Pages

Tuesday 17 January 2017

Membaca Buku, Kunci Memimpin Peradaban



“Sesungguhnya, membaca bukan sekadar hobi, tapi sebuah konsep hidup”
DR. Raghib As-Sirjani

Membaca buku bukanlah budaya yang populer di Indonesia. Sangat jarang kita temukan, orang Indonesia yang begitu khusyuk membaca buku di tempat umum, taman, kampus, sekolah atau pun transportasi publik seperti kebiasaan penduduk negara maju di Jepang, Eropa maupun Amerika Serikat.
Bahkan saya melihat dengan mata kepala sendiri, di sebuah perpustakaan kampus ternama di kota Bandung, yang notabene surganya buku-buku, alih-alih membaca buku, mahasiswa malah banyak yang melakukan browsing, bermain gadget, mengobrol bahkan asyik tiduran di sana. Kita patut miris dengan keadaan seperti ini. Bagaimana negeri kita mau maju dan mengalahkan negara lain, jika budaya baca saja kita ogah melakoninya.

Dosen-dosen saya mempunyai beberapa cara unik agar mahasiswanya mau membaca. Ada yang menugaskan mahasiswa membedah buku kemudian mempresentasikannya secara berkelompok. Ada yang menugaskan untuk mengeksplorasi buku dan bacaan lainnya sesuai dengan tema yang ditentukan, lalu dirangkai dalam bentuk tulisan. Ada yang menugaskan untuk membuat resume dari buku tersebut. Yang paling unik (baca: gila), mahasiswa-mahasiswa di kelas disuruh membaca satu orang satu paragraf, kemudian bergantian sampai jam kuliah habis. Setahu saya metode yang terakhir digunakan oleh guru SD atau pun SMP saya beberapa tahun yang lalu. Semua hal tersebut dilakukan untuk satu hal, agar para mahasiswa yang lebih suka main gadget termotivasi untuk mau membaca (walaupun niatnya bisa jadi hanya untuk nilai).

Hasil penelitian UNICEF menyebutkan bahwasanya minat baca orang Indonesia tergolong rendah. Kalau dipresentasekan ada pada kisaran 0,01 persen, yang mengindikasikan satu buku dibaca oleh seribu orang di Indonesia (Republika.co.id).

“Sebenarnya masyarakat yang minim buku ” tulis DR. Muhammad Musa Asy-Syarif, dalam bukunya, Smart Reading for Muslim. “Jarang menulis dan membaca buku, serta suka bersenda gurau perlu dikasihani. Masyarakat seperti ini memiliki kekuaran akal yang lemah. Jiwa mereka menjadi kerdil dan terisolasi. Mereka tak mampu mengambil manfaat dari pengalaman dan pelajaran dari orang lain. Hubungan mereka dengan hasil pemikiran manusia juga terputus. Padahal itulah yang menghamparkan jalan kehidupan dan perkembangan bagi setiap masyarakat sehingga mereka bisa melangkah dengan cepat guna mengejar ketertinggalan.”



Mengapa kita malas untuk membaca? Tak sadarkah kita bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi kita yang mulia, Muhammad SAW lewat perantara Jibril as adalah perintah membaca? Ustadz Dwi Budiyanto dalam bukunya, Prophetic Learning mengatakan, “Iqra’ merupakan perintah Allah SWT yang luar biasa. Wahyu pertama itu tidak memerintahkan kita untuk shalat, puasa, zakat atau yang lainnya. ‘BACALAH!’, Ia menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban Islam. Sebuah peradaban dan pengetahuan sebagai titik awal perkembangan. Sebuah peradaban yang dibangun melalui tradisi literasi yang kuat, yaitu tradisi yang menempatkan baca-tulis sebagai pijakan.” Peradaban Abbasiyah bisa memimpin dunia di abad pertengahan, kemudian Eropa bisa menaklukkan dunia di awal abad ke-15 dan bangsa Amerika menguasai ilmu pengetahuan di segala bidang di zaman modern ini dimulai dari kebiasaan membaca para generasinya.

“Membaca adalah kaidah yang pertama kali Allah ajarkan.” Demikian dikatakan oleh Ustadz Muhammad Elvandi.

“Kaidah itu bukanlah rumus ajaib umat Islam, tapi ia adalah kaidah yang juga konstan dan universal. Ia adalah syarat kebangkitan umat mana pun, untuk agama apa pun. Kaidah ini pernah mengantarkan generasi muslim zaman Abbasiyyah memimpin peradaban, sebagaimana mengantarkan generasi berpengetahuan Eropa menaklukan dunia, dan seperti juga mengantarkan generasi pembaca Amerika memimpin pengetahuan.”

Mari kita tengok bagaimana ulama terdahulu sangat mencintai kebiasaan membaca. Imam Jahidz seorang sastrawan dan filosof muslim, meninggal karena rak bukunya jatuh menimpa beliau yang sedang tenggelam dalam membaca. Imam TurmudziRahimahullah, pemilik kitab hadis Sunan Turmudzi menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan hadits Rasulullah SAW, sampai mata beliau buta karena kebanyakan membaca. Sahib Ibnu Abbad menolak menjadi perdana menteri Samarkand, tersebab merasa kerepotan untuk memindahkan buku-bukunya ke Samarkand, dibutuhkan sekitar 400 ekor unta untuk memboyong habis semua buku-bukunya tersebut.

Ibnul Jauzi Rahimahullah, penulis buku fenomenal Shaidul Khatir berkata, “Selama menuntut ilmu, aku telah membaca buku sebanyak 20.000 jilid buku. Dengan buku aku dapat mengetahui sejarah para ulama salaf, cita-cita mereka yang tinggi, hafalan mereka yang luar biasa, ketekunan ibadah mereka dan ilmu-ilmu mereka yang menakjubkan. Semua itu jelas tak mungkin diketahui oleh orang-orang yang malas membaca.”

Al-Qathbu Al-Yunini bercerita mengenai Imam Nawawi Rahimahullaah, pengarang kitabRiyadush Shalihin, “An-Nawawi adalah orang yang tidak mau membuang-buang waktu, baik siang mau pun malam. Ia selalu menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Bahkan, saat sedang dalam perjalanan pun ia tetap sibuk menghafal dan membaca buku.”



Abu Bakar Al-Anbari menjelang kematiannya berkata kepada dokternya, “Aku membaca seratus ribu lembar halaman buku setiap minggu.”

Ibnu Katsir menuturkan kepada Adz-Dzahabi, “Aku selalu membaca dan menulis di malam hari di bawah cahaya lampu yang lemah sinarnya, sehingga mengakibatkan mataku buta.”

Bercermin dari kisah-kisah tersebut, bagaimana dengan kondisi kita. Sudah toko buku sedikit, uang tak banyak, jumlah buku yang berkualitas bisa dihitung jari, minat baca rendah, ke perpustakaan malas, bagaimana mau membaca banyak buku? Bagaimana mau memajukan Indonesia? Bagaimana mau memajukan peradaban Islam?

“Sesungguhnya bencana yang menimpa umat saat ini adalah keengganan membaca.” tulis DR. Muhammad Musa Asy-Syarif.

“Meski demikian, pernyataan ini tak bisa serta merta dialamatkan kepada umat semata karena cara untuk mengatasi masalah ini panjang dan berjenjang. Dimulai dari kesadaran para da’i agar mau menuntun mereka. Bahkan langkah ini secara khusus dialamatkan kepada pemimpin dan da’i muda yang mulia. Hal ini disebabkan, mereka adalah pemimpin masa depan. Sebaik-baik pemuda adalah pemuda juru dakwah yang mau membaca.”

DR. Raghib as-Sirjani, seorang dokter yang telah doktor, dosen, penulis, sejarawan dan ulama dari Mesir, memberikan pesan dalam bukunya Palestina – Kewajiban yang Terlupakan, dalam bab Kewajiban Pemuda kepada kita untuk membiasakan diri dalam hal membaca. “Penulis menyerukan kepada para pemuda yang ingin memberikan sumbangsih kepada umat dan terhadap masalah Palestina, hendaklah ia sering membaca agar dia mengetahui hakikat konspirasi yang dilakukan oleh para musuh terhadap umat ini. Janganlah ia meremehkan kewajiban ini karena sesungguhnya kunci kebangkitan dan kemunculan umat ini adalah kalimat Iqra’ (bacalah). Permasalahan bangsa Arab (dan umat Islam keseluruhan, ed) adalah kenyataan yang menyatakan bahwa mereka adalah umat yang sedikit membaca bila dibandingkan dengan umat dan bangsa lain.”

Layaknya pekerjaan lainnya, membaca buku juga harus kita niatkan hanya untuk Allah SWT, agar manfaat yang kita dapatkan bukan saja di dunia tapi juga di akhirat. Dengan membaca kita bisa menambah ilmu, menambah wawasan dan pemahaman, mengetahui berbagai permasalahan yang mengancam dunia Islam, meningkatkan pengetahuan syari’at, memberikan inspirasi dan motivasi, meningkatkan keimanan kepada Allah SWT dan lain-lain, dan bisa mendorong kita untuk mengembalikan umat Islam untuk memimpin peradaban, menjadikan umat Islam sebagai ustadziyatul a’lam, sokoguru peradaban di dunia.

Pertanyaannya, sudahkah Anda membaca buku hari ini?

VIDEO DISKUSI BUKU


No comments:

Post a Comment

silakan komentar