Pages

Friday, 20 May 2011

Cinta!! PUSING banget… Ana (Gue)




Ana pernah membaca artikel ‘Berbicara tentang masalah cinta memang tidak akan pernah ada habisnya. Satu hal yang terlihat sederhana, namun dalam aplikasinya memiliki keruwetan yang luas biasa. Yah, itulah cinta. Banyak …’ (stooop…!!!) 
Ini terlalu ribet sih buat untuk mencari defenisi dari cinta…(gue jadi pusing sendiri bacanya).
Tapi kali ini ana mau bercerita tentang dialog ana dengan seorang ikhwa…(mau mendongeng ya..). 

Ini cerita tentang seorang ikhwan –di antara sekian banyak ikhwan- yang juga pernah mengalami dan merasakan pahitnya “kegagalan” alias ditolak !! (Wah..).
Biasanya sih, mereka yang “gagal” untuk melabuhkan cinta, tentu akan memiliki ekspresi yang berbeda. Ada yang marah setengah mati, ada yang menjadi dendam seumur hidup, ada yang menjadikan racun serangga sebagai pelarian, ada yang lebih senang bergelantungan di pohon dengan leher terikat, ada yang mendadak hobi lompat  bebas dari ketinggian, bahkan sampai ada yang memilih untuk hidup melajang sepanjang usia ketika pujaan hati tak dapat diraih. (Wuih….)
Panggil saja ikhwa yang ‘gagal’ ini dengan AZ(kaya ingat seseorang..). Saya tahu persis bagaimana besarnya perasaan AZ kepada si akhwat. Seandainya ada satu kata yang bisa menggambarkan bagaimana bentuk dan besarnya perasaan itu, tentu mungkin telah dia ungkapkan. Ana rasa, kata cinta, masih belum mampu mencakup bagaimana bentuk perasaannya tersebut. 
Sekian lama perasaan AZ terus dipendam sembari terus berharap suatu saat ia berani untuk mewujudkan cintanya itu dengan menikahi si akhwat tersebut. Setahun lebih ia tetap berkutat dalam kesendiriannya itu untuk menjadi seorang pendamba saja. Hanya lewat tulisan-tulisan maupun curhat-curhat dengan ke Ana. ia mengekspresikan perasaannya itu. Bahkan sampai ia bekerja, perasaan itu tetap kokoh menghunjam dalam hatinya. Tapi, lagi-lagi ia hanya sanggup menjadi seorang pendamba.(Owhu…)
Namun suatu hari, dengan keberanian –lebih tepatnya nekad-, ia tiba-tiba saja mengutarakan niatnya kepada si akhwat, meski dengan hanya sebuah bahasa isyarat. Namun, taqdir berkata lain. “Afwan akh, ana telah ada pilihan yang lain. Ana mencintainya, dan diapun mencintai ana. Insya Allah kami tinggal menunggu waktu saja. Semoga anta segera mendapatkan bidadari yang anta harapkan.” Demikianlah kira-kira ucapan si akhwat tersebut. Si ikhwan pun ditolak (Wah….ha…kasihan banget).
Jujur, Ana bisa menangkap dan merasakan bagaimana sakit dan bahkan kecewanya ia. Namun, entah mengapa, Ana tidak melihat ada sebuah beban atau rasa sakit yang terpancar pada wajahnya. Bahkan sebaliknya, senyuman dan ucapan syukur senantiasa ia ucapkan. Benar-benar suatu hal yang aneh menurut saya (sama, -gue juga-).
Maka, saya mencoba menanyakan hal ini kepada AZ. Dengan tenang ia menjawab, “Alhamdulillaah akh… Ana nggak apa-apa kok. Kalau dibilang sakit, ya sedikit. Kalo dibilang kecewa yang pastilah ada. Tapi kembali lagi, ana sangat bersyukur dengan semua ini. Mungkin agak aneh ya, dapat sesuatu yang agak menyakitkan kok bersyukur… Sebenarnya, pertama, ana bersyukur karena ana telah behasil menyampaikan keinginan ana untuk menikahi dia. Anta tahu kan, ana dari dulu paling nggak berdaya kalo berhadapan ma dia. Kedua, ana bersyukur karena hati ana sangat lega udah dapat jawaban, meski jawabannya nggak sesuai dengan yang ana harapkan. Ketiga, ana bersyukur karena Allah udah membuat ana mencintai dia, dan ini jarang-jarang lho akh, ana bisa kayak gini. Keempat, ana bersyukur karena ternyata dia bisa bahagia, meski bukan dengan dan karena ana.”(Gue ngak ngerti..)
 “Maksudnya?”, tanya Ana. AZ menjawab, “Ana mencintai dan ingin menikahinya karena ana ingin membahagiakannya. Tetapi, jika ternyata tanpa ana ia bisa merasa bahagia, kenapa ana harus bersedih? Ana memang sudah berniat dalam hati untuk berusaha membuatnya bahagia dengan cara apapan. Dan mungkin salah satunya dengan merelakan ia bersama ikhwan pilihannya itu. Dan saya bisa menangkap sekaligus merasakan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini dengan ikhwan pilihannya tersebut. Jadi kenapa ana harus khawatir… Sekali lagi ana tegaskan, bahwa ana mencintainya bukan karena ana ingin memilikinya, namun semata-mata ingin membuatnya bahagia. Jika ternyata saat ini ia bisa merasakan kebahagiaan, maka berarti keinginan ana sudah tercapai bukan…?”
Ana bertanya lagi, “Anta tidak sakit hati atau kecewa gitu…?”. Dengan kembali tersenyum dia menjawab, “Sedikit sih. Tapi saya memang sudah siap untuk sakit hati atau kecewa. Karena cinta itu hanya bermuara pada dua pilihan, iya atau tidak. Diterima atau ditolak. Kalu nggak siap ditolak, ya nggak usah nembak. Kalo nggak siap sakit hati, ya nggak usah nikah. Kita kan nggak pernah tahu apa yang akan kita hadapi, jadi coba saja. Apapun hasilnya yang penting kita sudah berusaha. Saya bahagia kok ditolak, seperti saya bahagia jika seandainya saya diterima.”(Mm..)
“Yach, kegagalan adalah awal dari keberhasilan akh…”, kata Ana mencoba menghibur. Sambil kembali tersenyum AZ berkata, “Alhamdulillaah ana gak ngerasa gagal akh. Ana justru merasa telah berhasil.” “Maksudnya?”, Tanya saya yang memang bingung. Kembali tersenyum dia berkata, “Ya, setidaknya ana telah berhasil dalam 2 hal. Pertama, ana berhasil jujur pada diri ana pribadi dan juga padanya, bahwa ana memang benar-benar memiliki niat yang tulus dan serius padanya. Kedua, ana telah berhasil membuat dia bahagia dengan merelakannya bersama dengan orang yang dia cintai.”(..???...)
“Anta aneh…!!!”, ujar saya. Sambil tersenyum dia berkata, “Cinta memang sangat aneh akh. Mungkin sudah saatnya kita harus sedikit merubah paradigma berpikir kita. Cinta itu bukan untuk memiliki, tapi untuk membahagiakan. Jika kita mencintai untuk memiliki, maka kita mencintainya seperti cinta seorang diktator, yang akan melakukan segala cara untuk memilikinya sehingga cenderung bersikap egois dan mengekang. Jika kita mencintai untuk membahagiakannya, maka kita mencintainya seperti cinta orang tua, yang akan melakukan segala cara untuk membuatnya merasa nyaman dan bahagia, meski mungkin ia tidak sadar dan tidak mengakui cinta kita.”(..#**@!%$??)
“Ana tambah pusing… Trus apa ini artinya anta sudah berhenti untuk mengejarnya?”, tanya saya kemudian. Dia menjawab, “Untuk mengejarnya mungkin iya akh. Tapi untuk berharap, ana masih belum berpikir untuk berhenti. Karena ana sangat ingin dia bahagia karena kerja keras ana akh, bukan karena keringat orang lain. Yach, paling tidak sampai kenyataan berkata bahwa ana udah tidak punya peluang lagi…”
Ana memang tidak sepenuhnya mampu mencerna bagaimana jalan pikiran teman Ana itu. Tapi paling tidak, Ana bisa melihat niat tulus dan besarnya cinta yang ia miliki pada si akhwat itu. Tapi, seperti yang ia bilang, cinta itu hanya bermuara pada dua hal, diterima atau ditolak. Bahagia atau sengsara. Keduanya adalah dua hal yang berbeda, namun mempunyai esensi yang sama.
Pusing ya…? Sama…! Namun, ada satu pesan yang bisa saya maknai dari kisah sahabat Ana tersebut, bahwa :
Ana “Cinta adalah bagaimana engkau membahagiakan orang yang engkau cintai. Dengan begitulah engkau merasa bahagia, dan dengan begitulah engkau mencintainya.
(Gue) –MELANJUTKAN- Cinta adalah bagaimana engkau bahagia saat orang yang engkau cintai merasa bahagia. Dengan begitulah engkau merasa bahagia, dan dengan begitulah engkau mencintainya.”
Namun, apapun persepsi anda tentang cinta, atau bahkan tentang sahabat Ana tersebut, bahwa kenyataannya memang beginilah cinta. Tidak ada satu katapun -Ana rasa- yang dapat menggambarkan secara benar kata yang penuh misteri ini.
WALLAHUALAM
Dari berbagai sumber
(afwan bila ada yang mirip tulisannya)

2 comments:

  1. kalo kita cinta sama baru kita harus merasa sling memeiliki.. iya kan akhi. hehe

    ReplyDelete
  2. Allahuakbar!! tulisan anta menyadarkan ana akh! cinta itu bagaimana membahagiakan orang lain, bukan memiliki.... lanjut nulis akh! keep istiqamah! ^_^

    ReplyDelete

silakan komentar