![]() |
KEGIATAN BEDAH BUKU |
SASTRA(WAN) GENERASI FACEBOOK
Oleh: Maman S Mahayana[1]
Fenomena baru dalam sastra-terutema puisi-
Indonesia kini sedang terjadi: lahirnya sastra(wan) generasi facebook. Keberadaan
dan peranan media sosial macam FB -juga Whatsaap- membuka jalan lempeng bagi kelahiran
mereka. Sebagai “aliran” FB, kita dapat mencermati adanya kecenderungan karakteristik
yang sama pada karya mereka. Sebagian besar, instan, ahistorik, narsistik,
tanpa seleksi, tanpa kritik (yang baik). Sisanya: ada juga yang potensial dan
bergizi. Untunglah, di antara ingar-bingar itu, muncul puisi karya penyair
professional yang memberi warna lain tentang mutu dan model yang
sebenar-benarnya puisi.
Tentu saja karakteristik itu tak terlapas
dari sifat media sosial itu sendiri yang cair, tanpa sekat, bebas, dan tak
perlu legitimasi. Ruang FB menjadi perayaan hasrat dan semangat terpendam. Ia
menjadi ajang kompensasi saluran kebebasan ketika media cetak -koran majalah- banyak
yang bertumbangan. Rubrik sastra yang makin tergusur, peralihan orientasi pembaca
pada media daring, dan mudahnya menerbitkan buku mendorong orang merasa lebih
percaya diri dan nyaman mendekam di ruang FB, tempatnya mengekspresikan diri.
Situasinya sangat berbada dengan sastrawan
generasi koran dan majalah. Seleksi ketat dilakukan redaktur. Disana (hampir)
tidak laku pertemanan. Keseriusan berkarya dan kesabaran menunggu pemuatan
melekat menjadi sikap tahan banting, mementingkan proses, mawas diri, dan
menghormati penulis lain -yang karyanya dimuat- sebagai mitra bersaing.
![]() |
SALAH CONTOH POSTINGAN FACEBOOK |
Perkembangan lain
Tak dapat dimungkiri, hadirnya media sosial
telah memberikan kemungkinan lain bagi perkembangan sejumlah bidang ilmu,
termasuk sastra. Jika pada masa sebelumnya, kemunculan sastrawan -juga kritikus
(sastra)- sangat “dientukan” peran redaktur surat kabar-majalah, kini orang
bebas membuat klaim dirinya sebagai apa pun. Hal itu dimungkinkan lantaran
kehidupan sastra di ruang FB tak menghadirkan persaingan dan bersifat serba keseketikaan.
Ruang FB juga begitu longgar. Orang bebas
mengeluarkan apa pun. Setiap saat, siapa pun, bisa memublikasikan karyanya yang
berkaitan dngan sastra atau sekedar celotehan. Lalu, beberapa orang yang
tergabung dalam lingkaran perkawanan, grup FB, boleh menanggapi sesuka hati;
mengklik tanda jempol atau cukup komentar singkat: keren, mantap dan
seterusnya.
Situasi di FB juga begitu lebih licin dan
bersifat keseketikaan. Sejumlah klaim bias muncul setiap saat. Klaim yang satu
menyalip klaim yang lain. Klaim itu-ini timbul tanggelam begitu cepat. Lalu,
segalanya berakhir tak selesai. Menggantung. Tidak ada pihak mana pun, tanpa
atau dengan otoritasnya, punya kekuatan memberi legitimasi atau melarang
membuka klaim.
Situasi itu tak terjadi dalam proses
pemuatan karya sastra atau esai di surat kabar-majalah. Ketika karya akan dimuat,
redaktur mesti mempertimbangkan banyak aspek: keterbacaan karya itu dan
penilaian lain yang berkaitan dengan kualitas. Disana, melekat perkara tanggung
jawab, etika, moral, dan sosial. Ada juga pertimbangan yang berkaitan dengan
prospek pembinaan pada nama-nama baru. Sekedar menyebut beberapa, HB Jassin,
Saini KM, Ajip Rosidi, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Ahmad Tohari,
Willy Hangguman, dan Efix Mulyadi; atau redaktur generasi berikutnya: Nirwan
Dewanto, Kenedi Nurhan, Djadjat Sudradjat, Triyanto Triwikromo, dan Jamal D
Rahman, sangat mempertimbangkan aspek pembinaan ini. Maka, redaktur itu akan
memuat karya-karya yang sebenarnya agak bermasalah, tetapi potensial mendorong
penulisnya berpeluang menghasilkan karya yang lebih bagus lagi.
Lewat pemuatan karya di surat kabar dan
majalah itu, masyarakat perlahan-lahan dapat melabeli seseorang -yang secara
konsisten dan berkelanjutan- sebagai penyair, cerpenis, atau kritikus. Proses
pelabelan itu tak jatuh pada seseorang yang kualitas karya dan kebertahanannya
belum teruji waktu. Pernyataan Budi Darma yang memelesetkan larik puisi Chairil
Anwar, “Sekali (tidak) berarti, setelah itu mati” sebagai isyarat bahwa
predikat kesastrawanan mesti dibarengi dengan kualitas dan kiprahnya yang
keberlanjutan. Jadi, masyarakatlah yang melabeli predikat penyair, cerpenis,
atau kritikus, bukan klaim diri sendiri. Jangan harap, seseorang yang
angin-anginan dan karyanya timbul tengelam dalam waktu lama akan mendapat label
itu. Di sini, proses seleksi sebagai penyair, cerpenis, atau kritikus dimulai
dari redaktur, lalu berkarya secara konsisten-berkelanjutan, dan bertahan
menghasilkan karya berkualitas.
Generasi FB tak mengalami persaingan ketat
dan seleksi seperti itu. Instan dan tak belajar kesabaran. Afrizal Malna, Gus
tf (Sakai), Pamusuk Eneste, Acep Zamzam Noor, Tjahjono, Isbedy Stiawan, Warih
Wisatsana, dan entah siapa lagi adalah orang-orang yang sabar menunggu hari
minggu. Setelah sekian bulan, karyanya baru nongol menghiasi media massa
terkemuka. Untuk sampai pada posisi sekarang, berapa banyak prangko dan amplop
yang dipersiapkan; berapa puluh kali menerima lembar wesel berwarna kusam; dan
setebal apakah kesabaran mereka pada hari minggu nongkrong di lapak penjual koran berpura-pura membacai berita
politik dan olahraga sambil berdebar-debar berharap namanya muncul di sana?
Generasi sastra(wan) FB tidak mengalami
peristiwa heroik itu. Boleh jadi karena itu pula, penulis yang pengalamannya
sebatas ruang FB cenderung narsis ketika karya yang dipajang di dinding FB
mendapatkan sekian tanda jempol dan komentar asal bunyi. Kini ramai pula orang
membuka grup FB, menghimpun penggembira, dan memuat karya mereka sambil
menunggu sejumlah tanggapan anggotanya. Ketika ada komentar miring, tak sedap,
dan tak sejalan dangan selera adminnya, ia bisa langsung ditendang keluar dari
grup. Ruang FB menjadi ajang unjuk kekuasaan dan peluang melambungkan diri
sendiri dengan berbagai klaim.
Madia sosial, seperti FB
dan sejenisnya, memang sebuah keniscayaan. Sifatnya yang cair, licin, serba
keseketikaan, dan saling menyalip memaksa kita perlu memperlakukanya secara
bijaksana. Sebagai ajang berlatih menulis, sharing
gagasan, dan berdiskusi, FB bisa menjadi medan yang baik dan bermanfaat. Namun,
eloklah berhati-hati, bersikap santun; tak asal jeplak dengan mengeluarkan
kosasata kebun binatang atau isi toilet. Pengguna FB seyogianya, juga tak cepat
puas diri, tak perlu (terlalu) narsis dengan tetap saling menghormati
perbedaan. Sepatutnya pertemanan dalam ruang FB disertai pengetahuan tentang
identitas masing-masing. Berpegang pada ilmu padi, jauh lebih mustahak daripada
bertindak bagai pendekar mabuk yang membusungkan dada lalu mengajari ikan
berenang. Nah!
No comments:
Post a Comment
silakan komentar