Catatan 7 hari di jakarta
Telah lama ku dengar tentang ibukota negeriku ini. Mulai dari berita yang baik sampai berita yang buruk. Namun itu tak menyurutkanku untuk terus bermimpi untuk meninjakkan kaki di sana. Sebenarnya sebelum ini ada pengalaman singkat datang ke jakarta ketika itu ana silaturahmi dengan adik2 di jawa. Itupun untuk pertama kalinya ana naik pesawat.
Ketika itu ana tinggal di asrama ikhwa LIPIA Jakarta. Ana bersyukur bisa berkumpul dengan para penuntut ilmu syar”i di jakarta. Dalam beberapa hari di dalamnya ana mendapat kesempatan untuk jalan-jalan ke jakarta dalam rangka tugas oleh salah seorang Ustaz. Kadarullah ana mendapat macet hebat ketiak itu, sebenarnya bukan jakarta kalo tidak kena macet namun kali ini macet karena para sopir taksi mendemo menutup jalan.
Ana pun bertanya tantang hal itu ternyata Persaingan taksi konvensional dan taksi online sehingga taksi konvensional mendemo pemerintah ingin menghapus taksi online. Sebenarnya masalahnya taksi online itu bukan sesama bisnis taksi, melainkan para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan. Menurut ana ini adalah peradaban sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling mendayagunakan segala kepemilikan yang tadinya idle dari owning economy. Hadirnya aplikasi (online) ini membuat bisnis taksi tersaingi.Begitulah, kita tak bisa membendung teknologi. Ia akan hadir untuk menghancurkan bisnis yang sudah mapan, yang tak bisa beradaptasi dengan perubahan. Persis kata Charles Darwin, bukan yang terkuat yang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan. Ini ana kutip bapak Rhenald Khasali seorang Pakar Manajemen pemasaran.
Menurut kak Nukman Luthfie seorang Pakar Media Sosial mengatakan "Perusaahaan taksi konvensional memang sedang menghadapi tantangan berat. Konsumen kini punya pilihan yang lebih baik. Dengan menggunakan transportasi berbasis aplikasi, mereka bebas memilih kendaraan mana yang akan dinaikinya sebagai pengganti taksi. Apakah perusahaan taksi (dan para sopirnya) itu tak sadar bahwa yang mereka lawan adalah konsumen mereka sendiri, yang selama ini mereka layani apa adanya (itu jika betul mereka melayani)? Memang berat menghadapi konsumen di era digital. Jika ingin bertahan di era digital, perusahaan/produsen harus memahami perilaku konsumen digital ini. Masuk dan bertempur di layanan berbasis aplikasi. Konsumen di era digital menyukai layanan digital yang memudahkan hidupnya."
Pemerintah sendiri ana lihat terlalu lambat merespon hal ini sehingga terjadi demo. Terakhir Menteri Kominfo pun telah berkoordinasi dengan Menteri Perhubungan serta Menteri Koperasi dan UKM. Adapun solusiwin-win yang kemudian difasilitasi oleh pemerintah adalah:
• Bagi kendaraan yang digunakan untuk transportasi umum berbasis aplikasi online, kini pengemudi atau pemiliknya dapat bergabung dalam koperasi. Melalui koperasi tersebut, pengemudi atau pemilik kendaraan dapat mengajukan uji teknis dan kelaikan kendaraan (uji kir) demi keselamatan penumpang sebagaimana diatur dalam UU Transportasi.
• Bagi penyedia layanan aplikasi online diharuskan memiliki Badan Usaha Tetap (Permanent Establishment) di Indonesia. Grab Car telah memiliki badan hukum Perseroan Terbatas (PT), sedangkan Uber belum memiliki. Syarat BUT ini diperuntukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen juga terkait dengan aspek penghitungan pajak negara.
WALLAHUALAM
No comments:
Post a Comment
silakan komentar