http://9irlwithalot0fdream.blogspot.com/2010/10/pencerahan-2.html |
Di tempat inilah aku menanti gadis berjilbab itu. "Tunggu ka na di tempat biasa ji. Jam setengah lima, selesai ka pulang kerja. Jangan sampai terlambat, na, ada yang mau kukasi tau ko." Begitulah kata-katanya dengan logat Makassarnya, yang kudengar melalui telepon genggamku, singkat memang. Aku tidak penasaran apa yang akan dikatakanya. Ya, karena aku mencintainya.
Kami biasa bertemu di tempat ini, sebuah tempat yang tidak bisa dikatakan sebagai tempat yang istimewa. Tempat ini hanyalah sebuah halte. Tempat persinggahan untuk sementara waktu. Seperti sebuah kehidupan, begitu pikirku.
Kami biasa bertemu di tempat ini, sebuah tempat yang tidak bisa dikatakan sebagai tempat yang istimewa. Tempat ini hanyalah sebuah halte. Tempat persinggahan untuk sementara waktu. Seperti sebuah kehidupan, begitu pikirku.
Aku menatap HP ku dengan teliti melihat jam di ujung layar. Angkanya menunjukkan pukul 16:00. Hmm, rupanya aku datang lebih awal setengah jam. Aku berfikir apa yang dilakukanya, pasti ia lagi selesai mengerjakan shalat ashar. Dan lagi menuju kesini. Biarlah. Setidaknya aku tidak datang terlambat. Lagi pula, setengah jam bukanlah waktu yang lama. Cuma tiga puluh menit. Jadi, tak ada salahnya kan jika aku mengorbankan setengah jam hidupku hanya untuk menunggu gadis berjilbab itu?
Jress! Aku menyalakan sebatang rokok yang terselip di antara celah bibirku. Sekepul demi sekepul asap rokok meluncur ke udara dan segera melarut bersama angin sore. Di hadapanku, segala jenis kendaraan berlalu-lalang. Sepeda motor menyalip pete-pete. Sedan hitam mendahului taksi. Debu-debu saling berkejaran. Aku mengembuskan asap rokok ke udara. Setiap kali aku merokok selalu saja perasaan tidak enak di hati. Walau sudah lama kujalani aktivitas ini. Pernah ada teman kampus dulu menasehati untuk meninggalkan perbuatan menghisap rokok. Tapi tak ku hiraukan.
Seorang wanita muda turun dari mobil pete-pete, lantas berjalan perlahan menuju halte ini dan duduk di sampingku. Aku melirik ke arahnya. Wajahnya cantik. Rambutnya yang bergelombang itu dibiarkannya tergerai.
Aku mendengar suara telepon genggam berbunyi. Nadanya terdengar asing di kedua telingaku. Tentu suara itu milik telepon genggam wanita itu. Dari mataku, aku melihat wanita itu membuka tasnya yang berukuran kecil, mengambil sebuah telepon genggam yang bisa di katakan mahal, lantas didekatkan di telinga kanannya. Aku mendengar ia berbicara.
"Sudahlah, jangan hubungiku lagi. Kita kan sudah putus."
Kemudian, aku melihat ia mematikan telepon genggamnya itu dan menatap kosong ke depan.
"Apakah setiap laki-laki memang seperti itu?" tanyanya lirih. Entah kepada siapa.
Aku tidak menjawab, sebab ia memang tidak bertanya kepadaku. Kalau pun ia memang bertanya kepadaku, tentu aku butuh waktu untuk bisa menjawabnya. Sebab, pertanyaannya itu memang tidak akan cukup jika cuma diberikan jawaban 'iya' atau 'tidak'. Ia seperti tidak mempedulikan akan keberadaanku. Ia seperti berada di sebuah dimensi kosong yang tidak ada orang lain lagi kecuali dirinya sendiri.
Aku masih tetap memerhatikan wanita cantik itu. Setelah menaruh telepon genggamnya, ia mengambil sebatang rokok dari dalam tas kecilnya, menyelipkannya di celah bibirnya yang berwarna merah. Aku agak terkejut melihat apa yang ada di hadapanku, seorang wanita merokok. Di kota ku sangat jarang perempuan atau wanita merokok, mungkin masih di pegangnya nilai-nilai agama di masyarakatku.
Tapi ku lihat ia lagi sibuk mencari sesuatu dalam tasnya sambil menyelip rokok di mulutnya. Dengan cepat aku bisa menebak ia pasti mencari korek api. Aku agak ragu membantunya, tapi melihat aku merokok ia menatapku. Ia mendekat memberi isyarat dengan tangannya. Aku mengeluarkan korek api yang kupakai tadi. Lalu ia membakar rokonya, menyemburkan asapnya secara sembarang, lantas mengembaliakn korek api ku.
Ia berkat lirih “tenks’. Ia acuh tak acuh. Tetapi itu tidak membuatku kaku dalam berbicara.
‘Mau kemana?’ Tanya ku sebagai sapan pembuka
Ia menjawab di suatu daerah tidak jauh dari sini. Kami bercakap-cakap. Rasa penasaranku memaksa ku mengatakannya.
‘Kenapa kita merokok?’ tanyaku
Ia menatapku agak lama dan menjawab
‘Supaya kelihatan hebat dan di segani orang’ jawabnya singkat
Aku membayang kan jawaban si wanita tersebut. Dahulu awal merokok hanya mencari kebanggaan anak muda. Supaya kelihatan keren.Tapi itu dulu, sekarang aku tak bisa kutinggalkan merokok. Walaupun bukan untuk pamer.
‘kalau anda kenapa merokok bukan kah bisa berakibat impotensi?...’
Tanya yang membuatku terhentak ketika aku mau jawab, si wanita buru-buru berdiri dan berjalan meninggalkan halte ini. Tampaknya ia tak mau melanjutkan diskusi bersamaku. Kedua mataku, entah mengapa, masih terus membututinya. Ia berjalan di atas trotoar, sambil terus merokok, dan melenyap di sebuah kelokan.
Hmm. Aku kembali teringat dengan gadis yang saat ini sedang kutunggu-tunggu kehadirannya. Gadis ku selalu menasehatiku tentang rokok.
Hmm. Aku kembali teringat dengan gadis yang saat ini sedang kutunggu-tunggu kehadirannya. Gadis ku selalu menasehatiku tentang rokok.
‘sudah miki jangan miki merokok, tidak mau ka hidup sama orang perokok’
Ia selalu katakan dengan agak ragu karena tak mau menyinggungku. Walaupun begitu aku tetap berperangsangka positif terhadap segala sesuatu.kukatakan dalam hati.
‘Hmm. Aku jadi tidak sabar dan ingin cepat-cepat bertemu dengannya’
* * *
Di tempat inilah aku menanti gadis soleha itu. Ya soleha karena ia berperangai baik dan taat agama. Aku merasa tidak pantas bersanding dengannya. Aku membuang rokokku yang sudah pendek ke aspal dan membunuh baranya dengan injakan.
* * *
Di tempat inilah aku menanti gadis soleha itu. Ya soleha karena ia berperangai baik dan taat agama. Aku merasa tidak pantas bersanding dengannya. Aku membuang rokokku yang sudah pendek ke aspal dan membunuh baranya dengan injakan.
Fiiuuuh! Segumpal asap terakhir meluncur dari bibirku. Lima belas menit sudah berlalu. Berarti, lima belas menit lagi, ia akan hadir di hadapanku. Aku memang sudah terbiasa menghitung waktu dengan sebatang rokok. Sebatang rokok, bagiku, bisa menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit.
Langit di atas sana memperlihatkan pemandangan sore. Aku mengingat kembali ketika berjumpa dengannya waktu masa SMA dulu. Ketika hendak pergi ke kegitan sekolah.
Kulihat Ia pering dan sopan. Selesai kegiatan, aku menunggunya. Menunggu dengan sabar. Pas bertemu bicara basa-basi tentang kegiatan sekolah.
Pada saat itulah kuungkapkan cintaku pada gadis berjilbab di hadapanku, tanpa membubuh kata-kata gombal di setiap kata yang keluar dari mulutku walaupun aku seorang penulis yang mempunyai kata-kata indah. Di luar dugaan, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku tak senasib dengan pria yang pernah ditolaknya, sebelum aku hadir dalam hidupnya.
“ Ku terima ko” sahutnyaHanya itu saja yang dikatakan. Tanpa membel-membel tanya-tanya atau apa. Ku katakan padanya aku tak berharap jadi pacarnya karena kami berbeda. Ada hal yang mengganjal dalam dirinya ketika menerimaku entah apa. Tapi ada hal yang membuat ku bisa menjalaninya yaitu percaya padanya. Seperti sebuah peluru yang keluar dari moncong bedil. Semangat hidupku tiba-tiba melesat. Mulus serupa ban sepeda motor yang bersentuhan lembut dengan badan aspal. Aku begitu gembira waktu itu.
Halte ini kebetulan sepi. Hanya aku saja duduk di sini, sendirian, menanti, tanpa ada teman yang menemani. Menyaksikan pemandangan sekitar. Menyaksikan dunia. Apa boleh buat, ternyata memang benar perkataan orang bijak itu, betapa dunia cuma sebatas mata memandang. Aku melihat sebuah pete-pete yang agak legang. Hanya satu dua orang laki-laki. Dan beberapa orang tua. Kulihat beberapa dari mereka membaca buku tampaknya mereka mau pergi kuliah tampak dari pakaiannya.
Aku kembali melirik HP ku. Angkanya menunjukkan pukul 16:20. Berarti, sebentar lagi ia datang. Aku membayangkan apakah kiranya yang akan kami lakukan jika bertemu nanti. Barangkali ia akan langsung mengajakku ke sebuah tempat yang sepi yang kurang di kunjungi orang. Berbeda dengan orang pacaran kadang ke mall, restoran, atau ke pantai. Ia kadang melihat sekeliling, tampak berhati-hati. Aku juga tidak mengerti. Aku pernah mengusulkan untuk sekali-sekali makan di restoran atau ke tempat yang rame. Tetapi ia selalu menolaknya.
" Tidak mau ka. Ku lebih suka di sini." Begitulah jawabannya selalu. Mungkin ini yang mengganjalnya selama ini. Ia tampak merahasiakan hubungan kami. Entah dengan siapa. Mungkin oleh orang tuanya atau keluarga besarnya. Memang selama ini hubungan kami tidak di ketahui oleh keluarganya. Aku pun paham kondisnya.
Jika memang benar di tempat biasa, maka kami lebih banya bicara dan berdiskusi dalam suatu masalah agar pertemuan terasa lama. Tetapi, entah mengapa, itu tidak pernah berhasil. Aku selalu merasa pertemuan kami selalu cepat berakhir. Setiap kali kami bertemu, aku selalu merasa waktu begitu cepat melesat. Satu hari bersamanya, sama seperti satu jam. Satu jam, terasa satu menit. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa selalu seperti itu.
Seperti biasa, kami akan bercerita tentang banyak hal. Sebenarnya ia yang lebih banyak bercerita, dan aku yang lebih banyak mendengarkan. Tentang pekerjaannya yang melelahkan. Sampai tentang harapan dan tentang mimpi-mimpi. Kadang kami membahas masalah kontemporer dan saling memberikan pendapat.
Kadang aku memancing membicarakan tentang orang lain dan juga tentang hal-hal yang kelihatannya sepele, dan lain semacamnya yang sebenarnya memang tidak terlalu penting-penting amat, maka ia pun menasehatiku untuk bebicarakan hal-hal yang bermanfaat, takutnya menggosip katanya. Biasanya, ia akan bercerita dengan mata berbinar-binar. Kudengar ia menjelaskan, ia memiliki pemahaman agama yang mendalam. Walaupun begitu aku semakin aku jatuh cinta dibuatnya.
* * *
Sudah pukul 16:40. Ia belum juga hadir di hadapanku. Apakah ada masalah di jalan? Apakah orang tuanya tahu tentang hubungan kami dan dia tidak bisa datang? Hmm. Terkadang aku selalu harap-harap cemas menghadapi situasi ini. Banyak pertanyaan yang hinggap di kepalaku.
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi dan bergetar di saku celana. Aku meraihnya. Ada pesan yang masuk. Ternyata dari gadis yang ku tunggu. Hmm. Apakah ia ingin membatalkan pertemuan ini? Atau, apakah ia akan datang terlambat, mungkin disebab ada sesuatu hal yang mesti ia kerjakan di kantornya?
Aku segera membuka kotak pesan di layar telepon genggamku.
Aku membaca sebuah pesan.” KITA PUTUS “ ***
Luar biasa. Mungkin perempuan itu kini telah tertarbiyah dan paham dengan manhaj salaf, dan lelaki itu?
ReplyDelete