang menemaniku
pada peristiwa yang pertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa
dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung
mendapatpenanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan
seorang yang ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup
panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika
kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar
dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan
suara amat lemah.
“Subhanallah! ” dalam kondisi kritis seperti , ia
masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh
pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah
mendengar suara bacaan Al Quran seindah itu. Dalam batin aku bergumam
sendirian: “Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh
temanku terdahulu… apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku
sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan
suara bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding
menjalar dan menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke
belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat.
Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak
jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku
menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada
kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya.
Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras
mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit…
Kepada orang-orang di sanal kami mengabarkan
perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan.
Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang
meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera
menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak
sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin
memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah
almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah
seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak
menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin.
Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang
miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula,
buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa
buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan
kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk
dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan
dalam pejalanan, ia menjawab dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu
perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan
mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap
langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum.
Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai
ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum
dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
“Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah”.
Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan
tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan
ditanya…
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari
akhirat…
Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari
pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku.
Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk
tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta
menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin…
(Azzamul Qaadim, hal 36-42)
Sumber : [“Saudariku Apa yang Menghalangimu Untuk
Berhijab”; judul asli Kesudahan yang Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid
Al-Bilaly; Penerbit : Akafa Press Hal. 48]...
No comments:
Post a Comment
silakan komentar