Pages

Sunday, 19 June 2011

“Kutunggu Kau di Balik Hijab”


Pengantar :Beberapa bulan yang lalu ketika blog ku ini telah meramaikan dakwah dunia maya, ana kepergok dengan seorang ikhwa (dan beberapa ikhwa juga)di mesjid kampus memang beberapa hari ini udah jarang memang ke kampus selain karena udah semester 8 tidak kuliah lagi fokus skripsi juga ana sibuk dengan amana yang lain. Ikhwa yang ana kenal ini juga semester yang sama, telah membaca sebagian tulisan di blog ana ini. Kami pun berdiskusi lepas tentang masa-masa awal menginjakkan di kampus Islam terbesar di kawasan timur Indonesia ini. Hasil diskusi itu (serta tambahan tulisan2 dari para ikhwa n akhwat) pun ku persembahkan melalui tulisan ini.
***
Seusai shalat dzuhur di sebuah masjid dekat kampus, saya masih terpaku dalam hening cipta. Masih dalam keteduhan yang sedang saya nikmati sesaat itu, meski mata mulai menjalar ke sekeliling ruang dimana saya benar-benar merindukan suasana keteduhan yang jarang saya rasakan akhir ini. Dan mata ini kembali menatap lekat pada sebuah hijab (baca: pembatas shalat antara ikhwan dan akhwat) yang tepat di depan saya. Pada hijab itu, kembali mengusik segenap imaji pada sebuah bab dalam kehidupan saya. Perkenalan dengan dakwa ber manhaj ini.
Tidak ada salah berhenti sejenak
Bernostalgia masa lalu
Mengarungi samudra hikmah
Memberi semangat hati yang gundah
***
 Langkah cepat ku menembus lorong kampus Islam yang kucinta ini, tak bisa di hentikan. Entah semangat dari mana, aku begitu bergebu-gebu ingin mengikuti kajian hari ini. Sebenarnya bukan satu kali ini aku mengikuti kegiatan keIslaman, saya sudah pernah masuk di organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, bahkan organisasi intra kampus seperti LDK kampusku, sampai ke-kiri-an bahkan ke-kanan-nan he..he..., tapi tak apalah jika saya harus lebih tahu banyak tentang kegiatan-kegiatan lainnya. Apalagi, lembaga ini di kampus saya agak berbeda dengan yang lain. Lembaga ini indentik dengan celana tergantung kaya ‘kebanjiran’ pelihara jenggot walaupun tidak semua ikhwa, yang akhwatnya rata2 berjilbab lebar bahkan ada yang bercadar...(Wah...). Walaupun kajiannya memang beda banget yang pernah ku ikuti, saya tetap penasaran saja untuk ikut. Di mulai dari kak senior yang ramah mengajak ikut kajian khusus laki-laki yang mereka sebut tarbiyah. Sudah 3 kali pertemuan saya ikuti, saya merasa baru mendapatkan ilmu yang benar jarang saya mendapatkannya di oraganisasi kampus baik intra maupun ekstra bahkan dalam kampus yang berlebelkan Islam ini.
Hari ini kami akan mengikuti kajian rutin yang terbuka umum, yang membahas satu kitab fiqih karya ulama besar, katanya yang di sebut taklim. Saya hanya menganguk kagum mendengarkannya. Katanya sudah lama berjalan, mungkin karena kesibukan kuliah sehingga baru hari ini saya ikuti. Kini saya sudah di mesjid kampus, katanya kajiannya di lantai 2. Saya melangkah naik tangga mesjid tampak kulihat di depan agak jauh sebuah kain besar berdiri menutup sebahagian dan kulihat teman2 pengurus lembaga ini, sebagiannya memberikan senyum padaku, ku arahkan pandangan ku di ujung depan tampak seorang ustaz menyampaikan materinya yang membelakangi kain itu. Saya melangkah masuk di majelis yang mungkin bisa di hitung jari pesertanya. Waktu itu saya bertanya2, saya tak melihat putrinya karena setahu ku ini kajian di buka umum, dan kata kak senior ada juga akhwatnya(putri) ikut. Tak lama saya menemukan jawabanya akhwatnya ada di seblah hijab yang di maksud kain yang pertama kali kulihat tadi. Itu lah pertama kali saya mengenal hijab.
Perkenalan saya dengan lembaga keIslaman ini yang mengikuti manhaj salaf (katanya), tak lain dan tak lepas dari bentuk qadarallah, Allah ta’ala yang benar-benar mengantarkan saya. Siapa yang menyangka jika saya akan melewati sebuah langkah baru yang telah Allah skenariokan.
Kembali seorang kakak senior menyapa dengan ramahnya, mengajak saya kali ini pada sebuah musyawarah yang entah apa yang akan mereka lakukan. Saat itu, saya hanya mengiyakan akan menghadiri musyawarah tersebut. Kesan pertama yang saya tangkap dari sebuah musyawarah yang mereka gelar adalah “aneh”. Aneh dengan cara mereka yang tidak seperti biasanya kebanyakan orang lakukan. Berbicara di depan sebuah pembatas di sebuah masjid kampus, dengan nada yang sangat rendah. Itulah yang tertangkap oleh mata saya. Hati ini mulai menghimpun kata untuk melontarkan sebuah tanya pada kakak tersebut yang sekali-kali berbicara di depan hijab itu. Mungkin ekspresi saya langsung bisa terbaca oleh si kakak itu tanpa harus mengutarakan pertanyaan yang sempat saya ukir dalam hati.
“Jika kita ingin menegakkan syari’at Allah, maka terlebih dahulu kitalah yang memulai menjalankan syari’atNya. Inilah syari’at yang mengajarkan kita untuk menjaga pandangan. Apalagi kita harus berinteraksi dengan lawan jenis dalam ruang dan durasi yang cukup lama. Walaupun kita tak bisa memungkiri kita akan menjumpai non mahram dimanapun dan kapanpun. Tapi, kita harus memulai dari hal-hal yang kecil jika bisa diusahakan seperti musyawarah ini. ”
Mungkin itulah inti dari perkataan kakak itu utarakan pada saya. Tepatnya, saya merasa benar-benar dapat sebuah ilmu yang belum pernah saya dapat dari manapun dan mencoba belajar dari kalimat-kalimat  tersebut. Karena sekali lagi, saya bukanlah manusia yang telah terinstall selama 24 jam full dalam kebaikan. Dan ini membuat saya kembali mengklaim pada manusia terkhusus pada diri saya sebagai manusia yang lemah. Kalau boleh meminjam sebuah istilah atau semacamnya yaitu: “perasaan muncul dari mata turun ke hati”.
Saya semakin bisa mencerna apa yang si kakak tersebut utarakan. Yah, seringkali kita tertatih menata hidup untuk menjemput setiap perintahNya, tak selalu erat tangan menggenggam tiap hidayahNya. Namun, peristiwa ini hadir hanya sebuah reaksi yang sempat terkeluhkan beberapa saat yang lalu pada diri ini(maaf kalo terlalu lebay ^ ^).
            Dan waktu kerap kali melangkah dengan cepat, segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala mengantarkan saya pada sebuah lembaga dakwah kampus ini untuk mengemban amanah yang sangat besar menjadi pengurus. Padahal apa... apa yang ada sesungguhnya kadang tak dapat saya jalankan dengan maksimal. Dan tidak dapat dipikul dengan benar (payah memang). Tapi...
Terbiasa mengikuti musyawarah secara intens dalam tiap kepengurusan di lembaga ini sebelumnya, maka tak asing lagi ketika dalam kepengurusan angkatan saya juga menjalankan berbagai musyawarah dengan kehadiran sebuah hijab. Walaupun, seharusnya berhijab tak hanya sekedar dalam musyawarah.
Pada saat itu, saya masih sangatlah minim dalam mengenal ilmu Islam ketika mendapat sebuah amanah di lembaga dakwah ini. Terlebih dalam kepengurusan kami yang tak sepenuhnya paham tentang definisi hijab itu. Minimnya ilmu(mungkin juga udah tahu), membuat banyak teman ber’tanya’ dengan lugu serta bersifat kritis ala mahasiswa bahkan ada yang protes. Namun, perlahan tapi pasti, kami mulai terbiasa dengan musyawarah dengan ala kami ber-“hijab” yang sering kepergok oleh orang-orang yang lalu lalang sekitar masjid kampus dengan memandang heran dan penuh tanya.
“Kok.. musyawarah pake penutup segala(hijab), tidak kasih tuh akhwatnya di seblah..” mungkin itu yang terpikirkan oleh mereka yang melihat kami.
Tak bisa dipungkiri pula, musyawarah yang sering kami gelar berhamburan. Misalnya, entah ketidak sengajaan kami menyebut nama orang, yang seharusnya hanya menyebut nama jabatan ke lawan bicara dibalik hijab. Atau jika kami tidak mengenal suara lawan bicara di balik hijab, maka kami akan bertanya pada teman segolongannya yang mengenalnya untuk mengetahui siapa yang sedang berbicara.(^ ^)
Tapi toh semua bisa berjalan lancar tanpa penghalang dan bisa berkoordinasi dengan baik dengan siapapun. Terbukti lewat beberapa proker (program kerja) yang alhamdulillah bisa terlaksana. Atau, jika ada sekelumit masalah, kita langsung bermusyawarah dengan lebih serius. Walau di saat tertentu, terkadang ada gelak tawa (^ ^) tertahan yang tercipta tanpa harus sungkan terhadap lawan bicara, atau... rasa geram karena amarah atau kekecewaan yang tersembunyi, dan bahkan... tentang.. air mata yang terkadang terurai jika masalah kembali mengguyur. Sekali lagi, semua tidak tampak, dan semua tidak perlu disembunyikan, karena sejak awal “hijab” itu telah ada. Setia menemani dalam persaksian bisu musyawarah. Setia menutupi segala sesuatu yang mungkin bisa jadi aib. Setia menghalangi pandangan yang terkadang begitu liar yang tidak bisa dinafikkan oleh hati.
***
Masih dalam kesunyian tempat saya usai shalat, kata-kata seorang Ikhwa itu terngiang, “Kutunggu Kau di Balik Hijab”. Saya pun tersadar untuk selanjutnya beranjak dari hening cipta dan bergegas pulang dan sekali lagi menatap sebuah hijab yang nyaris serupa dengan hijab di kampus waktu itu. Ada rindu... rindu karena Allah...
Wallahuallam
Barakallah fikum, kepada al akh Abu Bakar Ali S. Pd.I
Yang telah menggenap kan setengah dinnya
Semoga menjadi keluarga mawaddah wa rahma
Amien
ü  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan jika kalian meminta suatu hajat kepada mereka maka mintalah dari balik HIJAB. Hal itu lebih bersih bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”

ü  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat an-Nur ayat ke 31 berfirman:
وَ قُلْ لِلْمُؤْمِناتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصارِهِنَّ وَ يَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَ لا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ ما ظَهَرَ مِنْها وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلى‏ جُيُوبِهِنَّ وَ لا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبائِهِنَّ أَوْ آباءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنائِهِنَّ أَوْ أَبْناءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني‏ إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني‏ أَخَواتِهِنَّ أَوْ نِسائِهِنَّ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُنَّ أَوِ التَّابِعينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى‏ عَوْراتِ النِّساءِ وَ لا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ ما يُخْفينَ مِنْ زينَتِهِنَّ وَ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَميعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(Wahai Rasulullah) Dan katakanlah kepada kaum wanita yang beriman  agar mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali sesuatu yang (biasa) tampak darinya. Hendaknya mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka (sehingga dada mereka tertutupi), janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali untuk suami-suami mereka, atau ayah dari suami-suami mereka atau putra-putra mereka, atau anak laki-laki dari suami-suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka atau budak-budak mereka atau laki-laki (pembantu di rumah) yang tidak memiliki syahwat atau anak kecil yang tidak paham terhadap aurat wanita. Dan janganlah kalian mengeraskan langkah kaki kalian sehingga diketahui perhiasan yang tertutupi (gelang kaki). Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian semua kepada Allah swt supaya kalian termasuk orang-orang yang beruntung.

No comments:

Post a Comment

silakan komentar